CIPAYUNG,PGI.OR.ID-“Sangat kurang pemahaman para pemimpin agama kita atas berbagai problem kemasyarakatan sehingga banyak program pembangunan yang mengorbankan rakyat dan hanya menguntungkan sekelompok orang, dan para pemimpin agama tak berespon terhadap kondisi itu. Padahal mestinya agama berjuang bagi keadilan dan perdamaian bagi semua, bukan hanya bagi agamanya sendiri……Sayangnya kita semua beragama lebih simbolik dan melupakan esensi hidup beragama”, demikian antara lain disampaikan oleh Prof Dr Musda Mulia dalam diskusi bertajuk Membangun Hidup Bersama di Tengah Kemajemukan pada hari keempat, Senin 22 Agustus 2016, dalam Pendidikan Oikoumene Keindonesiaan.
Sementara pada diskusi di bagian lain, Pdt Dr Joas Adiprasetya menyebutkan adanya kesenjangan antara klaim-klaim kita dengan realitas yang sebenarnya dalam hidup bergereja. “Kita mengklaim bahwa organisasi gereja kita menerapkan prinsip egaliter, namun dalam kenyataannya perilaku kepemimpinan gereja kita memusatkan kekuasaan di puncak organisasi”, demikian Joas pada diskusi bertajuk Gereja sebagai Komunitas Iman, pada hari ketujuh, Kamis 25 Agustus 2016.
Itulah beberapa petikan dari pergumulan yang berkembang pada Pendidikan Oikoumene Keindonesiaan (POK) Angkatan Pertama yang sementara berlangsung, 18-31 Agustus 2016, di Pondok Remaja PGI, Cipayung, Jawa Barat. POK ini adalah program baru PGI sebagai salah satu upaya MPH-PGI dalam mengatasi krisis Kader Oikoumenis belakangan ini. Menurut Pdt Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI, program POK ini telah dipersiapkan sejak tiga tahun lalu dan dirancang secara sistematis dan terpadu. “Pelatihan ini sedikit berbeda dengan program yang selama ini kita selenggarakan, yang terkesan hit and run. POK ini dirancang untuk satu tahun dengan peserta tigapuluh orang per angkatan dimana satu gereja peserta harus mengirimkan dua peserta. Kenapa dua orang? Agar mereka bisa saling membantu dan melengkapi selama proses pelatihan yang berlangsung selama setahun penuh”, demikian dikatakan oleh Gomar.
Seperti dikatakan di atas, pelatihan ini akan berlangsung selama setahun, dengan beberapa tahapan sebagai berikut: pelatihan tahap pertama akan berlangsung on campus selama dua minggu. Setelah itu peserta akan kembali ke tempat tugas masing-masing dengan assignment tertentu dan dengan pendampingan seorang mentor (off campus), selama enam bulan. Kemudian para peserta akan diundang kembali untuk Pelatihan on campus tahap kedua, dimana peserta merefleksikan pengalaman enam bulan terakhir, memperdalam materi tahap pertama dan sekaligus merancang semacam proyek intervensi untuk enam bulan ke depan. Selanjutnya peserta kembali ke tempat tugas masing-masing dengan tugas mengimplementasikan proyek intervensi yang telah ditetapkan dan selama enam bulan di bawah pendampingan mentor (off campus). Selanjutnya para peserta diundang kembali untuk mengikuti pelatihan on campus selama dua minggu, sebagai tahap terakhir dari pelatihan ini.
Keseleuruhan materi Pelatihan ini dirangkum dalam lima cluster, yakni Mayarakat Majemuk Indonesia (diampu oleh Gomar Gultom, Supriatno dan Martin Sinaga), Perubahan Sosial dalam Konteks Nasional dan Lokal (diampu oleh Nancy Souisa dan Marlene Yosef), Gereja sebagai Komunitras Iman (diampu oleh Lazarus Purwanto & Joas Adiprasetya), Transformasi Gereja dan Masyarakat (diampu oleh Kadarmanto Hardjowasito) dan Kepemimpinan Transformasional (diampu oleh Timotius Adhi Dharma & Henriette Lebang). Kelima cluster tersebut dikemas sebegitu rupa sehingga memadukan secara integratif: (a) perluasan wawasan dan analisis yang tajam mengenai masalah-masalah agama dan masyarakat, (b) memahami visi dan misi gereja dalam memperlengkapi warga gereja untuk hidup dan bersaksi dalam masyarakat majemuk Indonesia yang berubah cepat, (c) ketrampilan dalam mengorganisir dan memimpin program-program pemberdayaan serta pendampingan pastoral bagi warga gereja, (d) memiliki kepekaan dan kemampuan dalam mengembangkan jaringan kerja sehingga mampu bekerja lintas budaya dan agama; yang kesemuanya digerakkan oleh Spiritualitas Keugaharian.
