
PGI — Jakarta. Di saat merayakan Yubileum 60 tahun pelayanan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), percetakan LAI mengukir sejarah dengan memproduksi Alkitab ke 25 juta. LAI mensyukurinya dengan mengadakan ibadah sederhana yang dihadiri organ yayasan dan karyawan LAI di percetakan LAI, di Nangewer, Bogor.
Dalam jumpa pers di Gedung Pusat Alkitab (Bible Centre), Jalan Salemba Raya 12, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu, Ketua Pengurus LAI, Pdt. Weinata Sairin, MTh, mengatakan, prestasi mencetak 25 juta Alkitab jangan menjadikan LAI sombong, namun prestasi ini harus menjadi titik berangkat baru untuk melakukan karya pelayanan lembaga di tengah-tengah bangsa.
“LAI adalah lembaga nasional yang tidak boleh bersikap sempit dan sektarian, tetapi mesti berkembang menjadi lembaga nasional yang diakui perannya dalam pembangunan bangsa, terkhusus pembangunan karakter dan moral bangsa dalam menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik,” ujarnya.
Menurut Sekum LAI Harsiatmo Duta Pranowo, MBA, Alkitab ke 25 juta dicetak terbatas dan akan diberikan kepada beberapa lembaga serta perorangan yang telah terlibat dengan LAI sejak awal pembentukannya. Alkitab ini juga menjadi koleksi museum LAI.
Sementara itu, Ketua Umum LAI, Pdt. Dr. I.P. Lambe melihat, penerbitan Alkitab ke 25 juta merupakan salah satu hal yang patut disyukuri karena penyertaan Tuhan kepada LAI selama 60 tahun pelayanannya. “Ini bukan prestasi manusia, tetapi bagaimana Allah terus mendukung pelayanan lembaga ini,” tandas Lambe.
Lanjutnya, apa yang dilakukan LAI hanyalah upaya bagaimana agar firman Allah disampaikan dan diterima oleh umat dalam bahasa masing-masing. Sebab itu, diharapkan pekerjaan LAI ke depan akan semakin berkembang. “Apalagi jika dikaitkan dengan program pemerintah yaitu revolusi mental, maka lewat Alkitab atau firman Allah kita juga bisa berperan dalam program tersebut,” katanya.
Sejarah Singkat Percetakan LAI
Menilik sejarahnya, Percetakan LAI diawali 48 tahun lalu, tepatnya 9 Februari 1966, dan menjadikannya sebagai lembaga Alkitab pertama di dunia yang memiliki percetakan sendiri. Ide pendiriannya sudah dicetuskan oleh Sekum LAI pertama Giok Pwee Khouw belasan tahun sebelumnya. Menurut Khouw, pencetakan Alkitab yang sebelumnya sebagian besar dilakukan di Belanda tidak bisa terus dipertahankan karena hubungan politik Indonesia dan Belanda yang naik turun. Akibatnya pengiriman Alkitab kerap terganggu.
Proses pengapalan Alkitab dari Belanda pun sering mengalami keterlambatan. Padahal kebutuhan umat akan firman Tuhan sangat besar dan terus meningkat. Tambah lagi, di pertengahan tahun 60an, pemerintah melarang impor buku-buku berbahasa Indonesia dari luar.
Persoalannya, pencetakan Alkitab memerlukan jenis kertas khusus yang disebut Bible Paper. Tidak ada percetakan komersial di Indonesia yang dapat mencetak Alkitab dengan kertas tersebut. Maka Badan Pengurus LAI menganggap pembangunan percetakan Alkitab sendiri sebagai hal yang tak terelakkan. (ms)
Be the first to comment