JAKARTA. PGI.OR.ID. Gereja mestinya hadir melalui perilaku sosial untuk ikut bicara dalam masalah sosial, ekonomi dan politik. Gereja memandang bahwa masalah sosial, ekonomi dan politik bukan semata soal hukum alam tetapi juga bersangkut paut dengan tanggung-jawab manusia. Olehnya gereja harus mendesak hati nurani manusia. Maka masalah sosial, ekonomi dan politik masuk dalam tugas pastoral gereja, sebagaimana juga kehidupan ibadah lainnya.
Pendeta Gomar Gultom, MTh, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menyampaikan hal tersebut saat menjadi nara sumber dalam seminar bertajuk “Revolusi Mental untuk Gereja: Perlukah?”, Sabtu (11/4) di TB BPK Gunung Mulia, Jakarta.
“Dengan kata lain, keterlibatan sosial atau pelayanan diakonal merupakan bagian dari pewartaan gereja, sehingga mestinya tidak ada evangelisasi tanpa keterlibatan sosial dan tidak ada pewartaan iman tanpa perjuangan keadilan,” tandasnya.
Gomar melihat inilah yang dengan ringkas diungkapkan oleh Nabi Yeremia dalam Yeremia 29:7: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.” Sebuah amanat Tuhan kepada bangsa Israel di pembuangan; dimana mata, hati dan pikiran mereka selalu tertuju ke Jerusalem dan Bait allah. Sebuah ajakan untuk tidak pasif dalam menghadapi realitas di mana mereka berada, sebaliknya harus aktif mensejahterakan masyarakatnya.
“Ajakan yang sama kepada kita: untuk aktif mengusahakan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya kesejahteraan sendiri. Itulah ibadah kita yang sejati, itulah hasil pembaharuan oleh budi. Itulah Revolusi Mental dalam gereja,” jelasnya.
Dengan menjadi gereja, papar Gomar, sesungguhnya kita sedang mengorientasikan diri ke dunia ini, bukan ke sorga. Pekabaran Injil adalah sebuah gerak keluar, menyeberangi batas-batas sehingga merasuki kehidupan dan peradaban. Itulah makna terdalam menjadi gereja: membentuk oikoumene, yakni mengubah dunia ini (oikos) menjadi rumah yang nyaman untuk didiami (menein) bersama.
Sebab itu, Gereja, sebagai institusi, bukanlah sebagai tujuan. Jika gereja menjadi tujuan, dia akan mudah kehilangan jati diri dan nuraninya sebagai entitas pembawa kedamaian dan keadilan. Sebaliknya, Gereja haruslah menjadi roh pembebas masyarakat dari ketakutan, represi maupun ketertindasan eksploitasi ekonomi. Dengan kata lain, bukan gereja yang menjadi orientasi hidup, melainkan untuk menjadikan hidup ini berorientasi pada kemanusiaan.
Dengan demikian, maka yang dipentingkan bukan jumlah gereja saja, melainkan pada orientasi hidup yang berbasiskan kebersamaan, solidaritas, dan kesetia-kawanan. Pada akhirnya, kualitas bergereja bisa diukur bila kesalehan tidak sekedar bermakna individual, tetapi juga kesalehan sosial; yang pada gilirannya akan melahirkan sikap-sikap kemanusiaan dalam berbagai kebijakan politik maupun ekonomi. Nilai-nilai ini bisa ditumbuhkan bila gereja menjadi inspirasi batin.
Pada kesempatan itu dia juga menegaskan, akar dari berbagai problem di dunia sekarang ini adalah keserakahan, globalisasi keserakahan. Untuk mengatasi itu, Sidang Raya di Nias beberapa waktu lalu mengamanatkan perlunya gereja-gereja mengembangkan Spiritualitas Keugaharian.
Keugaharian adalah suatu sikap hidup yang memiliki kemampuan untuk mengatakan “Cukup”. Spiritualitas Keugahariaan dalam perspektif gereja tidak bisa dipersempit menjadi hanya sekedar Pola Hidup Sederhana. Pola Hidup Sederhana memang merupakan salah satu segi dari keugaharian itu. Tapi itu baru secara pasif. Secara aktif, dengan spiritualitas keugaharian gereja-gereja dan seluruh warga harus bergerak untuk mengupayakan agar semua orang hidup dalam kecukupan, sehingga tak ada lagi yang kekurangan.