Mendagri Tjahjo Kumolo: “Indonesia Bukan Negara Agama”

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menjadi pembicara kunci pada peluncuran Prodi Ilmu Politik UKI Jakarta, Kamis (27/8). (Foto: Bayu Probo/satuharapan.com)

JAKARTA, PGI.OR.ID – Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, mengaku sudah mengembalikan 139 peraturan daerah (perda) yang diskriminatif. “Disertai catatan, Indonesia bukan negara agama.  Indonesia adalah negara Pancasila,” katanya di Universitas Kristen Indonesia, Kamis (27/8), ketika menjadi pembicara kunci pada pembukaan Program Studi Ilmu Politik Fakultas dan Ilmu Politik Universitas Kristen Indonesia, Jakarta.

Tjahjo Kumolo menambahkan bahwa dinamika politik lokal harus diantisipasi. “Berbahaya,” katanya. Salah satunya adalah menguatnya politik sektarian di daerah. Jadi, “Selama tiga hingga empat tahun ke depan, pemerintah pusat akan terus mengusahakan sistem pemerintahan yang efisien dan revitalisasi demokrasi.

“Pemerintah pusat harus berani merombak, perda-perda yang menentang keberagaman, kebinekaan,” ia menegaskan. Sebab, “Ada perda yang tidak nyambung dengan peraturan di atasnya. Bahkan ada perda yang seperti dibuat tidak dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Bahkan, ia mengeluhkan perda-perda diskriminatif itu kebanyakan di Jawa. “Dekat dengan ibu kota,” kata mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.

Penolakan GKI Yasmin Tidak Masuk Akal

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan alasan penyegelan GKI Yasmin — untuk menyebut Bakal Pos Jemaat Gereja Kristen Indonesia Pengadilan Bogor di Perumahan Taman Yasmin — didirikan di pinggir Jalan KH Abdullah bin Nuh adalah tidak masuk akal. Ia pun membuat perbandingan, “Lalu, kalau ada masjid didirikan di jalan yang bernama tokoh agama non-Islam lalu tidak boleh?”

Pernyataan Tjahjo Kumolo disampaikan untuk memberikan contoh perda diskriminatif yang ada pada era otonomi daerah. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menyoroti meningkatnya sektarianisme setelah dilakukan otonomi daerah. Ia menambahkan, “Negara tidak boleh mencampuri urusan ibadah warganya.” Ia menegaskan, “Apa pun agama maupun kepercayaannya.”

Tiga tahun lalu, pro-kontra pendirian GKI Yasmin juga menyinggung nama Kyai Haji Raden Abdullah bin Nuh, tokoh yang namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Bogor. Di Jalan KH Abdullah bin Nuh Nomor 31, gedung GKI Yasmin dibangun.

Nama Abdullah bin Nuh disinggung karena sempat berembus isu bahwa penentang pendirian GKI Yasmin yang menyatakan gereja tidak boleh didirikan di jalan yang mengabadikan tokoh Muslim.

Namun, Kiai Haji Muhammad Mustofa, putra KH Abdullah bin Nuh, tidak setuju dengan penolakan tersebut. Mustofa menegaskan, tidak ada satu pun dari empat putra Abdullah yang menentang pendirian GKI Yasmin.

Tjahjo menegaskan, Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini akan merombak perda-perda diskriminatif itu. “… Merombak, perda-perda yang menentang keberagaman, kebinekaan,” katanya. Sayangnya, kata dia, “Perda-perda diskriminatif itu kebanyakan di Jawa. Dekat dengan Ibukota.”

Walau begitu, ia menegaskan Pemerintah Pusat terus memperkuat otonomi daerah. Salah satunya adalah dengan mendukung pemilihan kepala daerah secara serentak. Sebab, pilkada serentak menjamin sinkronnya tahap-tahap pembangunan. Dari penyusunan APBN, APBD, hingga pencairan dan penyerapannya.

Sebelumnya, pada sambutan pembukaan Prodi Ilmu Politik UKI, Ketua Prodi Isbodroini Suyanto juga mengeluhkan bahwa setelah lepas dari cengkeraman kuat pemerintah pusat pada era Orde Baru, otonomi daerah malah menimbulkan masalah baru, yaitu etnosentrisme. “Pemerintah daerah dan para wakil daerah tidak memahami prinsip demokrasi dan otonomi. Demokrasi bukan hanya masalah mayoritas dan minoritas,” katanya. (satuharapan.com)