PGI – Jakarta. Banyak orang kurang (bahkan tidak) mengetahui masalah apa yang terjadi di Papua? Meskipun informasi deras mengalir di dunia maya, namun kita perlu jeli menyaring informasi tersebut dan kritis terhadap informasi yang kita baca. Sejak 2011 hingga saat ini, PGI secara khusus memberikan perhatian kepada Papua dengan adanya Biro Papua di PGI. Novel Matindas sebagai Kepala Biro Papua memberikan catatan penting tentang Papua hingga 2013.
Hubungan Ekumenis
Saat ini di Papua (dan Papua Barat) sudah ada 48 Sinode Gereja yang berdiri. Tidak semuanya adalah anggota PGI dan PGI Wilayah Papua. Namun semua sinode ini tergabung dalam Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP). PGGP merupakan wadah persekutuan lintas denominasi yang saat diakui juga oleh Pemerintah Daerah di Papua. Sebagai konsekuensi, mereka mendapatkan dukungan Pemerintah Daerah Papua, sesuai UU no. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Dukungan ini terutama dalam bentuk dana Hibah.
Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) merupakan wadah ekumenis yang dibentuk oleh gereja-gereja di Papua. Pimpinan PGGP digilir-ganti setiap 3 tahun. Saat ini PGGP diketuai Pdt. Hermann Saud, M.Th. Beliau juga adalah ketua PGIW-Papua dan mantan Ketua Sinode GKI di Tanah Papua.
Hubungan ekumenis gereja-gereja di Papua secara formal cukup baik. Namun ada ketegangan khusus antara GKI di Tanah Papua dengan Gereja Protestan Indonesia (GPI) Papua. Ketegangan ini sudah sangat lama. Hingga kini belum bisa terjembatani. Akibatnya “sulit terjadi kerjasama” antara dua organisasi gereja ini. Hubungan itu kembali mengalami ketegangan setelah ada insiden di Nabire. Insiden itu dipicu oleh berpindahnya sejumlah warga jemaat GKI Papua menjadi warga jemaat GPI Papua karena ada konflik internal antara jemaat dan pendeta mereka. Pada 2011 PGI telah mengirim tim Rekonsiliasi ke Nabire untuk menjembatani konflik tersebut. Namun nampaknya persoalan tersebut masih belum benar-benar selesai hingga saat ini.
Selain dengan GPI, GKI di Tanah Papua juga memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan Gereja HKBP di Papua. Sejarah berdirinya HKBP di Jayapura mencatat bahwa hubungan antara GKI Papua dan HKBP pernah memanas karena HKBP “Nomensen” berdiri di Jayapura. Hubungan ini kembali “tegang” karena ada rencana pendirian jemaat HKBP di Sorong, Papua Barat. Meski pimpinan HKBP dan pendeta HKBP di Sorong sudah menegaskan bahwa tuduhan tersebut tidak benar. HKBP berniat untuk bekerja sama dengan GKI di Tanah Papua guna pembinaan kepada warga jemaat yang berasal dari suku Batak.
Pada tahun 2012 yang lalu telah diadakan kunjungan ekumenis dari Dewan Gereja-gereja se-Dunia dan PGI ke Papua. Namun tampaknya upaya untuk “mempersatukan” kedua belah pihak yang bertikai ini masih sulit. Hal ini juga disebabkan pemahaman yang kurang tepat mengenai bentuk “keesaan” di Papua, terkait pelaksanaan Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM) PGI. Tidak dapat dipungkiri juga bahwa ada sejarah masa lalu yang ikut menyuburkan konflik kedua gereja ini.
Hubungan Lintas Agama
Hubungan antarumat beragama di Papua sangat baik. Sebelum ada PGGP, sudah ada Forum lain yang menampung organisasi lintas agama, yaitu Forum Komunikasi Para Pimpinan Agama (FKPPA). Di dalamnya ada PGIW Papua, KWI, MUI Papua, PHDI, dan Walubi. FKPPA ini lebih solid dari FKUB yang dibentuk Pemerintah kemudian.
