Anak Masih Berpotensi Masuk Rumah Tahanan

JAKARTA,PGI.OR.ID-Sejak adanya Undang-Undang Nomor11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak diharapkan semakin baik. Namun sudah empat tahun berlalu sejak UU itu disahkan pada 30 Juli 2012, ternyata masih banyak kendala.

” Regulasi pendukung dari UU SPPA  tak kunjung diselesaikan. Berdasarkan UU SPPA,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono, di Jakarta, Kamis, 28 Juli 2016.

Menurut Supriyadi, oleh UU SPPA pemerintah dapat mandat membuat 6 materi dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan 2 materi dalam bentuk Peraturan Presiden. Namun sampai saat ini peraturan pendukung itu belum semua tersedia. Pemerintah baru merampungkan dua materi PP tentang Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur Dua Belas (12) Tahun) dan Perpres tentang Pelatihan Apgakum. Salah satu permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan, dan penahanan anak.

” UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga  yakni LPKA, LPKS, RPKA dan LPAS sebagai pengganti tempat penangkapan, penahanan dan Lapas Anak,” katanya.

Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) kata Supriyadi, adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya. Sedangkan Lembaga Penempatan Anak Sementara atau LPAS adalah tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung. Sedangkan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial  (LPKS) adalah tempat penitipan anak yang ditangkap jika belum ada ruang pelayanan khusus anak.

” Dan Ruang Pelayanan Khusus anak  (RPKA) adalah tempat penitipan anak yang ditangkap selama 1×24 jam,” ujarnya.

Lembaga-lembaga tersebut, kata Supriyadi, belum banyak tersedia di seluruh Indonesia. Padahal, dengan tak tersedianya lembaga-lembaga itu, ini akan jadi problem. Ia contohkan, jika ada  anak berumur 14 sampai dengan 18 tahun yang berkonflik dengan hukum maka  UU SPPA memandatkan penitipan anak di LPAS sebagai pengganti rutan.  Bila belum ada LPAS di wilayah yang bersangkutan, maka anak dapat dititipkan di LPKS. ” Jadi untuk melindungi keamanan Anak,  UU SPPA memerintahkan dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS (sementara) sebagai pengganti LPAS,” ujarnya.

Masalahnya  lanjut Supriyadi, sampai saat ini LPAS dan LPKS belum banyak tersedia di seluruh Indonesia. Hanya beberapa wilayah di tingkat provinsi saja yang mulai memiliki LPAS. Namun hampir sama dengan kondisi LPAS,  jumlah LPKS juga tidak ada di setiap kabupaten. Akibatnya aparat penegak hukum seringkali bingung ke mana anak yang bersangkutan akan di tempatkan

” Sampai dengan Per 23 Juli 2016, berdasarkan data yang didapat dari situs resmi Ditjen PAS, jumlah tahanan anak yang terdaftar di UPT yang dikelola Ditjen PAS di 33 wilayah berjumlah 1.002 tahanan anak,” ujarnya.

Jumlah ini kata Supriyadi, lebih banyak di banding tahun 2015 yakni 692 tahanan anak.  Angka ini tidak termasuk jumlah tahanan anak yang dikelola oleh polisi.  Sedangkan untuk jumlah anak yang menjadi narapidana atau warga binaan berjumlah 2.957 anak yang tersebar di 33 wilayah di Indonesia. Dirinya sendiri sangat prihatin dengan jumlah angka tahanan anak  yang relatif tinggi tersebut.

” Seharusnya dengan berjalannya UU SPPS jumlah tahanan anak dalam rutan seharusnya semakin menurun jumlahnya,” ujarnya.

Ironisnya,  tidak seluruh wilayah kata Supriyadi, memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan, sebelum berubah nomenklautur menjadi LPAS, jumlah Lapas anak hanya tersebar di 17 Provinsi di Indonesia. Sehingga bisa dipastikan anak yang menjadi tahanan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa.

” Dalam praktek satu satunya solusi adalah menitipkan ke dinas sosial di bawah Kemensos. Tapi ini juga tidak mudah,” ujarnya.

Pertama, kata dia,  tidak semua wilayah memiliki lembaga sosialnya. Kedua, jika terkait keamanan misalnya potensi anak lari dari tempat penitipan, polisi setempat memiliki keterbatasan untuk  melakukan penjagaan setiap hari di dinas sosial. Dan  ada pula soal birokrasi pengamanan di Polri yang harus dilakukan. Intinya untuk penempatan di dinas sosial belum ada peraturan yang mewadahinya. Akibatnya anak-anak juga berpotensi dititipkan ke rumah tahanan yang justru di tolak oleh UU SPPA.

” Sebaliknya juga dalam praktek, dalam wilayah tersebut belum ada LPSK atau tempat khusus penitipan anak yang berkonflik dengan hukum  dibawah 12 tahun,” katanya.

Maka akhirnya, kata Supriyadi,  anak pun dititipkan juga ke LPAS yang tersedia.  Padahal itu untuk usia 14-18 tahun. Dan yang lebih problematik adalah jika satu wilayah belum ada LPAS, LPKS serta RPKA. Maka kerapkali anak yang di tangkap  terpaksa masuk rutan polisi. Akibatnya tidak terhindarkan kondisi anak  yang ditahan sejak penyidikan sampai dengan putusan pengadilan  rentan sekali keamanannya.

“Anak seharusnya tidak di masukkan ke dalam rutan, baik tutan yang dikelola oleh Dirjen Lapas maupun rutan yang dikelola Polri. Pelanggaran atas hal ini jelas bertentangan dengan perintah UU SPPA dan pelanggaran atas hak anak,” katanya. (AS)