
BALUN,PGI.OR.ID-Toleransi tidak bisa hanya jadi diskusi, dia harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang dilakukan warga di Desa Balun, Kecamatan Turi, Lamongan, Jawa Timur. Meski dari latarbelakang yang berbeda, namun toleransi dijunjung tinggi.
Desa Balun merupakan desa kecil yang terletak di Kabupaten Lamongan bagian tengah, tepatnya berjarak 6 km dari Kecamatan Turi, dan 4 km dari Kabupaten/Kota Lamongan. Desa ini terdiri atas 10 RT (Rukun Tetangga) memiliki sekitar 4.600 warga, dengan 75 persen di antaranya memeluk agama Islam, 18 persen beragama Kristen, dan sisanya beragama Hindu.
Keragaman agama masyarakatnya merupakan suatu fenomena sosial yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari sarana tempat ibadah yang letaknya saling berdampingan di pusat desa, yaitu Pura berada di sebelah kiri, Masjid di tengah, dan Gereja di seberang jalan sebelah kanan.
Menilik sejarahnya, Desa Balun erat kaitannya dengan situs makam yang ada di Desa Balun, makam tersebut merupakan makam Mbah Alun yang dihormati sebagai leluhur oleh penduduk asli Desa Balun dan sekitarnya. Mbah Alun atau Raden Sin Arih merupakan Raja Blambangan bernama Bedande Sakte Bhreau Arih, bergelar Raja Tawang Alun I, lahir pada 1574 M di Lumajang, anak dari Minak Lumpat yang merupakan keturunan Lembu Miruda dari Majapahit (Brawijaya).
Baru pada 1967, Kristen masuk ke Desa Balun, dibawa oleh Mbah Bati yang waktu itu menjabat kepala desa. Mbah Bati, warga asli Balun yang sebelumnya beragama Islam, kemudian tertarik mempelajari ajaran Kristen hingga dibaptis di Gereja Kristen Jawi Wetan Lamongan. Mbah Bati ialah seorang TNI yang ditugaskan di luar Jawa, kemudian kembali ke Desa Balun pada saat peristiwa G30S/PKI. Mbah Bati dianggap berjasa mengamankan Desa Balun, kemudian menjadi kepala desa.

Sementara agama Hindu lebih dulu masuk ke desa ini, dan berkembang secara perlahan-lahan melakukan peribadatan di rumah para pemuka agama. Hindu yang ada di Desa Balun, tidak menimbulkan ketegangan di dalam masyarakat, bahkan perlahan pemeluk Hindu mengalami pertambahan dan mulai berkembang dengan membangun tempat ibadah sederhana dari tanah desa yang tidak jauh dari masjid dan gereja. Setelah melewati tahap-tahap perkembangan sampai pada akhirnya dibangun Pura saat ini.
Berdasarkan penelitian-penelitian tentang keragaman masyarakat di Desa Balun yang mempresentasikan toleransi kerukunan antarumat beragama, desa inipun dijuluki sebagai “Desa Pancasila” yang kemudian dikenal oleh masyarakat luas pada umumnya. Bahkan pada tahun 2019 pemerintah juga telah menurunkan tim kajian, anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), yang dimotori oleh Agum Gulelar, untuk mendokumentasikan praktik-praktik budaya yang lazim dilakukan warga. Sehingga mereka dapat menggambarkan korelasi budaya yang berwatak Pancasila sebagai bagian dari demokrasi Indonesia.
Menurut Kepala Desa Balun Khusyairi, suasana kebersamaan dan toleransi para warga desa sudah ada jauh sebelum dirinya menjabat kepala desa. Dan, sama seperti daerah lain, agama di desa ini juga berkembang turun-temurun. Ada yang memeluk Islam, Kristen dan juga Hindu. Bahkan saat suasana panas pasca bom Surabaya, suasana pedesaan tampak tetap kondusif. Terlebih momentum saat puasa, suasana toleransi begitu tinggi.
Sikap masyarakat Desa Balun tentu mengakar dalam aktivitasnya yang mengatur perilaku sosial (pranata sosial) sebagai suatu struktur kebudayaan. Artinya, toleransi tersebut memiliki nilai sosial bagi kerukunan masyarakat Desa Balun dan mengandung komitmen moral, sehingga toleransi dianggap begitu penting peranan dalam mengikat kerukunan dan tempatnya dalam keragaman masyarakat. Jadi tunggu apalagi, mari membangun toleransi demi masa depan negeri.
Artikel ini ditulis bekerjasama dengan PUSAD Paramadina dan didukung GUYUB – UNDP.
Pewarta: Markus Saragih-dari berbagai sumber