Persoalan hubungan antaragama, khususnya Islam dan Kristen di Papua, adalah isu ekonomi (migran) yang datang ke Papua dan menguasai pasar/ekonomi di Papua. Akibatnya menyingkirkan para pedagang tradisional asli Papua. Para migran yang umumnya datang dari Makassar dan Jawa tersebut menguasai pasar/ekonomi di Papua. Hampir semua perdagangan dan industri rumah tangga dikuasai mereka. Alhasil mata pencaharian orang asli Papua berkurang di sektor perdagangan tersebut. Belum lagi keterampilan orang asli Papua sangat tertinggal bila dibandingkan dengan para pendatang tersebut yang sudah terlatih berdagang dan mendapatkan bantuan untuk modal usaha dari sanak keluarga mereka atau kelompok (paguyuban) mereka.
Isu lain yang terkait dengan hubungan lintas agama adalah soal identitas anak-anak Papua. Sebagaimana berita yang sempat mencuat di Sydney Morning Herald tentang “penjualan” anak-anak asli Papua ke pesantren-pesantren di Jawa untuk dididik secara islam. Hal ini mendapatkan perhatian khusus PGI karena kejadian serupa pernah terjadi 10 tahun yang lalu, menurut laporan KPAI. Uskup Agung Gereja Katolik di Merauke pernah secara khusus mengupayakan pengembalian anak-anak tersebut pada beberapa tahun yang lalu. Namun kejadian serupa terulang kembali.
Biro Papua PGI telah mengomunikasikan hal ini kepada Sinode GKI di Tanah Papua dan PGI Wilayah Papua, namun tampaknya belum ada aksi konkret dari gereja-gereja di Papua untuk menyikapi hal ini.
Persoalan Hak Asasi Manusia (HAM)
Persoalan HAM di Papua sudah menjadi perhatian dunia internasional. Awalnya gereja Katolik (JPIC) dan gereja Protestan (KPKC – GKI Papua) yang memiliki perhatian sangat besar pada persoalan ini. Sekarang hampir semua lapisan, khususnya LSM memberikan perhatian luar biasa. Namun sayang, menurut pengamatan kami baru sebatas komoditas formal.
Hal ini juga karena adanya tekanan yang begitu kuat dari pihak TNI dan Polri di Papua, dengan banyaknya kasus yang mengindikasikan para pelaku kekerasan adalah oknum TNI dan Polri. Namun belum ada upaya-upaya yang signifikan untuk membawa para pelaku ke pengadilan.
Selain masalah kekerasan, persoalan lain adalah pelaksanaan MIFEE (Merauke Integrated Food dan Energy Estate) di Merauke, Papua. Proyek pembangunan lahan perkebunan ‘raksasa’ ini merupakan program nasional yang bertujuan untuk membangun ketahanan pangan nasional.
Namun pada pelaksanaannya, MIFEE telah mengakibatkan terancamnya kehidupan suku-suku asli di Merauke, khususnya suku Malind. Selain itu, MIFEE dikuasai perusahaan-perusahaan dari luar Papua yang dicurigai bukan menanam bahan pangan melainkan kelapa sawit dan jagung yang ditujukan untuk keuntungan komersil. Cara-cara perusahaan tersebut untuk memperoleh tanah/lahan perkebunan pun ditengarai dengan cara yang tidak benar dan melanggar hukum.
Otonomi Khusus (Otsus)
Pelaksanaan UU no. 21/2001 tentang Otonomi Khusus di Papua telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun. Namun hingga sekarang tidak ada evaluasi dari pihak Pemerintah pusat. Bahkan dalam pelaksanaannya Otsus telah mengalami “pengkebirian” beberapa kali, salah-satunya dengan “pembentukan Provinsi Papua Barat” dan “intervensi” Mendagri terhadap pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP).
