PGI.OR.ID ~ Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sedang menyelenggarakan pendidikan kader yang disebut “Pendidikan Oikoumene Keindonesiaan”. Secara bertahap pendidikan ini akan berlangsung selama 3 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2019 akan tersedia 120 orang kader oikoumene.
Sesungguhnya ini pergumulan gereja-gereja sejak lama, bahkan ketika gereja-gereja berdiri di atas bumi Nusantara ini. Orang Kristen bagaimanakah yang hidup di negeri ini? Orang Kristen yang tinggal di negeri entah-berentah ataukah yang sungguh-sungguh merupakan bahagian dari tanah-air yang di dalamnya ia hidup? Bagaimana menghayati sabda Yesus: “Dalam dunia tetapi tidak berasal dari dunia”?
Di kalangan PGI ide ini telah lama dipergumulkan bahkan segera setelah Dewan Gereja di Indonesia (DGI) didirikan pada 25 Mei 1950, yang kemudia menjadi PGI. Kalau kita perhatikan seluruh pergumulan DGI/PGI pada hakekatnya hanya berkisar pada 2 loci ini, yakni bagaimana beroikoumene dan berkebangsaan. Artinya, bagaimana mewujudkan di atas ranah sejarah ini seorang Kristen yg berwawasan oikoumenis dan berkebangsaan sekaligus. Tentu saja ia tidak hanya berhenti pada wawasan, tetapi juga membawakannya pada aras praksis.
Berwawasan oikoumenis berarti adanya kesadaran bahwa ia adalah bahagian dari umat percaya di seluruh dunia. Dalam formulasi Pengakuan Iman Percaya disebut, “Gereja Yang Kudus dan Am”. Sebagai demikian, seorang Kristen tidak mungkin memisahkan diri dari persekutuan orang-orang percaya di seluruh dunia. Tetapi persekutuan dan rasa persekutuan ini tidak tergantung di awan-awan, ia mempunyai konteks. Ada pijakan yang diatasnya seorang yg mengaku itu berdiri, itulah kebangsaan. Sebagai orang Indonesia, itulah rasa keindonesiaan.
Guna memahami hal ini, ada sebuah foto yg direlis oleh Sinar Harapan pada tahun 1977. Dalam foto itu terlihat Dr. J. Leimena diapit oleh Sukarno (Presiden Pertama Republik Indonesia) Dr. W.A.Vissert’hooft, (Sekjen Dewan Gereja Dunia/WCC). Dalam keterangan yang menyertai foto itu dikatakan, Leimena adalah simbol “pertemuan” antara Kebangsaan (disimbolkan oleh Bung Karno) dan Oikoumene (disimbolkan oleh Vissert’hooft). Leimena tidak pernah malu-malu mengakui bahwa ia adalah seorang Kristen yang bersekutu dengan semua orang percaya di seluruh dunia. Tetapi pada saat yang sama ia tidak pernah ragu-ragu memperlihatkan sikap patriotismenya di dalam memperjuangkan kepentingan Indonesia. Itulah sikap kewarganegaraan yang bertanggung-jawab. Ada kesadaran tinggi bahwa seorang Kristen berkewarganegaraan ganda, yakni sebagai warga Kerajaan Allah dan warga negara Indonesia.
Oikoumene bisa hidup dan menjadi lebih konkret di dalam konteks kebangsaan, dan pada saat yang sama kebangsaan dirawat di dalam keyakinan sebagai orang beriman bahwa pada akhirnya ada persaudaraan umat manusia di seluruh dunia. Dengan demikian, rasa kebangsaan tidak menjadi sesuatu yang sempit, cenderung berorientasi kerpada diri sendiri.
Penyelenggaraan pendidikan kader seperti ini rasanya tepat waktu. Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan, pendidikan sejenis ini mestinya ada juga pada institusi-institusi keagamaan lainnya.
Dalam 5-10 tahun terakhir ini kita diinformasikan mengenai adanya organisasi-organisasi yg bersifat “trans-nasional”, yaitu yg pusat gerakannya ada di luar negeri, tetapi aktivitasnya di Indonesia. Ada misalnya yang mendorong anggotanya tidak menghormati bendera Merah Putih, tidak menyanyikan Indonesia Raya, tidak terima Pancasila karena dianggap temuan setan, pemerintahan Indonesia adalah thogut alias kafir, dan seterusnya. Faham-faham seperti kalau terus berkembang akan menggerus bahkan memusnahkan eksistensi negara dan bangsa Indonesia.
Saya pernah menceriterakan (mungkin dalam salah satu buku saya) percakapan informal dengan seorang kyai di Sidoarjo. Ia menggelisahkan kecenderungan yang disebutnya arabisasi Islam di Indonesia. Waktu itu secara spontan saya menjawab, kami juga di Kristen sedang mengalami amerikanisasi dari kekristenan. Saya kira ini pergumulan bersama yaitu bagaimana kita bisa menghayati iman kita di atas tanah (soil) Indonesia dan di atas ranah sejarah Indonesia. Hari-hari inipun, kita di kalangan gereja sedang mengalami “Israelisasi” atau “Yahudisasi” dari Kekristenan. Kita tidak menyangkal bahwa akar kekristenan ada pada Yudaisme, tetapi menelan bulat-bulat segala sesuatu yang berasal dari Israel seakan-akan Kristus belum pernah melakukan transformasi adalah kekeliruan.
Ada satu hal lagi yang perlu disinggung dalam kaitan dengan oikoumene. Oikos=rumah; menein=tinggal, berdiam, adalah dua patah kata yang menjadikan oikoumene. Artinya kita tinggal di dalam rumah. Sebagai demikian, rumah itu harus layak untuk didiami. Ada banyak hal yang menjadikan dunia yang di dalamnya kita berdiam tidak layak untuk didiami, yakni masih adanya ketidakadilan yang menyebabkan kemiskinan, masih dipraktekkannya radikalisme, lingkungan hidup yang dirusak, dan seterusnya. Kita harus berjuang utk memperbaikinya. Dengan tekad ini makin jelas bagi kita bahwa keindonesiaan menjadi makin urgen, sebab seluruh perjuangan untuk membuat rumah ini layak tidak bisa dikakukan di awan-awan alias abstrak.
Selamat beroikoumene dan berkebangsaan!
Pdt. Dr. Andreas Yewangoe