BPD PERUATI Sumba Sikapi Peristiwa Penculikan di Anakalang

SUMBA,PGI.OR.ID-Menyikapi peristiwa penculikan pada 6 Desember 2019 di Anakalang, Sumba, dan menjadi viral di media sosial, mendorong Badan Pengurus Daerah Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (BPD PERUATI) Sumba mengeluarkan pernyataan sikap.

Dalam pernyataan sikap yang ditandantangani oleh Ketua dan Sekretaris BPD PERUATI Sumba, Pdt. Aprissa L.Taranau-Pdt. Herlina Ratu Kenya, MAPT ini, ditegaskan bahwa peristiwa tersebut adalah salah satu potret pilu dari sekian banyak kasus kekerasan yang menimpa perempuan di Sumba selama ini. Tindakan menangkap atau menculik perempuan dipandang sebagai dosa atau kejahatan yang mencederai kemanusiaan,  bertentangan dengan norma hukum dan hak asasi manusia. Serta mengandung unsur kekerasan terhadap perempuan, karena perempuan tidak memiliki hak atas tubuh, dan hidupnya melainkan di bawah kontrol dan kuasa laki-laki atau pihak keluarga.

Menurut informasi yang diterima BPD PERUATI Sumba, kronologis peristiwa tersebut yaitu, korban yang adalah seorang pegawai Kemenag Sumba Tengah pagi itu sedang duduk di depan rumah kosnya di Wairasa, Anakalang. Tiba-tiba datang 7 orang lakilaki menculiknya, yang kemudian diketahui di antaranya adalah pelaku yang berasal dari Waimangura, Sumba Barat Daya. Korban berteriak minta tolong dan meronta-ronta namun tidak berdaya atas kekuatan 7 orang laki-laki yang menggotongnya untuk dibawa dengan sebuah mobil pick up.

Teriakan minta tolong juga disuarakan oleh salah satu kerabat perempuan yang ada di dekat tempat kejadian namun tidak ada yang menolong. Berdasarkan informasi, korban dan pelaku memang sudah pada tahap mempersiapkan diri untuk pernikahan sesuai budaya Sumba. Mereka telah berpacaran selama 3 tahun dan tinggal bersama kurang lebih 1 tahun. Tahap perkenalan dan adat tahap 2 sudah dilewati di mana 6 ekor hewan telah diserahkan pihak laki-laki kepada keluarga perempuan namun pada tahap menunggu inilah pelaku dan korban sering terlibat percekcokkan sehingga korban memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan mereka.

Beberapa kali pelaku datang meminta rujuk tapi ditolak oleh korban. Pertemuan adat digelar untuk mempercakapkan masalah ini namun kedua belah pihak tidak menemukan titik temunya. Masalah di antara keduanya sudah berlangsung sejak Juli 2019 tanpa solusi hingga terjadilah peristiwa penculikan tersebut. Pelaku datang bersama keluarga dan menculik korban. Walau pun korban telah dikembalikan kepada keluarga lewat proses mediasi oleh pihak kepolisian Katikutana dan Waimangura namun peristiwa penculikan ini mendatangkan trauma secara khusus bagi korban dan perempuan secara umum.

Kasus ini menurut BPD PERUATI Sumba bertentangan dengan Pasal 16 Konvesi Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan, UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan UUD 1945 Pasal 28A dan Pasal 28B.

Sebab itu, BPD PERUATI Sumba menyatakan sikap pertama, menolak keras segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam semua bentuk dan praktiknya, termasuk budaya yang menjadikan perempuan sebagai obyek. Kedua, menghimbau seluruh elemen masyarakat di Sumba agar menghentikan praktik kawin tangkap karena bertentangan dengan kemanusiaan, norma hukum dan HAM yang telah menempatkan perempuan sebagai obyek dan korban kekerasan.

Ketiga, meminta pihak sinode GKS bersama semua lembaga Agama/Penganut Kepercayaan di Sumba untuk menyatakan sikap tegas terhadap situasi ini sebagai wujud nilai-nilai luhur agama/kepercayaan bagi keadilan dan pembebasan, serta melakukan tindakan-tindakan preventif, penyadaran atau edukasi bagi umat secara internal maupun lewat jejaring dengan seluruh stakeholder masyarakat Sumba. Keempat, mendesak aparat keamanan untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan termasuk pelaku kawin tangkap secara khusus pelaku peristiwa 6 Desember 2019. Kelima, mendesak pemerintah daerah se daratan Sumba untuk mengeluarkan perda penghapusan praktik kawin tangkap.

 

Pewarta: Markus Saragih