Dialog Gereja, Masyarakat dan Agama-agama

Dialog Gereja, Masyarakat, dan Agama-agama (GERMASA) yang dilegar oleh Mupel GPIB Kalimantan Tengah dan Selatan bekerjasama PGIW Kalteng

PALANGKARAYA, PGI.OR.ID – Sejak 11-12 September 2015, telah berlangsung kegiatan Dialog Gereja, Masyarakat, dan Agama-agama (GERMASA) di Palangkaraya. Kegiatan ini dilaksanakan oleh Mupel GPIB Kalimantan Tengah dan Selatan bekerjasama dengan PGIW Kalteng. Selain sosialisasi Hasil Sidang Raya PGI ke-16 dan Rencana UU PUB, dialog juga membicarakan Pilkada Serentak, dan lainnya.

Dialog yang berlangsung di Aula Bentang Sandehan Christian Center Palangkaraya ini, diikuti sekitar 60 orang peserta dari unsur pendeta, dosen, majelis jemaat, dan pimpinan PGIW Kalteng.

Dalam sesi Sosialisasi Hasil Sidang Raya Ke-16, menurut Jeirry Sumampow Kepala Humas PGI, hasil penelitian Litbang PGI tahun 2013 menyebutkan, gerakan oikoumene terkesan masih bersifat elitis. Artinya, gerakan oikoumene lebih banyak dibicarakan dan dilakukan oleh pimpinan gereja, belum menjadi gerakan umat. Umat pada umumnya belum begitu terlibat dalam gerakan oikoumene.

Karena itu, lanjutnya, PGI giat melakukan sosialisasi hasil SR ke gereja-gereja sejak awal tahun ini ke gereja-gereja. “PGI berharap, dengan kegiatan sosialisasi ini, hasil-hasil SR PGI akan diketahui oleh gereja-gereja dan akan juga menjadi agenda pergumulan setiap jemaat ditingkat basis. Dengan demikian, diharapkan gereja-gereja ditingkat basis akan terlibat secara aktif dalam arak-arakan gerakan oikoumene,” ujarnya.

Peserta Dialog Gereja, Masyarakat, dan Agama-agama (GERMASA) di Palangkaraya.
Peserta Dialog Gereja, Masyarakat, dan Agama-agama (GERMASA) di Palangkaraya.

Ditambahkan, dalam terang Tema “Tuhan Mengangkat Kita Dari Samudera Raya” maka SR PGI Ke-16 telah memutuskan 4 (empat) tantangan dan pergumulan gereja-gereja, yaitu kemiskinan, ketidakadilan, radikalisme dan kerusakan lingkungan. SR PGI melihat bahwa akar dari semua persoalan tersebut adalah kerakusan manusia. Kerakusan manusia inilah yang menyebabkan kemiskinan, munculnya ketidakadilan sosial, maraknya radikalisme dan rusaknya lingkungan.

“Untuk melawan kerakusan tersebut, maka PGI mendorong gereja-gereja untuk mengembangkan spiritualitas keugaharian. Sebuah sikap hidup sederhana yang berani mengatakan cukup, mengembangkan prilaku hidup untuk berbagi dan toleran dengan sesama serta memiliki komitmen untuk berjuang menentang segala bentuk penindasan terhadap kemanusiaan,” katanya.

Pada sesi yang lain, Trisno Sutanto, Koordinator Penelitian Litbang PGI, menyampaikan tentang rencana Kementerian Agama untuk mengusulkan UU Perlindungan Umat Beragama. Dalam beberapa kali percakapan dengan Kemenag, Trisno mengemukakan bahwa ada 10 poin yang diminta untuk mendapatkan perhatian dan respon gereja-gereja, yaitu makna perlindungan umat beragama, registrasi agama, majelis agama, Forum Kerukunan antar Umat Beragama (FKUB), pendirian rumah ibadat, penyiaran agama, perayaan hari besar keagamaan, pemulasaraan jenasah (mencakup mulai dari pengurusan sampai pemakaman jenasah), bantuan luar negeri untuk keagamaan, dan ketentuan pidana.

Menurutnya, setiap kali menghadapi regulasi seperti ini, selalu ada kekuatiran. Sebab regulasi ini bisa saja mengarahkan kepada proses segregasi sosial yang tajam diantara masyarakat. Misalnya, dia mencontohkan, RUU PUB sudah membedakan perlakuan terhadap kelompok penghayat/kepercayaan (“agama lokal”) dengan 6 agama yang diakui pemerintah. Sebab“kewajiban registrasi hanya berlaku bagi mereka, bukan 6 agama itu. Jadi di sini ada potensi segregasi dan bahkan diskriminasi.”

Lebih lanjut, Trisno mengemukakan bahwa potensi segregasi juga terjadi antar pemeluk agama, yakni dengan aturan tentang pemulasaraan jenasah dalam RUU PUB. Sebab aturan tersebut menghendaki adanya pemisahan kuburan antar-pemeluk agama, sesuatu yang sungguh akan merepotkan dan berpotensi konflik dalam masyarakat. “Kita dapat membayangkan bagaimana repotnya penguburan bagi kelompok minoritas dalam suatu masyarakat yang didominasi oleh mayoritas agama tertentu. Misalnya di Bali, dengan mayoritas Hindu, akan sangat sulit menguburkan jenasah Muslim ataupun Kristen,” jelasnya.

Dalam kegiatan ini, peserta berharap agar PGI bisa lebih aktif melakukan sosiaslisasi lebih banyak, khususnya terkait persoalan yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Agar isu-isu PGI bisa menjadi isu yang yang digumuli oleh umat Kristen, Bahkan, dokumen-dokumen PGI juga bisa digunakan untuk kepentingan pendidikan di Palangkaraya,” ujar Rina Teriasi, Dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Palangkaraya, salah seorang peserta.

Editor: Jeiry Sumampow