Oleh Weinata Sairin
“Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayub 42 :5-6).
Film-film dan atau novel zaman dulu biasanya berakhir happy end. Dengan model penceritaan seperti itu para penonton pulang dari gedung bioskop dengan gembira, nyaman apalagi jika tokoh idolanya dalam film itu, atau pejuang kebenaran pada akhirnya menang. Pada buku novel juga sebagian besar berakhir happy end, sehingga pembaca bahagia dan tidak usah berfikir keras mengembangkan tafsir dengan banyak analisis tentang nasib para pelaku yang ditampilkan dalam sebuah novel.
Pada film dan atau novel modern, pada umumnya tidak selalu berakhir happy end. Para penonton dan atau pembaca disuguhkan sebuah kisah yang “belum selesai” sehingga mereka bisa mengelaborasi kisah itu sesuai dengan daya kreatifnya dan juga daya mampu pemikirannya. Memang jika film dan atau buku novel itu hanya dimaknai sebagai sebuah hiburan, tidak ada tujuan-tujuan besar yang ingin dicapai maka karya yang berujung pada happy end tentu lebih bagus dan interesting.
Hidup manusia secara riil juga bisa seperti dalam film atau buku-buku novel. Ada yang berakhir dengan “happy end” artinya pada saat seseorang di panggil Tuhan, ia dalam posisi “stand by” atau “siap sedia” : semua tugas sudah dirampungkan, tidak ada lagi masalah yang menggantung dan pending, semuanya beres. Tapi tidak semuanya bisa seperti itu. Ada yang dipanggil Tuhan secara amat tiba-tiba, semua tugas dan persoalan belum rampung. Anak belum semua menikah, cucu belum juga lahir karena anak-anak semuanya workaholik. Realitas ini berarti seseorang menyesaikan kehidupannya tidak dalam posisi “happy end”.
Kematian datang menjemput dan merenggut tanpa memberi salam, tanpaAi?? kulo nuwun. Kematian tidak pernah peduli pada Usia Harapan Hidup, tidak peduli seseorang itu pasien BPJS atau di cover pribadi, tidak peduli seseorang itu saleh atau tidak, rajin ke Gereja atau tidak, kematian datang dan merenggut nyawa seseorang tanpa mempertimbangkan konteks, tanpa mau tahu ia adalah calon, tidak mempertimbangkan seseorang itu baru saja selesai berpidato. Kematian datang, tanpa salam, tanpa mengetuk. Itulah sebabnya seluruh umat manusia harus hidup dengan eling, waspada, bersiaga dalam kondisi yang berelasi baik dengan Tuhan dan dengan sesama manusia.
Kita diingatkan oleh Alkitab agar ‘tidak menyimpan kemarahan sampai matahari terbenam’; kita diingatkan untuk berdamai dengan semua orang : kita didorong untuk terus mengucap syukur sepanjang perjalanan kita menuju kota yang akan datang; kita disadarkan bahwa kewargaan kita disurga bukan di dunia fana. Pengingatan itu penting bukan saja agar kita terus memahami diri kita, tetapi juga agar kita termotivasi untuk menorehkan karya terbaik selama nafas kehidupan ini masih kita miliki.
Kata-kata Ayub yang dikutip di bagian awal tulisan ini adalah cerminan sikap Ayub terhadap Tuhan sesudah melewati dialog yang panjang. Ayub yang saleh, yang kemudian imannya diganggu melalui berbagai rangkaian peristiwa dalam kehidupannya. Ia kehilangan segalanya dalam sekejap. Istrinya, sang pendamping juga dengan sinis berkata kepada Ayub “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu ? Kutukilah Allahmu dan matilah”. Dan Ayub merespons kata-kata istrinya itu “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:9,10). Ayub tetap tegar ia berdialog dengan sahabat-sahabatnya, ia juga berdebat dengan Allah dengan panjang lebar. Ia complain kepada Allah, ia skeptis, ia mempertanyakan kuasa Allah, Allah melalui jawaban yang menantang melakukan proses pastoral kepada Ayub.
Allah sendiri dengan kasihNya dan penuh kesabaran membimbing Ayub melalui kata-kata cerdas bernas sehingga Ayub makin memahami hakikat kehidupan ini dalam spektrum yang lebih luas. Kitab Ayub Pasal 42 dan 43 secara amat jelas menampilkan kisah Ayub yang “happy end”. Ayat -ayat yang dikutip dibagian awal tulisan mengungkapkan pernyataan amat tegas sebagai berikut.
- a) Mataku sendiri memandang Allah; bukan hanya mendengar dari orang lain. Perjumpaan langsung dengan Allah membuka perspektif baru dalam konteks penguatan relasi dengan Allah. 1.b) Mencabut perkataan dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu.
Perkataan Ayub yang complain, protes, kritis kepada Allah dengan menggunakan bahasa yang cenderung arogan dicabut, diakhiri dan dinyatakan tidak berlaku.
Ini bukan sekadar soal teknis “mencabut” perkataan tapi sebuah kesadaran baru dan pemahaman baru yang mengubah paradigma dan mindset tentang Allah yang dimiliki seorang Ayub.
Sesudah Ayub mencabut perkataannya yang tajam, arogan dan jauh dari elegan itu, Ayub menyesal dan itu diwujudkan dengan duduk dalam debu dan abu Ayub seakan memasuki fase baru dalam hidupnya bersama keluarganya. Berkat Tuhan mengalir dengan deras melimpahi hidup mereka, sebagaimana direkam dalam Kitab Ayub Pasal 42.
Kita bisa belajar dari Ayub, seorang yang setia kepada Tuhan, yang mempertajam pemahamannya tentang Allah melalui berbagai pertanyaan kritis tapi yang kemudian mencapai titik kulminasi dengan percaya sepenuhnya kepada Allah. Itulah happy end. Hidup kita mestinya happy end. God bless.
Be the first to comment