JAKARTA, PGI.OR.ID – Dalam derajat tertentu dapat dikatakan bahwa pembentukan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) merupakan “teladan” bagi kebangsaan Indonesia, demikian disampaikan oleh Pendeta Andreas Yewangoe dalam diskusi Negara dan Agama di Gedung BPK Gunung Mulia, Sabtu (30/5).
Pada tahun 50-an bangsa Indonesia sedang dalam proses menemukan identitasnya sebagai bangsa dengan mempersatukan suku-suku bangsa yang beraneka ragam, dan ketika gereja-gereja membentuk Dewan Gereja Indonesia (DGI) – yang kemudian menjadi PGI – sesungguhnya hendak “membuktikan” bahwa kendati berbeda-beda, kita bisa menjadi satu. Demikian Yewangoe menjelaskan penyatuan ini pertama-tama berlandaskan teologi, namun tidak disangkali menghasilkan dampak sosial dan politik bagi bangsa.
Dalam diskusi yang juga menghadirkan Romo Benny Susetyo sebagai pembicara, moderator diskusi Pendeta Albertus Patty, Pendeta Andreas Yewangoe menyampaikan makalah yang berjudul, Negara dan Agama: Gerakan Oikoumene bagi Keutuhan dan Kebersamaan. Johan Tumanduk, direktur BPK Gunung Mulia menjelaskan diskusi ini juga sekaligus menjadi penghargaan karya emas Pendeta Yewangoe dalam khazanah gerakan oikumene dan lintas agama di Indonesia.
Pendeta Yewangoe yang telah memimpin sebagai Ketua Umum PGI selama tahun 2005 hingga tahun 2015, menjelaskan bahwa dalam perjalanan PGI yang cukup panjang hingga keberadaannya diakui oleh negara, bukan karena PGI telah melamar untuk diakui, melainkan karena sejarah memang demikian.
“Pengakuan oleh negara ini tidak boleh membuat PGI besar kepala, seakan-akan dialah saja yang layak menyuarakan suara Kristen di Indonesia, lebih-lebih suara kenabian harus terus menerus disampaikan betapapun pahitnya,” kata Yewangoe yang mengingatkan PGI agar tidak perlu berusaha menjadi “anak emas” pemerintah.
Ketika dalam diskusi yang mempertanyakan kepemimpinan PGI, Pendeta Yewangoe mengatakan, “Suara-suara kenabian sangat dibutuhkan dan tidak tergantung siapa yang di PGI, dan suara itu terus bergema, asalkan disampaikan dengan berani dan harus tahu sejarah.”
Kepada pimpinan umat beragama lain, Yewangoe menceritakan pernah menyampaikan, “Kami tahu sejarah, dan sejarah jangan dimanipulasi, bahwa peranan umat Kristen dalam bangsa ini cukup besar.”
“Adagium, sejarah ditulis oleh orang yang menang, marilah kita menjadi pemenang dan menulis sejarah secara obyektif tanpa dimanipulasi,” tegas Pendeta Andreas Yewangoe.