
CIPANAS, PGI.OR.ID – Wisudawan STT Cipanas melalui pelayanan di gereja-gereja telah memberikan sumbangan bagi arak-arakan gerakan oikoumene di Indonesia, demikian disampaikan oleh Pendeta Gomar Gultom, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam sambutan pada acara wisuda STT Cipanas, Rabu (26/8).
Mewakili MPH PGI Pendeta Gomar Gultom menyampaikan ucapan selamat kepada 31 orang wisudawan di tingkat Sarjana, Magister dan Doktor (Teologi dan Ministri) STT Cipanas. Capaian yang telah dihasilkan oleh STT Cipanas yang walaupun dimiliki dan dikelola hanya oleh jemaat lokal, yakni Gereja Kristus Ketapang, telah menghasilakan alumninya yang telah tersebar di berbagai pelosok Nusantara. Dengan pelayanan para alumni STT Cipanas, di berbagai gereja ini telah memberkati gereja-gereja, tidak saja gereja Kristus, tetapi gereja-gereja lain.
Pendeta Gomar mengemukakan hal ini secara langsung atau tidak, juga telah menyumbang banyak dalam arak-arakan gerakan oikoumene di ladang pelayanan gereja. “Anda kini menambah jumlah teolog yang telah berkiprah di tengah gereja dan masyarakat,” demikian pesan Pendeta Gultom.
Wisuda STT yang dilakukan dalam Sidang Senat Terbuka dibuka oleh Ketua STT Cipanas, Pendeta Dr. Agus Santoso yang dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari sekolah tinggi teologi, Yayasan Pendidikan Gereja Kristus (GK), Majelis Jemaat GK, Badan Pekerja Sinode GK, Perhimpunan Sekolah Teologi indonesia (PERSETIA) dan dari Dirjen Bimas Kristen. Dalam Sidang Senat tersebut juga di layankan khotbh yng disampaikan oleh Pendeta Dr. Daniel Santosa yang bertema, “Hai Manusia Allah, Peliharalah Apa yang Telah Dipercayakan kepadamu.”
Sebelumnya, dilakukan sebuah upacara kecil untuk memulai penggunaan Gedung Serba Guna tempat Sidang Senat Terbuka STT Cipanas dilangsungkan. Gedung yang dikhususkan nantinya untuk pembinaan mahasiswa ini, diresmikan oleh pihak STT Cipanas dengan upacara pengguntingan pita, tanda peresmian penggunaannya.

Terkait dengan semakin banyaknya jumlah sekolah tinggi teologi di Indonesia, cukup mengusik Pendeta Gomar untuk menyimak kembali visi yang dilontarkan oleh Hendrik Kraemer pada akhir tahun 1920-an, yang menyebutkan perlunya pendidikan teologi tinggi di Indonesia sebagai upaya mempersiapkan Indonesia untuk menggantikan pendeta-pendeta dari barat. Visi ini dijawab dengan lahirnya Hogere Theologische School (HTS) di Buitenzorg (Bogor) pada 1937.
Menceritakan perkembangan mula-mula pendidikan teologi di Indonesia, Pendeta Gomar menjelaskan olah ilmu teologi pada pendidikan teologi dapat berjalan seiring dengan proses pembentukan integritas, layaknya sebuah pendidikan seminari. Namun dalam perkembangannya, terlihat kecenderungan pendidikan teologi kini, Pendeta Gomar mengkritisi olah ilmu teologi yang hampir-hampir mengabaikan pembentukan integritas.
“Menjadi soal karena ada kecenderungan, yang terjadi adalah olah ilmu teologi dalam bentuk transfer of knowledge dan bukan hidup berteologi,” demikian Pendeta Gomar mensinyalir adanya gejala yang mengemuka ketika ada anggapan bahwa teologi itu bersifat supra regional, supra kontekstual dan supra kultural.
Pendeta Gomar menjelaskan, “Betul bahwa dengan berteologi, adalah memasuki rangkaian kegiatan orang percaya di dalam gereja yang universal, tetapi pada saat yang sama, dengan berteologi, kita juga, dan ini yang utama, sedang mengungkapkan Injil, yang dilatari konteks sosial dan budaya tertentu ke dalam konteks sosial dan budaya kita masa kini.”
Masalah lain yang membuat semakin runyam lembaga pendidikan tinggi teologi ketika “dipaksa” untuk memperoleh pengakuan melalui program akreditasi pendidikan nasional. “Akibatnya, kurikulum pendidikan teologi–yang merupakan kebutuhan gereja– diatur, diisi dan ditentukan oleh kebijakan negara, melalui apa yang disebut Kurikulum Nasional,” kata Pendeta Gomar yang juga mengingatkan gejala kapitalisasi yang merangsek masuk ke pendidikan teologi.
Pada akhirnya, Pendeta Gomar mengajak seluruh civitas academia STT Cipanas untuk berbenah mempersiapkan para teolog handal, tetapi yang sekaligus juga menjawab kebutuhan gereja-gereja di Indonesia akan tenaga pendeta yang berintegritas; terutama dalam menghadapi problem-problem di tengah bangsa kita yang tak kunjung keluar dari berbagai himpitan sosial, ekonomi dan politik.