In Memoriam: Pdt. Abraham Lincoln Hutasoit, MA, MTh

JAKARTA,PGI.OR.ID-Kembali Gerakan Oikoumene kehilangan salah seorang pengayuh biduk oikoumene: Pdt Abraham Lincoln Hutasoit.

hutasoit1Hampir dua periode penulis bekerja bersama beliau, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Majelis Pertimbangan PGI (periode lalu) dan sebagai Sekretaris Majelis Pertimbangan PGI (periode sekarang). Kami semua sangat mengenang keramahtamahan dan kelembutannya.

Beliau jarang bicara, tetapi setiap kali memberikan pertimbangan dalam sidang-sidang MPH maupun MPL, pertimbangannya selalu mencerminkan kedalaman hati yang tergerak akan pergumulan gereja di tengah bangsa.

Kepergiannya begitu mendadak bagi kami. Tak seorang pun di antara kami mendengar sejarah sakit yang cukup serius. Bahkan hari Minggu lalu beliau masih melayankan dua kali kotbah di GKPA Medan Barat. Dan beliau menghembuskan nafas terakhir pada hari Senin (11/4) subuh, di pangkuan sang isteri tercinta, oleh serangan jantung.

Selasa (12/4) pagi, penulis terbang ke Medan, memberikan penghormatan terakhir pada beliau, sekaligus mengungkapkan bela rasa dan dukungan buat keluarga, atas nama gereja-gereja di Indonesia.

hutasoit4Pada kesempatan itu, penulis mengajak keluarga dan seluruh jemaat GKPA yang sedang berduka, di tengah misteri kematian yang bagi banyak orang memilukan dan bahkan menakutkan; untuk merayakan kehidupannya. Beliau telah meninggalkan jejak-jejak indah melalui sejarah pelayanannya di STTI Muara Enim, OMI, pelayanan GKPA dalam berbagai jenjang (jemaat lokal, resort, distrik, sekjen dan eforus), STT Abdi Sabda dan PGI, di samping gerakan oikoumene regional dan mondial semisal UEM dan LWF. Melalui peristiwa kematian ini, kita layak merayakan semua jejak-jejak tersebut.

Pak Hutasoit, panggilan akrab beliau, diberangkatkan dengan upacara kebesaran adat Angkola. Hanya kalangan raja-raja yang diberangkatkan dengan “hombung rapotan” seperti ini. Tradisi Batak Angkola mengenal “harajaon” dan rakyat kebanyakan.

Menarik, karena sesungguhnya Pak Hutasoit adalah seorang Batak Toba, dan merupakan pendatang di Angkola. Bahkan beliau baru generasi kedua yang menetap di Angkola. Berdasarkan itu, jangankan diberangkatkan dengan “hombung rapotan” begini, bahkan untuk menyelenggarakan adat pun keluarga Hutasoit tak boleh tanpa meminta untuk dipimpin oleh masyarakat asli Angkola, semisal marga Siregar.

Informasi yang penulis peroleh, pemberangkatan dengan adat kebesaran Angkola begini kepada beliau hanya terjadi karena spontanitas jemaat-jemaat dan masyarakat adat Angkola, karena penampilan beliau yang sudah sangat terkenal kelemahlembutannya.

Berangkatlah Saudaraku, kembali ke asalmu: menuju kasihNya yang sempurna. (Pdt. Gomar Gultom, MTh)