CATAHU Komnas Perempuan: Sepanjang Tahun 2016 Tercatat 259.150 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

JAKARTA,PGI.OR.ID-Selama tahun 2016 tercatat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama, serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengada layanan yang tersebar di 34 Provinsi. Data kekerasan yang terlaporkan menurun karena perubahan pola pendokumentasian di sejumlah lembaga negara, tidak meratanya akses layanan di sejumlah daerah dan keengganan korban melaporkan karena masih rumitnya akses keadilan.

Demikian Catatan Tahunan (CATAHU) 2017 Komnas Perempuan yang dilounching pada Selasa (7/3) di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Selasa (7/3), dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada tanggal 8 Maret.

Lebih jauh diungkapkan, dalam pembagian ranah kekerasan terhadap perempuan, Komnas Perempuan menemukan bahwa, kekerasan di ranah personal masih menempati angka tertinggi. Pengadilan Agama menyebutkan 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung dengan perceraian. Sementara kasus yang ditangani lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah personal tercatat 10.205 kasus.

Data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan juga menunjukkan trend yang sama, yaitu sebanyak 903 kasus dari total 1.022 kasus yang masuk. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal (KDRT/RP), kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus, disusul kekerasan dalam pacaran (KDP) 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus dan sisanya kekerasan mantan suami, kekerasan mantan pacar, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Jenis kekerasan ranah personal pada persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus). Kekerasan seksual di ranah KDRT/RP tahun ini, perkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan sebanyak 1.266 kasus. Di tahun ini juga CATAHU dapat menampilkan data perkosaan dalam perkawinan sebanyak 135 kasus dan menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah KDRT/RP adalah pacar sebanyak 2.017 orang.

Kekerasan di ranah komunitas mencapai angka 3.092 kasus. Kekerasan seksual menempati peringkat pertama sebanyak 2.290 kasus, diikuti kekerasan fisik 490 kasus dan kekerasan lain yaitu kekerasan psikis 83 kasus, buruh migran 90 kasus dan trafiking 139 kasus. Jenis kekerasan yang paling banyak pada kekerasan seksual di ranah komunitas adalah perkosaan (1.036 kasus) dan pencabulan (838 kasus). Adapun kekerasan di ranah Negara yang paling mengedepan adalah kasus penggusuran, yang  dilaporkan dan dipantau Komnas Perempuan antara lain kasus Cakung Cilincing di Jakarta sebanyak 1 kasus dengan 304 korban, kasus penggusuran Bukit Duri, Kampung Pulo dan Konflik SDA pembangunan pabrik Semen di Pegunungan Kendeng Jateng.

Dalam catatan tersebut juga dijelaskan, beragam spektrum dan bentuk kekerasan yang bervariasi sepanjang tahun 2016. Keragaman ini perlu mendapatkan perhatian serius untuk melihat ketepatan Negara dalam merespon persoalan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Persoalan tersebut misalnya terkait angka dispensasi perkawinan yang cukup tinggi yaitu mencapai 8488 kasus. Artinya terdapat 8488 perkawinan di bawah umur yang disahkan oleh negara. Lalu di isu disabilitas, sebanyak 93% kekerasan seksual dialami oleh perempuan dengan disabilitas ditengah menggeliatnya upaya untuk memasukkan layanan disabilitas pada lembaga-lembaga layanan.

Perkosaan berkelompok (gang rape), penganiayaan seksual disertai dengan pembunuhan perempuan karena mereka perempuan (femicide) merupakan peristiwa kekerasan yang menarik perhatian publik di sepanjang tahun 2016. Hal ini semakin menegaskan pentingnya pengesahan rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual. Data pelaporan dari lembaga layanan, menunjukkan bahwa femicida adalah kekejian yang luar biasa baik dari motif pembunuhannya, pola pembunuhannya hingga dampak pada keluarganya, karenanya penting bagi negara untuk mengenali dimensi kekerasan ini.

Disisi lain, kekerasan dan kejahatan  cyber semakin rumit pola kasus kekerasannya. Kekerasan ini mengarah pada pembunuhan karakter, pelecehan seksual melalui serangan di dunia maya yang dirasakan dan berdampak langsung dan berjangka panjang pada korban.

Pembatasan akses bagi kelompok dengan keragaman orientasi dan ekspresi seksual masih terjadi. Khususnya dalam mengakses penghidupan karena dilarang bekerja (larangan waria bekerja di salon), juga akses layanan kesehatan. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia tahun 2016 menguatkan temuan Komnas Perempuan tentang adanya kaitan erat antara kejahatan narkoba, perdagangan manusia dan migrasi. Perempuan pekerja migran merupakan salah satu kelompok yang rentan jadi korban sindikat perdagangan narkoba. Belum lagi masyarakat, khususnya kaum perempuan dihadapkan pada ketegangan antara kebijakan pembangunan dengan prioritas politik infraktrusktur yang mengakibatkan penggusuran, perluasan perkebunan, pembabatan hutan adat sehingga perempuan terancam dari akses kehidupan.

Selain itu, komitmen pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu belum menyentuh akar persoalan pemenuhan hak korban. Perhatian khusus juga ditujukan kepada aparatur penegak hukum, dimana kriminalisasi terhadap perempuan korban kian meningkat.

CATAHU 2017 Komnas Perempuan menunjukkan, meningkatnya angka pengaduan langsung para korban ke Komnas Perempuan. Selain itu korban masih cenderung mendatangi layanan yang dibuat CSO/LSM. Kecenderungan korban ini bisa diakibatkan dari dampak penegakan hukum yang lemah, masih banyaknya kebijakan diskriminatif, dan impunitas bagi pelaku. Hal ini ditunjukan dari 46 surat rekomendasi yang dikeluarkan Komnas Perempuan, 54% (25 surat) ditujukan ke Kepolisian.

Meskipun demikian, ada sejumlah kemajuan yang berhasil dicatat, diantaranya; tersedianya instrumen monitoring dan evaluasi implementasi UU nomor 23/2004 yang disusun oleh Komnas Perempuan dan lembaga pengadalayanan, tingginya dukungan publik untuk RUU Penghapusan Kekerasan seksual melalui kampanye Gerak Bersama, pengakuan  Presiden Joko Widodo yang menetapkan 8 hutan adat dan 1 alokasi hutan adat sebagai bentuk pengakuan terhadap nilai-nilai asli dan jati diri Indonesia, lahirnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Perlindungan Hak Penyadang Disabilitas, dan adanya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 27 Tahun 2016 Tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan.

Rekomendasi
Berangkat dari temuan dan pendokumentasian data CATAHU 2017, Komnas Perempuan merekomendasi negara untuk mengupayakan pendalaman pengetahuan, pegenalan pola dan  pencegahan serta penanganan korban Kekerasan terhadap Perempuan termasuk pada kekerasan yang terus berulang dan keji seperti perkosaan berkelompok (gang rape) dan  femicide.

Selain itu negara berkewajiban dalam hal penanganan, perlindungan dan pemulihan korban, serta pentingnya kebijakan negara yang tidak diskriminatif dalam merespon dan memulihkan hak korban kekerasan komunal dalam bentuk pengusiran paksa atas alasan identitas agama dan keyakinan serta pembangunan tidak dapat ditolerir. Diperlukan juga negara membangun mekanisme internasional secara berkelanjutan untuk mendukung penghapusan kekerasan terhadap perempuan secara global.