Para aktivis HAM pada Selasa menyatakan keprihatinan serius tentang Perda (qanun) yang diusulkan yang akan menerapkan hukum pidana berbasis Syariah terhadap non-Muslim di Aceh.
“Jangan jadikan hukum Syariah untuk mengekang hak-hak sipil, terutama jika hukum itu diterapkan kepada non-Muslim,” kata Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua Setara Institute, kepada Jakarta Globepada Selasa.
Sebagai solusi, ia menjelaskan bahwa dua sistem hukum bisa diterapkan pada saat yang sama: hukum lokal dan hukum nasional, tapi ia menambahkan: “Orang harus bisa memilih”.
Domidoyo Ratupenu, seorang pendeta dan aktivis lintas agama berbasis di Aceh, mengatakan ia telah mengangkat isu tersebut dengan DPRD Aceh (DPRA), tapi dia merasa diabaikan.
“Secara pribadi saya menolak semua hukum yang diskriminatif dan peraturan yang didasarkan pada keyakinan primordialis dan gagal untuk mempertimbangkan realitas sosial politik bangsa,” kata Pendeta Domidoyo.
“Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang memiliki Pancasila sebagai ideologi dan menghargai keberagaman.”
Domidoyo mengatakan bahwa anggota jemaatnya tidak dapat berbuat apa-apa tentang qanun itu.
“Kami tidak punya suara di DPRA karena jika Anda ingin menjadi anggota DPRA, Anda harus mampu membaca Alquran,” katanya, seraya menjelaskan bahwa DPRA adalah sebuah dewan yang semua anggotanya beragama Islam.
DPRA saat ini sedang membahas hukum pidana lokal yang dikenal dengan Qanun Jinayat.
Hukumonline.com, sebuah portal berita hukum, melaporkan bahwa dalam qanun pasal 5 disebutkan, ruang lingkup berlakunya qanununtuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh tanpa disebutkan beragama Islam, dan tidak ada pengecualian sama sekali bagi non-Muslim.
Dalam KUHP sejumlah tindakan yang dianggap melanggar hukum Syariah dalam qanun tersebut tidak dianggap sebagai kejahatan, termasuk konsumsi alkohol (khamar) dan seorang laki-laki berada bersama perempuan yang bukan mahramnya (khalwat).
KUHP hanya membahas hukuman untuk perjudian, perzinahan, pelecehan seksual dan pemerkosaan – yang dihukum oleh hukum nasional.
Pelanggar Perda Aceh akan menghadapi hukuman maksimum 150 kali cambuk, denda senilai 1,5 kilogram emas, atau hukuman penjara 150 bulan.
Pendeta Domidoyo mengatakan bahwa dalam kapasitasnya sebagai aktivis lintas agama, ia pernah diundang oleh DPRA untuk mempresentasikan pandangannya tentang Perda tersebut. “Tapi itu hanya formalitas, mereka tidak benar-benar mendengarkan,” katanya.
Bonar mengatakan pemerintah pusat harus memulai dialog dengan para pejabat di Aceh dan di provinsi-provinsi lain untuk menetapkan batas pelaksanaan hukum Syariah.
“Status khusus untuk Aceh, yang memungkinkan untuk menerapkan hukum Syariah, diberikan oleh pemerintah pusat untuk merebut hati rakyat Aceh sehingga mereka tidak lagi akan mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM, setelah puluhan tahun konflik di provinsi ini),” kata Bonar.
Sumber: Jakarta Globe
Be the first to comment