Keseluruhan materi dikemas sebegitu rupa dengan pertolongan pendekatan dan Appreciative Inquiry (AI) yang menekankan peningkatan dan perubahan sikap pribadi maupun komunitas serta pengorganisasiannya dengan bertolak dari upaya mencari dan menemukan potensi, kemampuan serta hal-hak positif yang ada pada diri pribadi, kelompok, atau organisasinya, dan menghargainya. Uniknya, percakapan tentang metode AI ini sendiri ditempatkan di hari terakhir, dengan mengundang khusus pakar di bidang ini, yakni J.B. Banawiratma, yang menulis buku “Pemberdayaan Diri Jemaat dan Teologi Praktis Melalui Appreciative Inquiry (AI)”.
Seperti dikatakan oleh Banawiratma dalam bukunya, “AI menghubungkan secara langsung energi dari inti yang positif dengan agenda perubahan. Perubahan-perubahan, yang tak pernah dipikirkan sebagai hal yang mungkin, secara tioba-tiba dan secara demokratis digerakkan. Yang dituju bukanlah negasi, bukan kritik, bukan mendiagnosis penyakit, melainkan 4D, yakni () Discovery, (2) Dream, (3) Design, dan (4) Destiny.
POK ini dipimpin oleh Tim Fasilitator yang terdiri dari Pdt Dr Kadarmanto Hardjowasito, Pdt Dr Henriette Lebang, Pdt Dr Lazarus Purwanto, Pdt J Marlene Yoseph, Pdt Gomar Gultom, Pdt Nancy Souisa, Pdt Timotius Adhi Dharma dan Pdt Supriatno. Tim inilah yang merancang keseluruhan materi poelatihan ini serta memimpin proses pelatihan selama on campus serta menyelenggarakan pendampingan/mentoring selama off campus. Dan untuk mempersiapkan dan mengorganisir pelaksanaan POK ini, MPH-PGI telah mengangkat Yudiet Tompah sebagai pimpinan proyek POK.
Tahap awal pelatihan ini dimulai dengan rekrutmen administratif, dimana para peserta harus menyusun autobiografi yang dikaitkan dengan Oikoumene dan Kebangsaan. Autobiografi ini akan digunakan menjadi materi utama pada dua hari pertama pelatihan. Setelah memasukkan autobiografi, barulah para peserta diundang untuk mengikuti Pelatihan Tahap Pertama on campus, selama dua minggu, yang kini sedang berlangsung, sebagaimana disebutkan pada bagian awal. Tahap partama dari Angkatan pertama ini juga menghadirkan beberapa narasumber, selain fasilitator di atas, antara lain: Prof Dr Musda Mulia, Dr Jaleswari Pramodharwardani (Deputi V Kantor Staf Presiden), Dr BJ Banawiratma, Dr Joas Adiprasetya, Dr Martin Sinaga. Selain itu para peserta juga akan mendapat masukan dari Bapak Yasona Laoly (Menhukham) dalam kunjungan ke kantor beliau serta dari Pimpinan MPR dan DPR dalam perkunjungan ke Kantor MPR dan DPR. Mereka juga akan berdiskusi dengan beberapa anggota DPR yang beragama Kristen di sekitar topik Pengalaman mereka menyaksikan imannya di tengah pergumulan masyarakat dan bangsa serta harapan mereka atas kehadiran gereja di tengah masyarakat.
PGI telah merencanakan untuk melaksanakan 4 angkatan @ 30 peserta hingga pertengahan 2019 yang akan datang. “Itu berarti akan tersedia sedikitnya 120 kader oikoumenis yang memiliki komitmen kebangsaan yang kuat di akhir periode MPH_PGI yang sekarang”, kata Gomar. Tentang pembiayaan POK ini, Yudiet Tompah, yang mengorganisir pelatihan ini mengatakan, “Pelatihan ini sangat mahal. Untuk keempat angkatan ini kita butuhkan lebih dari lima milyar rupiah, sehingga kalau dirata-ratakan, per orang itu hampir mencapai limapuluhjuta rupiah. Di antaranya gereja pengutus membiayai transportasi, sementara PGI mengupayakan pembiayaan lainnya. Kita bersyukur, Eukumindo dan mitra PGI lainnya berkenan mendukung sebagian besar pembiayaan untuk POK ini”
Hingga hari ke sembilan pelatihan hari ini, peserta tetap berada dalam kondisi sehat dan semangat. Hal ini tak lepas dari suasana persaudaraan yang terbangun serta kepiawaian para fasilitator, dan peserta sendiri, yang sesewaktu diperlukan, mengembangkan berbagai bentuk permainan sebagai ice breaker. Selain itu, pelatihan juga diseling dengan kunjungan lapangan, outbond dan setiap hari dimulai dengan olahraga. “Seorang pemimpin harus sehat secara holistik, termasuk jasmani. Itu sebabnya setiap hari kita mulai dengan olahraga bersama, selain ibadah pagi”, lanjut Yuidet. (Pdt. Gomar Gultom, MTh)