Antara Minggu Palma, Kambing Hitam dan Massa Rakyat

Oleh: Pdt. Penrad Siagian

Minggu Palma, adalah sebuah penanda atas peristiwa Yesus yang dielu-elukan saat memasuki Yerusalem. Elu-elu yang dipenuhi dengan imajinasi mesianis. Imajinasi datangnya seseorang yang akan membawa pembaharuan atas sebuah sistem kehidupan. Sistem kehidupan yang dirasa menindas, manipulatif dan diskriminatif.

Namun beberapa hari kemudian imajinasi itupun berubah arah. Penyambutan dengan nyanyian “Hosana” berubah menjadi “kutuk” penyaliban “Salibkan..Salibkan”. Apakah Yesus tidak sadar bahwa nyanyian imajinatif hosana tersebut akan berubah menjadi kutuk penyaliban? Saya teringat pada Rene Girrad dengan Scapegoat-nya. Sebuah mekanisme kambing hitam yang bekerja dalam sebuah proses sosial-agama-politik. Perspektif ini membaca kedatangan Yesus ke Yerusalem adalah juga sebuah proses penelanjangan.

Penelanjangan atas sebuah struktur dan sistem kehidupan yang korup, menindas, diskriminatif dan manipulatif. Yesus menelanjangi struktur dan sistem kehidupan yg dimanipulasi oleh tikus-tikus busuk atas nama politik dan agama. Yesus menelanjangi oportunisme berbaju politik dan agama yang dimanipulasi untuk menumpuk harta dan kekuasaan demi kepentingan dirinya sendiri. Bahkan Yesus menampilkan secara vulgar wajah-wajah mereka yang selama ini berada dalam persembunyiannya.

Yesus adalah kambing hitam, korban dari perselingkuhan oportunisme kekuasaan yang telah mapan dan nyaman dengan memanipulasi kehidupan dalam jubah politik dan agama. Yesus adalah kambing hitam dari ketersinggungan tikus-tikus berbau busuk yang keluar dari got dan gorong-gorong persembunyiannya. Yesus adalah kambing hitam karena menunjuk hidung politikus busuk yang hidup dengan nyaman di atas penderitaan rakyat yang terus dimanipulasi.

Kedatangan Yesus ke Yerusalem adalah proses penyingkapan secara vulgar wajah kekuasaan yang berselingkuh dengan agama yang korup dan manipulatif.

Membaca Minggu Palma dan Peng-Kambing Hitam-an Yesus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, akhir-akhir ini terasa vulgar mewujud dalam oportunisme di ruang-ruang politik dan keagamaan. Politik kontestasi yang mengkapitalisasi identitas primordial sebagai senjata pamungkas meraih kekuasaan dan UU MD3 adalah wujud paling vulgar dari sistem dan struktur yang manipulatif, menindas dan diakriminatif.

Dan massa rakyat, tidak lagi personal namun komunal) adalah korban dari perselingkuhan oportunisme politik dan agama ini, menjadi korban yang terus di kapitalisasi dan di manipulasi identitas keagamaannya maupun menjadi korban yang diamputasi subjek politiknya oleh oligarki kekuasaan melalui UU MD3.

Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Keutuhan Ciptaan (KKC) PGI

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*