Percobaan Bom Bunuh Diri: Virus Radikal dan Terorisme Menyusup ke Generasi Muda

JAKARTA,PGI.OR.ID-SETARA Institute dalam siaran persnya yang dirilis belum lama ini menyatakan, percobaan bom bunuh diri di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Jalan Mansyur Medan, Sumatera Utara pada hari Minggu 28 Agustus 2016 oleh IAH patut mendapat perhatian dari berbagai pihak. Meski diduga tidak berdiri sendiri, kecenderungan remaja untuk terlibat dalam pemboman maupun tindakan intoleran dan radikal lainnya harus diwaspadai.

IAH memang tidak berafiliasi kepada organisasi tertentu seperti ISIS maupun sejenisnya. Tapi yang patut diperhatikan adalah bahwa ISIS/kelompok ekstrim memang menargetkan  anak-anak muda, terutama pelajar untuk direkrut. Berbeda dengan JI (Jamaah Islamiyah), yang direktrut tidak lagi semata berasal dari kalangan keluarga yang bersimpati ke DI/TII tetapi dari keluarga yang tidak punya kaitan juga disasar.

Peran media sosial yang sangat berpengaruh, terutama chat (obrolan) grup tertutup dan situs radikal di internet yang terus ada meski sudah sebagian ditutup pemerintah, telah berkontribusi kuat pada penyebaran radikalisme melalui dunia maya. Melalui media internet inilah anak muda disasar menjadi simpatisan, aktor, atau bahkan sekadar individu yang beraksi secara tersendiri tetapi termotivasi oleh konten di dunia maya.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh SETARA Institute tentang toleransi dan terorisme di kalangan pelajar di Jakarta dan Bandung tahun 2016, menunjukkan bahwa kondisi toleransi siswa, di mana 61,6% siswa berada di kategori Toleran, kemudian 35,7% Intoleran Pasif/Puritan, lalu sebanyak 2,4% masuk kategori Intoleran Aktif/Radikal, dan terdapat 0,3% yang berpotensi menjadi teroris.

Untuk itu SETARA Institute menghimbau agar pemerintah memperhatikan media-media yang sering digunakan untuk melakukan perekrutan maupun yang menyebarkan ujaran-ujaran kebencian yang bisa menyebabkan generasi muda menjadi radikal dan menumbuhkan niat mereka untuk bergabung dengan kelompok-kelompok radikal.

Demikian halnya kondisi pelajar di tingkat sekolah menengah atas (SMU), juga harus mendapat perhatian. Baik dari segi pendidikan, termasuk di dalamnya adalah kurikulum dan materi-materi bermuatan radikal dalam bahan bacaan, maupun keberadaan kelompok-kelompok tertentu yang mengajarkan radikalisme dan intoleransi. Pengawasan ini harus tetap mempertimbangkan hak-hak warga negara, termasuk hak menyatakan pendapat dan berekspresi, sehingga tidak menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di kemudian hari.