Argumen “Pro Life” dan “Pro Choice”

Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan Reproduksi yang dianggap melegalkan praktik aborsi kini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Sebagian masyarakat resah karena mengkhawatirkan adanya penyimpangan kebijakan tersebut sehingga mempermudah praktik aborsi.

Pihak penentang menilai bahwa dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai gaya hidup bebas saat ini, aturan ini akan mudah disalahgunakan pelaku perzinaan untuk melegalkan aborsi.

Aturan ini membuka peluang kehamilan tak diinginkan (KTD), hasil perzinaan, gagal kontrasepsi, dan kehamilan yang menghambat karier kerja untuk melakukan aborsi.

Dalam PP tersebut memang dikemukakan bahwa aborsi bisa dilakukan untuk dua keadaan, yakni gawat darurat medis dan kehamilan akibat pemerkosaan. Namun, sebagian masyarakat melihat celah permisif mudahnya orang melakukan aborsi. Kendati pun sudah dilarang melalui KUHP, praktik aborsi ilegal masih banyak terjadi.

Aborsi yang sudah dikenal sejak lama memang memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan dengan berbagai metode, termasuk natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik, dan metode tradisional lainnya. Di masa kini aborsi dilakukan dengan memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi.

Pihak yang mempermasalahkan praktik aborsi memperingatkan agar setiap peraturan yang dikeluarkan tetap mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat, seperti adat istiadat, etika moral, kesusilaan, dan aturan berbagai agama yang ada sehingga tidak menimbulkan pertentangan.

Sekiranya pertentangan seperti ini akan terus berlanjut sepanjang tidak ada pemahaman yang sama mengenai masalah yang dihadapi.

Argumen

Setidaknya perdebatan seperti ini sudah berlangsung sejak dahulu. Mereka yang termasuk golongan antiaborsi menamakan diri sebagai kelompok pro life (pro kehidupan). Mereka yang menyetujui praktik aborsi menyebut diri sebagai pro choice (pro pilihan).

Sebagian kelompok pro life yang moderat mengajarkan bahwa aborsi selalu merupakan hal buruk, namun tetap mengizinkannya dalam syarat-syarat tertentu. Sekiranya dalam konteks inilah mengapa PP Kesehatan Reproduksi dipertentangkan. Pemerintah melihat bahwa syarat “gawat darurat medis” dan “kehamilan akibat pemerkosaan” termasuk syarat yang ditentukan untuk bisa melakukan aborsi.

Namun, kelompok pro life pada intinya berpandangan, foetus manusia merupakan makhluk hidup yang tidak bersalah. Makhluk hidup yang tidak bersalah tidak pernah boleh dibunuh dalam lingkup situasi apa pun. Namun sebaliknya, kelompok pro choice cenderung percaya bahwa foetus manusia itu bukan makhluk manusiawi.

Ia tidak memiliki hak dan kepentingan serta tidak logis dilukiskan sebagai tak bersalah ataupun bersalah. Karena itulah, mereka berpandangan umumnya hak perempuan akan kebebasan pro kreatif bersifat mutlak dan tidak boleh dihalangi (Teichman, 1998).

Di negara-negara Barat, pendapat hukum dan publik umumnya diwarnai para filsuf yang menyangkal kehidupan manusia secara intrinsik mempunyai nilai. Mereka umumnya menegaskan aborsi merupakan suatu prosedur yang bebas moral.

Di Barat aborsi memang tidak diterima sebagai metode pembatasan kelahiran, tetapi keberadaannya diterima sebagai sandaran bila ada kontrasepsi gagal. Mereka membela legalisasi aborsi dan tidak secara khusus khawatir terkait pertumbuhan populasi, tetapi pada kebebasan memilih.

Aborsi terapeutis yang diikuti kelompok pro life moderat diarahkan dalam konteks menyelamatkan kehidupan ibu. Namun, pada praktiknya hal ini bisa sangat elastis dan bisa diterapkan pada banyak kasus lain, misalnya kasus inses, korban pemerkosaan, kemiskinan, dan lainnya.

Di dalam sistem hukum Indonesia, perbuatan aborsi dilarang dilakukan. Bahkan perbuatan aborsi dikategorikan sebagai tindak pidana. Pelaku dan orang yang membantunya akan dikenai hukuman.

Argumen Agama

Agama-agama lebih cenderung mengikuti argument pro kehidupan baik dalam pengertian mutlak maupun dengan syarat ketat. Kelompok pro kehidupan mendasarkan pandangannya untuk membangun kesadaran dalam mencintai kehidupan. Dasarnya, kehidupan perlu diselematkan, khususnya untuk menolong mereka yang harapannya berada di ujung tanduk.

Ada harapan untuk dapat menikmati kehidupan yang indah dan luar biasa yang direncanakan Tuhan bagi kebaikan ciptaan-Nya. Kelompok pendukung pro life lebih mengedepankan moral dan etika bahwa untuk nyawa manusia, hanya Tuhanlah yang mempunyai hak untuk mengambilnya kembali.

Janin memiliki hak hidup yang tidak boleh dirampas siapa pun, bahkan termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Karena itu, mereka berpendapat, melakukan aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan.

Pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Melegalisasikan aborsi, dengan begitu, sangat bertentangan dengan nilai agama. Bahkan, tidak ada satu pun ajaran agama yang melegalkan aborsi.

Dipahami bahwa dari sudut pandang legalitas, norma, budaya, dan pandangan mengenai kehidupan, keberadaan aborsi berbeda-beda secara substansial di berbagai negara. Namun yang jelas, isu aborsi sampai kini tetap dianggap sebagai permasalahan menonjol dan kontroversinya kerap memecah belah pendapat publik.

Janin dapat merasakan sakit bahkan selama trimester pertama kehamilan. Atas keyakinan itu, aborsi dianggap menyakitkan bagi anak yang belum lahir.

Kaum agamawan menilai aborsi sebagai suatu tragedi fatal yang tersembunyi. Itulah mengapa aborsi kerap ditafsirkan sebagai tindakan yang sama sekali tidak diperbolehkan. Kaum pro kehidupan menginginkan kehidupan tetap dihargai sebagaimana Tuhan memberikan anugerah kehidupan itu sendiri.

Kembali kepada PP Kesehatan Reproduksi yang kontroversial di atas. Ada baiknya dipertimbangkan ulang berbagai pertimbangan untuk meminimalkan kontroversi di tengah publik. Pertimbangan sosial, budaya, etika moral, dan agama perlu mendapatkan kajian lagi lebih mendalam agar bisa memutuskan kebijakan yang lebih relevan bagi semua pihak.

Romo Benny Susetyo adalah pemerhati sosial.

Tulisan ini telah diterbitkan Sinar Harapan  pada 29 Agustus 2014.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*