JAKARTA,PGI.OR.ID-Amnesty International Indonesia mengatakan pemerintah tidak boleh hanya menerbitkan surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri tentang seragam di lingkungan sekolah negeri. Penerbitan surat bersama tersebut harus diikuti pencabutan SKB Dua Menteri Tahun 2006 tentang Pendirian Tempat Ibadah.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan penerbitan SKB tiga menteri tentang seragam tersebut merupakan langkah awal yang baik. Pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah dalam menjamin kebebasan siswa sekolah negeri untuk tidak menggunakan seragam yang bertentangan dengan hati mereka. “Namun tidak boleh hanya berhenti di situ saja,” kata Usman sebagaimana tertulis dalam rilis resmi Amnesty Internasional Indonesia yang dikeluarkan pada Sabtu (6/2).
Menurut Usman, pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya berbentuk larangan atau keharusan menggunakan seragam tertentu. Melainkan pelarangan dan penutupan rumah ibadah. “Pelanggaran kebebasan beragama tidak hanya sebatas pemaksaan penggunaan seragam saja, namun juga mencakup pelarangan dan penutupan rumah ibadah pemeluk agama dan kepercayaan minoritas,” jelasnya.
Menurut Amnesty, SKB Dua Menteri tahun 2006 itu terus menjadi pembenaran tindak diskriminasi berbasis agama. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap pendirian rumah ibadah baru wajib mendapat dukungan 60 warga sekitar.
Menurut Usman, SKB dua menteri itu jelas bertentangan dengan konstitusi di Indonesia dan hukum HAM internasional. “Aktor-aktor intoleran merasa dibenarkan oleh SKB tersebut ketika melakukan penolakan terhadap rumah ibadah kaum minoritas,” paparnya
Dia juga mengatakan, kebebasan beribadah dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun hal tersebut tidak terwujud jika terdapat pembatasan pendirian rumah ibadah. “Karena itu Amnesty menyerukan kepada pemerintah untuk meneruskan langkah baiknya dengan segera mencabut SKB Dua Menteri,” tegasnya.
Dalam catatan amnesty, sepanjang 2020 telah terjadi 40 kasus diskriminasi berbasis agama. bentuknya, antara lain berupa pelanggaran kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan. “18 di antaranya terkait penutupan, penyegelan, dan penolakan pembangunan rumah ibadah dan intimidasi terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas,” sebagaimana dikutip dari rilis tersebut.
Pada Januari 2020 misalnya, amnesty mencatat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimiliki Gereja Paroki Santo Joseph di Tanjung Balai Karimun yang sudah terbit digugat sekelompok warga. Akibatnya, renovasi gereja yang sedang berjalan terasa berhenti. Selain itu, pada 29 Juni 2020 penolakan gabungan ormas kelompok mayoritas di Kuningan, Jawa Barat membuat pemerintah setempat menyegel bakal makam sesepuh masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan.
Menurut amnesty, Indonesia telah memiliki dasar hukum yang menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hal itu tertuang dalam meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 12 Tahun 2005. Salai itu, melalui pasal 28E, 28I, 29 UUD 1945, negara juga telah menjamin kebebasan berkeyakinan dan beragama. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga melindungi kemerdekaan beribadah sesuai kepercayaan.
Pewarta: Markus Saragih