Antropolog Minta Jokowi Akhiri Intoleransi

Para Antropolog memberikan keterangan pers usai berdialog dengan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, senin (16/1)

JAKARTA,PGI.OR.ID-Presiden Joko Widodo diminta menindak tegas sesuai hukum siapa pun yang bersikap intoleran dan menggunakan kekerasan dalam menyikapi perbedaan suku, agama, ras, dan pandangan. Dinamika sosial-politik akhir-akhir ini jelas memperlihatakan bahwa nilai-nilai kebinekaan Indonesia, termasuk semboyan Bhinneka Tunggal Ika sedang terus menerus digerus.

Permintaan tersebut disampaikan para para Antropolog Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif  (AUI) saat berdialog dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta,  Senin (16/1). Para antropolog tersebut diantaranya Amri Marzali dari Universitas Indonesia, P.M. laksono dari Universitas Gadjah Mada, Selly Rianwanti dari Universitas Padjadjarqan, dan Kartini Sjahrir.

Pertemuan dengan Jokowi merupakan langkah lanjutan Gerakan AUI, yang pertengahan Desember lalu menggelar konfrensi pers dan mendeklarasikan pernyataan sikap dan seruan mengenai semakin buruknya kondisi kebhinnekaan dan kian meluasnya intoleransi dalam amsryakat.  Pendeklarasian pernyataan sikap diselenggarakan simultan di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia serta di Den Haag, oleh para antropolog Indonesia yang tinggal di Belanda. Dokumen pernyatan sikap berjudul “Darurat Keindonesiaan” ditandatangani oleh lebih dari 300 antropolog dari seluruh Indonesia.

Gerakan AUI menyebutkan bahwa dialog dengan presiden dihadiri oleh para antropolog utusan dari berbagai berbagai perguruan tinggi di Indonesia termasuk dari Universitas Hasanuddin Makassar yang diwakili oleh Prof.Dr.Pawenari Hijjang, MA

“Kami juga meminta Panglima Tentara Nasional Indonesia dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar merangkul seluruh rakyat dalam menjalankan tugas dan meletakkan kepentingan negara dan bangsa yang beragam di atas kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Penegakan hukum harus dilakukan demi Tanah Air, bukan semata-mata  karena tekanan massa,” kata Drs. R. Yando Zakaria, penggagas Gerakan AUI.

Dalam naskah rekomedasi yang diserahkan kepada Presiden, para antropolog antara lain menyatakan mendesaknya peningkatan peran negara dalam mengendalikan dan menjaga agar tak  terjadi pemaksaan cara hidup dari satu golongan kepada golongan lain. Sesuai Pancasila, negara harus dapat menjamin kebebasan setiap warga negara untuk dapat mengekspresikan identitas dengan cara yang beragam berdasarkan kesetaraan.

Peningkatan upaya percepatan pemerataan penguasaan sumber daya sebagimana yang telah dilakukan pemerintah saat ini adalah rekomendasi lain yang disampaikan para antropolog untuk menimalisasi intoleransi.  “Pemerintah perlu memastikan bahwa upaya ini betul-betul terlaksana sebagai pilihan rasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengatasi kesenjangan yang dapat menimbulkan gejolak sosial,” papar Dr Suraya Afif, antropolog lain yang juga hadir di Istana.

Rekomendasi selanjutnya adalah, perlunya pemerintah meninjau ulang berbagai peraturan perundangan dan kebijakan yang belum mempertimbangkan keberadaan dan kepentingan kelompok-kelompok suku, agama, dan kelompok minoritas lainnya, termasuk korban-korban akibat perbedaan pandangan politik, dan pengungsi korban konflik  internasional.Untuk menumbuh-kembangkan budaya toleransi, Pemerintah  juga disarankan agar  memberi disinsentif atau tindakan hukum  pada para pelaku tindakan intoleran dan, sebaliknya, memberikan insentif  atau penghargaan bagi warga negara, pejabat, atau kelompok masyarakat yang telah menunjukkan sikap toleransi. Misalnya, dengan menganugerahi daerah atau kepala daerah yang dinilai memiliki tingkat toleransi paling tinggi.

Kepada Presiden, para antropolog, pun menyampaikan bahwa untuk memastikan terpeliharanya kehidupan berbangsa dan bernegara yang Bhinneka Tunggal Ika, Pemerintah perlu memakai perspektif sosial budaya dalam seluruh kegiatan pemerintahan dan pembangunan. “Pemerintah harus menjamin tersedianya kapasitas lembaga-lembaga pemerintahan untuk menerapkan perspektif sosial budaya sejak perencanaan, pelaksanaan, sampai ke evaluasi pemerintahan dan pembangunan,” tambah Yando Zakaria.