Spiritualitas dalam Konteks Keadilan dan Perdamaian

“Spirituality in the Context of Violence and Peace”. (Foto: WCC/Marianne Ejdersten)

STUTTGART, PGI.OR.ID – Kristen membutuhkan “Spiritualitas perlawanan” untuk menghadapi penindasan, kekerasan dan pengalaman dari dikalahkan, demikian kata Pendeta Dr. Olav Fykse Tveit sekretaris jenderal Dewan Gereja Dunia (World Council of Churches – WCC) dalam sebuah pertemuan Protestan terbesar di Jerman, Sabtu (6/6) di German Protestant Kirchentag yang dihadiri hampir 100.000 orang di Kota Stuttgart.

“Kita semua menyadari bahwa dunia dan gereja, tindakan dan spiritualitas, pelayanan kepada dunia dan iman adalah satu kesatuan bersama, termasuk doa, meditasi dan kontemplasi. Ini semua tidak berakhir dalam diri mereka sendiri, tetapi untuk memperdalam kesiapan untuk terlibat dalam aksi simbolik dan untuk mengembangkan kesaksian kepada dunia”.

Spiritualitas perlawanan tersebut adalah bagian dari “ziarah keadilan dan perdamaian” yang diluncurkan setelah 10 Sidang Raya DGD pada tahun 2013 di Busan, Republik Korea, Tveit mengatakan dalam pidatonya di podium pada “Spiritualitas dalam Konteks Keadilan dan Perdamaian”.

Perjalanan ziarah tersebut bertujuan untuk mendorong orang-orang Kristen dan semua orang yang berkehendak baik untuk bekerja sama dalam isu-isu penting dari keadilan dan perdamaian, dalam dunia konflik, ketidakadilan dan nyeri.

Dalam sambutannya, Tveit memuji Dietrich Bonhoeffer, karena memiliki visi spiritualitas “Jemaat Setia pada Kristus.” Bonhoeffer dieksekusi mati 70 tahun yang lalu oleh rezim Nazi karena melawan Adolf Hitler. Dia juga mengacu pada ekumenis India dan pemimpin WCC MM Thomas, yang mengilhami visi “spiritualitas perlawanan” dalam gerakan-gerakan oikoumene, yakni sebuah visi tersirat untuk terlibat dalam perlawanan terhadap segala sesuatu yang mengancam dan menghancurkan kehidupan. “Jadi spiritualitas perlawanan itu kreatif memperjuangkan keadilan dan perdamaian,” kata Tveit.

Pada tahun 2015 ini, masalah keadilan iklim adalah fokus utama untuk ziarah keadilan dan perdamaian sebelum konferensi iklim PBB pada bulan Desember di Paris.

Sekjen PBB, Ban Ki-moon pernah berkata kepada para pemimpin agama bahwa iman dan keyakinan etis dari agama-agama yang diperlukan untuk membuat gerakan untuk keadilan iklim yang kuat. Tveit kemudian melansir Sekjen PBB mengatakan betapa kecilnya kemajuan yang sebenarnya terjadi dalam negosiasi untuk konferensi iklim.

Pada tahun 2016, ziarah keadilan dan perdamaian fokus pada Timur Tengah, Tveit melanjutkan. “Spiritualitas perdamaian dan keadilan mendorong kita untuk terlibat pada upaya perdamaian antara Israel dan Palestina.”Tveit juga memberi dukungan kepada tokoh Nobel Perdamaian Selatan Afrika Desmond Tutu yang menyerukan diakhirinya pendudukan Palestina seperti yang dinyatakan dalam “surat terbuka kepada Kirchentag.”

“Dari cinta kita untuk orang-orang di Israel dan Palestina, kita tidak bisa hanya menerima situasi saat ini sebagai hasil dari konflik,” kata Tveit. “Pemukiman baru dan pembangunan Tembok membuat fakta-fakta baru di lapangan bahwa kegiatan seperti ini hanya memperdalam konflik dan meningkatkan ketidakadilan.”

Alih-alih membangun dinding, sekjen WCC mengatakan perlunya menciptakan ruang alternatif untuk pertemuan dan rekonsiliasi, di mana perdamaian dan keadilan dapat tumbuh dan berkembang.

“Di mana pun hidup terancam, kita perlu mencari jalan dan ruang untuk bertemu satu sama lain, atas janji keadilan dan perdamaian Allah. Ini tentang bagaimana kita menemukan kekuatan dan terlibat dalam perlawanan terhadap ketidakadilan dan mengatasi permusuhan dengan segala kekuatan yang memisahkan.” (oikoumene.org)