Apresiasi Lewat Bancakan Puisi bagi Fridolin Ukur

Bancakan Puisi Membacakan Puisi-Puisi Fridolin Ukur (1930-2003), Sabtu (30/1)

JAKARTA,PGI.OR.ID-Sejumlah puisi karya Almarhum Fridolin Ukur dibacakan begitu apik oleh Pdt. Gomar Gultom, Pdt. Marko Mahin, Dina Tuasuun, Pdt. Adrie Massie, Cherly Salim, Marina Yusuf, dan Pey Ukur, di acara bertajuk Bancakan Puisi Membacakan Puisi-Puisi Fridolin Ukur (1930-2003) yang dilaksanakan secara virtual, pada Sabtu (30/1).

Kegiatan ini bagian dari Festival Sastra dan Rupa Kristiani 2020-2021, yang salah satu tujuannya adalah memberi apresiasi kepada insan sastra dan seni rupa yang telah memberi kontribusi pada khazanah sastra dan seni rupa di Indonesia.

Sosok Pdt. Ukur, biasa dia disapa, memang dikenal sebagai penyair legendaris Indonesia (Angkatan ’66). Syair-syair mantan Sekretaris Umum PGI ini, banyak diterbitkan di berbagai media massa. Terakhir, diterbitkan dalam satu buku berjudul Wajah Cinta (BPK Gunung Mulia, 2003). Puisi-puisi yang ada dalam buku ini merupakan hasil percikan perenungan, dan kisah perjalanan hidupnya yang dikumpulkan sekian lama. Kata demi kata dijahit dan diuntai menjadi satu nada, satu irama; berjiwa dan bermakna.

Didaulat sebagai yang pertama, Pdt. Gomar Gultom membacakan puisi Gadis Pencinta Puisi, salah satu puisi yang ada dalam buku Malam Sunyi karya Fridolin Ukur yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia tahun 1961. Dilanjut oleh Pdt. Marko Mahin dengan puisi Akupun Tafakur. Menurutnya, puisi ini dibacakan oleh Pdt. Ukur saat merayakan HUTnya yang ke 65 di STFT Jakarta.

Secara berturut-turut puisi karya salah satu tokoh Dayak ini dibacakan. Pada kesempatan itu, salah satu puisi Pdt. Ukur dalam bahasa Jerman, Mereka Dari Lain Benua, dibacakan oleh Pdt. Adrie Massie. Kabarnya, puisi tersebut dibacakan oleh Pdt. Ukur pada Festival Solothurner Literaturtage, 30 Mei 1992. Sementara itu, Pdt. Bessy Breinsizka membacakan puisinya sendiri, Aku Bertanya Ketika Kehilangan Sang Wajah Cinta, yang diciptakannya saat Pdt. Ukur tutup usia.

Pembacaan puisi berjudul Akupun Termangu oleh Pey Ukur, putra Fridolin Ukur, menjadi pamungkas dari acara ini. Menurut Pey, puisi tersebut adalah ungkapan rasa empati sang ayah terhadap berbagai persoalan yang dihadapi, baik rekannya, maupun dan orang lain.

Meski berlangsung singkat, acara yang dipandu oleh  Luna Vidya, pemain tearter di Sulawesi Selatan ini, begitu menggugah, dan seakan-akan membangkitkan kembali kenangan-kenangan terhadap Fridolin Ukur, sang pendeta penyair, yang pada 26 Juni 2003 telah berpulang ke rumah Bapa di Sorga.

 

Pewarta: Markus Saragih