JAKARTA,PGI.OR.ID-Memperingati Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, PGI menggelar diskusi dan membagi-bagikan pin di sekitar Grha Oikoumene, Jakarta, Kamis (8/12), kepada masyarakat umum untuk meningkatkan kesadaran mengenai kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dilaksanakan sejak 25 November-10 Desember 2016.
Usai pembagian pin, lanjut diskusi panel di lantai 3 Graha Oikoumene bersama perwakilan gereja-gereja di Jakarta, lembaga lintas iman, dan organisasi perempuan.
Saat membuka diskusi, Wakil Sekretaris Umum PGI Pdt. Krise Anki Gosal.Pdt. Krise dalam sambutannya menjelaskan, diskusi tersebut merupakan sebagai bagian dari tindakan yang dilakukan gereja dalam kegiatan internasional yang berupaya untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Lanjutnya, 16 Hari Anti Kekerasan bukan hanya sebagai rutinitas biasa yang dilakukan tiap tahunnya, tetapi lebih pada penekanan terhadap makna dari kegiatan tersebut. Makna tersebut menjadi harapan yang dan cita-cita mengenai dunia yang bebas dari kekerasan, terkhusus bagi perempuan dan anak.
“16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak pada tahun ini diberikan penekanan pada buruh migran. Buruh migran sering dielu-elukan sebagai pahlawan devisa bagi negara, namun mereka yang dianggap sebagai pahlawan devisa ini sering kali acap dilupakan bagaimana hak-hak mereka dan rentan menjadi bagian dari perdagangan manusia,” katanya.
Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom dalam pemaparannya di sesi pertama menggaris bawahi bila Indonesia berada di tingkat tertinggi di dunia dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Buruh Migran. Buruh-buruh migran ini merupakan bagian dari perbudakan modern. Mereka diperdagangkan disebabkan karena pengaruh faktor kemiskinan yang menjadi pangkalnya, lalu faktor budaya dan sosial yang acapkali melakukan diskriminasi gender.
Menurutnya, banyak di berbagai wilayah di Indonesia kerap melakukan pendiskriminasian terhadap anak perempuan, anak perempuan kurang mendapatkan akses terhadap pendidikan dan lebih sering membantu orangtua di ladang, sedangkan anak laki-laki diberikan akses pendidikan yang besar bahkan didukung untuk pergi ke kota hingga akhirnya harta warisan diberikan kepada anak laki-laki dan anak perempuan tidak mendapatkan bagian sedikit pun dalam harta warisan tersebut. Ironinya perempuan tidak mendapatkan posisi tawar untuk mendapatkan akses terhadap pendidikan atau kehidupan yang lebih baik.
“Dalam kasus perdagangan orang ini NTT merupakan provinsi yang mendapatkan ranking tertinggi dalam kasus TPPO, mereka yang berangkat terkadang pulang dengan telah menjadi jenasah. Disini saya melihat peran dari pemerintah masih lemah dalam melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap buruh migran asal Indonesia yang berada di luar negeri,” jelasnya.
Mengakhiri paparannya, Pdt. Gomar mengingatkan pentingnya kita memahami arti dari manusia itu sendiri dalam melawan perdagangan orang dan juga kekerasan terhadap perempuan dan anak. Manusia sebagai gambar perwujudan Allah di dunia ini. Kristus datang untuk menyelamatkan seluruh ciptaanNya tidak hanya manusia, tetapi seluruh ciptaaan.
Sementara itu, Ristiono, perwakilan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KPPA) sebagai pembicara kedua, mengamini yang disampaikan oleh Pdt. Gomar Gultom mengenai peran pemerintah. Dia menjelaskan mengenai problem yang terjadi dalam melakukan penanganan kasus-kasus buruh migran. “Ada yang miss antara pemerintah dan organisasai lainnya dalam melakukan penangangan buruh migran,sehingga ia mengajak kepada setiap lapisan masyarakat dapat berpartisipasi dan bersinergi dengan pemerintah dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga terhadap perdagangan orang,” tandasnya.
Narkoba, Trafficking, sama Genting
Di sesi kedua, Saur Tumiur Situmorang selaku perwakilan Komisioner Komnas Perempuan, dalam paparannya melihat, telah terjadi pencerabutan akses kehidupan bagi perempuan sehingga menjadi korban kekerasan dalam masyarakat. Dia juga menjelaskan bagaimana kasus narkoba dan traffiking sama gentingnya yang terjadi di Indonesia dan saling terhubung. Namun, ia menyayangkan bahwa terjadinya kriminalisasi terhadap korban perdagangan manusia yang terjebak dalam arus perdagangan narkoba. Korban perdagangan manusia seharusnya tidak boleh dihukum karena ia merupakan korban yang dipaksa untuk menyeludupkan narkoba.
Saur menghimbau agar masyarakat melaporkan setiap tindakan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak kepada lembaga bantuan hukum dan Komnas Perempuan hanya dapat merujuk Lembaga Bantuan Hukum yang terdekat di sekitar korban agar mendapatkan penangangan yang lebih tepat.
Dibagian penutup, dia menegaskan bahwa pentingnya gereja untuk peka terhadap perempuan dengan membuat mekanisme penanganan dan pencegahan terhadap kekerasan dengan membuka ruang konsultasi, menjadikan keluarga sebagai basis dasar dari perubahan karena dari keluargalah semuanya bermulai, dan membangun kesolidaritasan terhadap sesama baik dalam komunitas maupun gereja untuk dapat mencegah tindakan kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak. (Jonathan Simatupang)