Doa Untuk Dunia: Satu Dunia Sebagai Rumah Bersama

Umat bersama pimpinan agama menaikkan doa bersama dalam Malam Doa Bersama, di Grha Oikoumene Salemba, Kamis (24/9).

JAKARTA,PGI.OR.ID-Sidang Umum PBB berlangsung 25 September 2015 di New York, Amerika Serikat, para pimpinan agama diberbagai belahan dunia bersama dengan berbagai elemen komunitas masyarakat berdoa bersama untuk mendorong para pemimpin negara yang akan bersidang agar memberikan perhatian serius dan mengambil tindakan bersama untuk masa depan bumi dan kemanusiaan.

Beberapa persoalan yang kini sedang melanda dunia, seperti pertama, kerusakan alam telah mencapai titik kritis. Perubahan iklim makin ekstrim dewasa ini. Di seluruh belahan dunia, iklim sudah hampir tidak bisa diramalkan lagi. Bencana alam timbul di mana-mana. Dampak dari perubahan iklim telah dirasakan oleh negara-negara, komunitas dan ekosistem dengan ketahanan yang rendah. Resiko yang terkait dengan perubahan iklim telah terjadi di beberapa sistem dan sektor penting yang berkaitan dengan kelangsungan hidup manusia, termasuk sumber daya air, ketahanan pangan dan kesehatan yang juga berdampak pada kemiskinan. Pada komunitas dengan ketahanan paling rendah, pengaruh perubahan iklim langsung berhadapan dengan kelangsungan hidup manusia. Dampak kehancuran, kenaikan temperatur dan kenaikan permukaan air laut akan memperparah dan berdampak pada kehidupan.

Kedua, Sistem ekonomi yang berangkat dari etos keserakahan terbukti telah menciptakan kemiskinan global. Kemiskinan adalah masalah kemanusiaan. Kemiskinan memiliki kekuatan yang bisa merendahkan martabat manusia, menyebabkan penderitaan yang tidak bisa ditolerir dan sering menjadi sumber keterasingan, kemarahan bahkan kebencian dan sumber perlawanan. Kemiskinan dapat memproduksi tindakan permusuhan dengan mencari pembenaran di dalam pendasaran agama, kemiskinan mengancam perdamaian dan keamanan.

Ketiga, gelombang pengungsian besar-besaran akibat perang mengakibatkan penderitaan dan hilangnya harapan bagi korban. Pengungsi Suriah dan banyak lagi dari berbagai Negara yang dilanda konflik dan perang adalah korban. Mereka harus melarikan diri dari kampung halaman mereka karena tidak ada masa depan di tanah mereka. Karenanya, mereka mencoba menemukan harapan baru di negara lain. Masalah pengungsi adalah masalah kemanusiaan, bukan tentang agama atau etnis. Para pemimpin Uni Eropa harus menyambut mereka dan memperlakukan mereka sebagai manusia. Begitu juga negara-negara Arab agar menaruh perhatian lebih untuk membuat perdamaian di Jazirah Arab. Jangan diam melihat tetangga yang menderita.

Umat bersama pimpinan agama menaikkan doa bersama
Umat bersama pimpinan agama menaikkan doa bersama

Keempat, untuk menjamin sebuah suasana damai yang sejati dibutuhkan sikap penghargaan akan kesetaraan. Ketaksetaraan adalah masalah serius bagi kita. Bukan hanya di negara-negara berkembang, melainkan juga di negara maju. Dengan adanya kesetaraan, maka warga dunia bisa menerima dan menyambut sesamanya. Tanpa kesetaraan maka tidak ada perdamaian yang sejati di dalam satu dunia sebagai rumah bersama bagi semua.

Dalam rangka komitmen, solidaritas dan kepedulian terhadap semua persoalan tersebut, Kamis (24/5), PGI bersama sejumlah pimpinan agama dan lembaga yang concern terhadap isu-isu kemanusiaan, berkumpul bersama di pelataran parkir Grha Oikoumene, Jalan Salemba Raya 10, Jakarta, melakukan doa bersama. Dalam doa yang disampaikan secara bergiliran, para pemimpin agama berharap agar ada pemecahan bersama untuk sebuah alternatif agar dunia ini bisa menjadi rumah bersama bagi semua umat manusia.

Pendeta Gomar Gultom saat menyampaikan sambutannya.
Pendeta Gomar Gultom saat menyampaikan sambutannya.

Dalam sambutannya, Pendeta Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI mengatakan, kegiatan doa bersama ini hendak menopang para pemimpin dari berbagai negara-negara di dunia yang berkumpul di New York, agar mereka punya komitmen bersama terhadap semua persoalan yang terjadi, dan dengan demikian dunia yang semakin tua ini dapat memberikan harapan untuk semua terutama anak cucu kita ke depan.
Editor: Jeiry Sumampow