Selain pengkebirian Otsus tersebut, dalam pelaksanaannya pun Otsus tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Bahkan salah satu amanat Otsus tentang pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi (untuk korban pelanggaran HAM) hingga sekarang tidak juga dibentuk.
Malahan, pada 2012 yang lalu, Presiden, melalui PP no 65 dan 66 tahun 2011 telah membentuk Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat (UP4B) yang diketuai Letjen (Purn) TNI Bambang Darmono. Tujuan pembentukan UP4B adalah untuk akselerasi pembangunan (fisik) di Papua dan Papua Barat.
Pada 2010, beberapa elemen masyarakat sipil di Papua telah menyatakan bahwa mereka menolak Otsus dan mengembalikan “mas kawin” tersebut kepada Pemerintah Pusat di Jakarta.
Hal ini semakin memperuncing ketenggangan Papua-Jakarta
Dialog Papua-Jakarta
Jaringan Damai Papua (JDP) dan Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) bekerja sama menggagas sebuah upaya untuk melakukan Dialog Nasional antara rakyat Papua – dan Pemerintah Pusat (Jakarta). Dua orang tokoh Dialog ini yaitu Pater Dr. Neles Tebay, Pr (KWI) dan Dr. Muridan (LIPI) telah memperjuangkan Dialog Papua-Jakarta hingga sekarang.
Pada awalnya, upaya ini kurang mendapat dukungan dari Pemerintah. Namun 2 tahun belakangan ini telah mendapat respon positif dari Pemerintah. Bahkan Presiden SBY sendiri pada pidato kenegaraannya bulan Agustus 2012 yang lalu telah menyatakan bahwa Dialog Papua-Jakarta adalah solusi yang baik untuk persoalan di Papua.
Namun demikian, belum ada kesepakatan dari kedua belah pihak mengenai format Dialog Papua-Jakarta. Bahkan ada kesan masing-masing pihak bersikukuh dengan formatnya masing-masing.
Hal ini mengakibatkan proses Dialog Papua-Jakarta hingga sekarang belum bisa terlaksana sebagaimana format yang diusulkan oleh JDP dan LIPI (Lih. Buku Road Map Papua).
Rencana Selanjutnya
Terkait dengan berbagai persoalan di atas, Biro Papua PGI mengusulkan langkah-langkah berikut:
- Untuk penguatan hubungan ekumenis, Otonomi Khusus dan persoalan HAM, maka perlu ada upaya rekonsiliasi yang serius antara gereja-gereja di Papua, khususnya antara GKI di Tanah Papua dengan GPI dan HKBP. Hal ini penting karena jika gereja-gereja di Papua terus mengalami konflik internal, maka hal ini akan memperlemah upaya advokasi HAM dan upaya-upaya lain untuk membantu menyelesaikan persoalan di Papua. Untuk itu PGI bisa mengambil peran dalam upaya rekonsiliasi ini. Tentu perlu rencana jangka panjang dan konsultasi dengan pihak-pihak terkait. Juga hal penting lainnya adalah soal pendanaan.
- Persoalan “islamisasi” bisa dihadapi dengan penguatan (capacity building) kepada para pendeta yang melayani di pedalaman. Hal ini bisa melalui pelatihan dan pendampingan langsung, atau bisa dengan mengirim “tenaga ekumenis” terlatih ke lapangan.
- Persoalan Dialog Papua-Jakarta nampaknya harus menunggu kepemimpinan Presiden Indonesia yang baru. Sementara itu lobby-lobby dan intervensi mitra gereja di Luar Negeri harus terus ditingkatkan untuk terus mendapatkan perhatian dari Pemerintah Indonesia. Sebab tampaknya Pemerintah Indonesia masih akan terus “menutup akses” Internasional ke Tanah Papua.
Penulis: Novel Matindas, M.Th (Kepala Biro Papua PGI)
Be the first to comment