Oleh Pdt. Weinata Sairin
“Ubi caritas et amor, Deus ibi est.
‘Dimana ada kasih dan cinta disitulah Allah berada'”
Kita sedang hidup dan menghidupi sebuah dunia yang riuh menggempita. Dunia yang dinamik, dipenuhi gejolak yang terkadang eksplosif hadir menjadi bagian dari nafas hidup kita. Dunia yang diam, sepi, alami, harum oleh dedaunan hijau tidak lagi kita nikmati, bahkan tidak juga ditemui dipedalaman sana. Manusia figur sentral dalam sejarah, ciptaan Allah yang amat mulia, yang diberi predikat imago dei (image of God), khalifah Allah tidak mampu mewujudkan peran sebagaimana yang diamanatkan oleh Allah. Mereka malah hidup menampilkan karakternya yang spesifik, mereka merefleksikan apa yang dikenal sejak zaman barbar : “homo homini lupus”. Tahun 1957 penyair Sunda terkenal Ajip Rosidi dalam puisinya berjudul “Kusaksikan Manusia” memberikan potret yang cukup gamblang tentang kesiapaan manusia. Ajip menulis:
“Kusaksikan manusia dendam-mendendam/
Kudengar denyut ketakutan mengejar siang dan malam/
Kuyakinkan mereka akan kebaikan kemanusiaan/
Tapi kusaksikan pula kesetiaan pun dikhianati/
Kukatakan : ini tanah kita, orang lain tak usah campur!/
Tapi kulihat mereka mengangkat senjata, lalu menggempur :/
Berikan segala tanah, semua punya kami!
Yang menang pun mengibarkan panji-panji”
(Ajip Rosidi, Surat Cinta Enday Rasidin, Pustaka Jaya, Cetakan keenam, Jakarta, 2002)
Itu kisah kemanusiaan yang dipotret seorang Ajip pada 1957, konteksnya mungkin kota kecil dekat Cirebon bernama Jatiwangi, yang tersohor karena Swikenya (Masakan Tionghoa Indonesia yang terbuat dari paha kodok, Red). Ya di tahun-tahun itu, kasus-kasus tanah cukup ramai sehingga mendorong lahirnya undang-undang agraria. Andai di zaman ini Ajip masih siap menulis puisi, tentu isu yang diangkat akan lebih kompleks. Tetapi kegalauan Ayip tentang realitas manusia di zaman itu cukup memberi gambaran kepada kita bahwa akhlak manusia di masa itupun sama sekali tidak bisa dibanggakan.
Secara plastis Ajip menghadirkan sosok manusia di ruang-ruang sejarah kita dengan amat telanjang. Ia menyaksikan dengan matanya betapa manusia dengan berbalut dendam itu dicekam ketakutan, dan ketakutan itu mendenyutkan nadinya siang malam. Kebaikan manusia hanya dongeng yang absurd, tak pernah nyata ditengah realita. Manusia tak setia, juga terhadap jati dirinya. Konflik pertanahan memang panjang menguras waktu.
Agama-agama mengajarkan agar manusia hidup dalam atmosfir cinta kasih. Spirit cinta kasih harus menjadi nafas dan roh kedirian manusia. Itulah yang dikehendaki oleh Allah, Khalik Semesta Alam. Imperatif yang paling mendasar bagi setiap umat manusia adalah “mengasihi Allah dan sekaligus mengasihi sesama manusia”. Manusia tidak bisa dikatakan sudah mengasihi Allah jika ia tidak mampu mengasihi manusia. Bagaimana ia bisa mengklaim sudah mengasihi Allah yang tidak kelihatan, jika ia tidak bisa mengasihi manusia ‘yang kelihatan’? Tindakan kasih yang memiliki dua aspek ini yaitu aspek vertikal dan horinsontal menjadi ‘nada dasar’ dari agama-agama.
Jika kasih itu hidup dalam diri seseorang maka kasih itu akan selalu mendorong orang untuk memberi yang terbaik bagi orang lain, tanpa mempertimbangkan siapa orang lain itu. Pada suatu saat Lord Lawrence, Gubernur Jenderal India, pergi ke Inggris naik kapal. Ternyata, di kapal itu ikut pula seorang perempuan bersama bayinya. Perempuan itu mengabaikan anaknya sehingga bayi itu terus menerus menangis. Kondisi itu mengganggu penumpang lain, bahkan karena jengkelnya ada yang mengancam akan melemparkan bayi itu ke laut. Lord Lawrence lalu memutuskan suatu tindakan yang tidak pernah terpikirkan oleh penumpang lain. Ia mengambil anak itu dan mendudukkan di pangkuannya. Selama beberapa jam ia bersama sang bayi kecil itu dan bayi itu tidak menangis lagi. Lord Lawrene dengan cinta kasih yang kuat telah membujuk bayi itu sehingga suasana menjadi lebih baik di kapal itu.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menegaskan “di mana ada kasih dan cinta, di situlah Allah berada”. Kasih dan Cinta harus diproduksi terus menerus dalam hidup kita; dalam keluarga, masyarakat dan di manapun sehingga Allah hadir di tengah realitas yang rukun, damai dan penuh cinta kasih sehingga manusia akan kembali pada hakikatnya semula sebagai ciptaan Allah yang mulia. Mari menebar cinta kasih di ruang-ruang sejarah tanpa lelah. Jauhi konflik, dendam, permusuhan dari kehidupan ini. Kampanye, Debat, Pilpres, Pileg tidak boleh membuat bangsa kita terpecah-belah. Peristiwa itu seharusnya membuat kita makin dewasa dalam hidup membangsa dan menegara.!
Penulis adalah mantan Wakil Sekum PGI
Editor: Beril Huliselan
COPYRIGHT © PGI 2019
Be the first to comment