Buruh Migran Dijadikan Solusi Defisit Anggaran Negara

Eni Lestari (kiri)

JAKARTA,PGI.OR.ID-Di banyak negara saat ini ada kecenderungan kebergantungan penuh terhadap buruh migran sebagai solusi defisit anggaran negara, Indonesia salah satunya. Sebab itu, saat ini Indonesia sedang mengemas pengiriman buruh migran sebaik mungkin untuk mendapatkan devisa.

“Kami menjadi sangat khawatir ini mau sampai berapa generasi dipertahankan apakah menunggu 50 persen penduduk Indonesia ke luar negeri? Filipina 10 persen penduduknya sudah di luar negeri. Apakah Filipina menjadi lebih baik dari 50 tahun lalu, tidak. Jadi kami mempertanyakan apakah migrasi sebagai strategi pembangunan akan menjawab pembangunan jangka panjang, jawabannya tidak. Amerika latin mayoritas penduduknya sudah di luar negeri apakah lebih baik dari 50 tahun lalu, tidak. Jadi inilah salah satu kritik yang kita bawa ke PBB,” ujar Koordinator Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Eni Lestari dalam diskusi publik Menakar Hasil KTT PBB ke-71, di Grha Oikoumene, Jakarta, Rabu (28/9).

Kegiatan yang difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) ini, dilaksanakan bersama dengan IMA, KABAR BUMI, JBMI, dan INDIES.  Pada kesempatan itu juga dihadirkan ayah dari Yufrinda Selan dan Dolfina Bouk, TKI asal Indonesia yang meninggal di Malaysia beberapa waktu lalu, untuk berbagi cerita.

Eni Lestari adalah salah satu perwakilan buruh migran yang terpilih menjadi pembicara saat pembukaan KTT PBB ke-71 pada tanggal 29 September 2016 di kantor pusat PBB, New York, Amerika Serikat.

Lebih jauh Eni menjelaskan: “Saat ini buruh migran di dunia ada 244 juta ditambah pengungsi dan orang-orang terpinggirkan menjadi lebih dari 300 juta, itu lebih besar dari pulau Indonesia, tetapi masalahnya posisi kami ini dimanapun tidak pernah dimasukkan didalam pembuatan kebijakan-kebijakan. Di negara pengirim kami tidak pernah diakui, mana pernah ada forum tripartit di Indonesia. Lalu, di negara penerima kami ini juga tidak pernah diakui. Kalau kami menuntut gaji lebih tinggi, visa lebih banyak, pasti jawabannya suka diambil, tidak suka pergi saja.”

Nara sumber, penanggap, dan peserta foto bersama usai kegiatan
Nara sumber, penanggap, dan peserta foto bersama usai kegiatan

Kondisi ini terpaksa disampaikan ke ranah PBB karena lembaga tersebut dianggap sebagai rumah terakhir di mana kaum buruh migran bisa berharap. “Kalau PBB tidak bisa memberi harapan, kami tidak tahu kemana harapan itu akan dibawa,” tandasnya.

Eni melihat, pentingnya buruh migran bersatu. Sebab persatuan itulah yang menjadi kekuatan dan kunci sebuah perubahan, karena perubahan bukanlah pemberian. Buruh migran perlu bersuara sendiri bagi hidup dan perlindungannya sendiri.