JEMBER, PGI.OR.ID – Ada yang unik di Desa Sukerono, di selatan Kabupaten Jember, Jawa Timur. Di sana warga desa beragama Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu hidup rukun. Bukti kerukunan itu nampak dari berdirinya bangunan rumah ibadah, yaitu Masjid, Gereja, dan Pura yang berjarak dua ratus meteran.
Menurut Kepala Desa Sukoreno H. Achmad Choiri kerukunan itu berawal dari nama desa tersebut. “Dulunya sebelum menjadi Desa Sukoreno, desa ini bernama Gumuk Lengar. Karena dulunya adanya bunga suko yang memiliki warna bermacam-macam atau dalam bahasa Jawa reno-reno di sebuah bukit padas yang ada di sekitar desa.”
Maka, menurut penjelasan kades Ahmad Choiri, sejak saat itu Gumuk Lengar berganti nama menjadi Sukoreno hingga saat ini. Dan warga desa menjadi terbiasa hidup dalam keberagaman.
“Bagi kami, tidak ada istilah minoritas dan mayoritas. Semua sama dan layak diberikan perhatian,” ungkap Achmad Choiri seperti dikutip dari Tribunews.
Yang lebih menarik dri kebiasan warga des aitu adalah mereka memiliki kebiasaan saling membersihkan tempat ibadah. “Warga di sini tidak tidak pandang tempat ibadah milik siapa atau agama apa karena dengan membersihkan tempat-tempat ibadah itu, warga menjadi lebih mengenal dan memiliki tempat itu,” tambah sang kades.
Kebiasaan-kebiasaan itulah yang masih dilakukan hingga sekarang di Desa Sukerono dan menjadi perekat di antara warga, ujar Ahmad Choiri.
Toleransi itulah yang kata Kades Ahmad Choiri diwarisi ke generasi muda di desanya. “Para orangtua menyampaikan pada anak-anaknya. Dan sekaligus mengajak ke rumah warga saat perayaan hari besar keagamaan. Juga kalau ada pesta pernikahan, orangtua tidak segan mengajak anak-anak agar terbiasa dengan keberagaman dan gotong royong. Jadi kami biasa untuk warga Muslim dan Kristen membantu warga Hindu saat merayakan pawai Ogoh-Ogoh atau sebaliknya.”
Beragam agama di desa itu diakui warganya membuat nyaman tinggal di desa itu. Menurut seorang ibu yang berporfesi guru SD Katolik di desa itu, siswanya tidak hanya beragama Katolik tapi juga beragama Islam. “Saya nyaman tinggal di desa ini karena sesama warga menerima perbedaan dengan damai,” ujarnya.
Artikel ini ditulis bekerjasama dengan PUSAD Paramadina dan didukung GUYUB – UNDP.
Pewarta : Phil Artha/ dari berbagai sumber.