
PGI – Jakarta. “Kita berterimakasih kepada gereja-gereja di Kepulauan Nias dan seluruh Panitia Sidang Raya (SR) dan berbagai pertemuan Pra-SR (PRPG, PRPrG, MPL) yang telah berjerih payah menyukseskan seluruh pertemuan akbar ini, menjadi kesempatan pesta iman yang bermakna bagi hidup dan kesaksian persekutuan gereja-gereja di Indonesia. Kita berharap pertemuan dan persekutuan yang dialami oleh peserta dengan warga gereja di Nias dan dengan para peserta dari berbagai gereja di Indonesia, memberi semangat dan tekad baru bagi gereja-gereja di Indonesia untuk semakin mewujudkan kesatuannya sebagai Tubuh Kristus yang terus bersaksi di tengah lingkungannya.”
Demikian pengantar Ketua Umum PGI Pdt. Dr. Henriette T. Hutabarat Lebang dalam Sidang Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (MPH-PGI), Selasa (27/1/2015), di Grha Oikoumene, Jakarta Pusat. Sidang tersebut merupakan persidangan pertama di kepengurusan MPH-PGI yang baru.
Lanjut perempuan yang akrab disapa Pdt. Ery Lebang ini, SR dapat dilihat sebagai salah satu wujud keikutsertaan gereja-gereja di Indonesia dalam pilgrimage of justice and peace (ziarah bagi keadilan dan perdamaian) yang dicanangkan dalam Sidang Raya WCC di Busan, Korea Selatan menjelang akhir tahun 2013.
Lebih jauh dijelaskan, persidangan MPH-PGI diadakan di tengah perkembangan sosial politik di negara ini yang cukup memprihatinkan. Peristiwa Paniai di Papua yang terjadi sekitar Natal tahun lalu, masih segar dalam ingatan. Insiden ini memperlihatkan bahwa pelanggaran HAM di Papua masih terus berlangsung.
“Sehari setelah serah terima MPH-PGI yakni pada 23 Desember 2014, saya dan Sekum berangkat ke Papua untuk merayakan Natal bersama gereja-gereja di Papua sambil menyatakan solidaritas PGI atas peristiwa yang mencekam masyarakat Papua. Kita perlu terus mengingatkan Presiden Jokowi agar segera mewujudkan janjinya kepada masyarakat di Papua untuk menyelesaikan kasus Pania dan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua,” tegasnya.
Selain itu, pada awal tahun ini kita kembali dikagetkan dengan insiden pembunuhan di Poso dan sekitarnya. Menurutnya, percakapan dengan teman-teman dari GKST serta pengumpulan data sedang berjalan. Kita perlu memikirkan lebih lanjut langkah-langkah advokasi apa yang perlu dilakukan.
Dia juga merasa prihatin dan ikut berduka sehubungan dengan jatuhnya pesawat Air Asia pada 28 Desember 2014 lalu. Diharapkan penyebab kecelakaan ini dapat segera terungkap guna meningkatkan mutu pelayanan penerbangan. Demikian pula adanya bencana alam yang beruntun terjadi di pelbagai tempat di Indonesia. Hujan yang terus menerus menyebabkan banjir di berbagai tempat, antara lain Jawa Barat dan di Kepulauan Sangir Talaud. Sawah-sawah terendam air yang tentu mempunyai dampak bagi ksejahteraan petani. Demikian pula dampak letusan Gunung Sinabung yang masih terus berlanjut mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitar secara signifikan.
Dikatakanya “Gereja-gereja perlu didorong agar meningkatkan perhatiannya terhadap krisis ekologi yang semakin parah serta masalah-masalah yang berhubungan dengan aspek hukum dari kemaritiman dan agrarian.”
Kasus KPK vs POLRI
Dalam pengantarnya, Pdt. Ery Lebang juga menyinggung gejolak politik yang beberapa minggu terakhir ini di aras nasional cukup memprihatinkan. Hal itu terutama dipicu oleh pengajuan nama Komjen Polisi Budi Gunaan oleh Presiden Jokowi kepada DPR sebagai calon Kapolri, yang kemudian mendapat persetujuan dari DPR. Sebelum Presiden mengadakan pelantikan, KPK menyatakan bahwa Komjen Budi Gunawan tersangka dalam kasus korupsi, terkait dengan “rekening gendut”. Hal ini menuai reaksi dari berbagai pihak. Menyikapi situasi saat itu, tokoh-tokoh lintas agama mengadakan pertemuan di Grha Oikoumene pada 17 Januari yang disusul dengan siaran pers menyangkut “Seruan Tokoh Lintas Agama” pada 18 Januari di tempat yang sama.
Dijelaskan, selanjutnya pimpinan lintas agama yang mengunjungi kantor KPK pada 19 Januari dan diterima oleh pimpinan KPK, menyatakan dukungannya atas upaya KPK untuk mengungkap kasus-kasus korupsi, serta mendorong KPK untuk sesegera mungkin menuntaskan kasus-kasus hukum dari mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Gejolak politik ini terus berlanjut sampai saat ini, dan gesekan antara Polisi dan KPK, dua lembaga hukum yang diharapkan berfungsi untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini, tak dapat dihindari, bahkan semakin meningkat. Masalahnya menjadi semakin kompleks ketika peristiwa ini ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik.
“Sebab itu, kita harus bekerjasama mendukung usaha-usaha dari semua pihak yang prihatin untuk pemberantasan korupsi. Wibawa KPK perlu ditegakkan, dan bukan sebaliknya justru digembosi. Pertarungan elit politik ini membingungkan masyarakat serta menyita banyak waktu dan energi pemerintah sehingga perhatian kepada masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan dan rasa aman masyarakat, misalnya kasus Paniai dan Poso, pembangunan ekonomi serta hal-hal mendesak lainnya, merosot,” jelasnya.
Keprihatinan juga disampaikan terkait dengan semakin meningkatnya jumlah kasus narkoba dalam masyarakat. Namun pelaksanaan hukuman mati yang dianggap sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini, masih tetap menjadi isu yang kontroversial. Masih ada sejumlah orang yang telah dijatuhi hukuman mati dan menunggu waktu eksekusi. “Kita segera perlu mengadakan seminar mengenai sikap PGI terhadap hukuman mati. Sejalan dengan itu gereja-gereja perlu memberi sumbangan pemikiran yang strategis untuk membasmi masalah narkoba.”
“Di tengah upaya pemerintah membuat RUU Perlindungan Umat Beragama, dan Menteri Agama menghimbau agar semua agama memberikan masukannya bagi penyempurnaan RUU ini, Staf telah mempersiapkan konsep pemikiran yang akan kita bahas dalam sidang ini. Kita terus bergumul dengan masalah kebebaan beragama. Kasus Gereja Yasmin belum juga selesai. Sementara itu kasus Charlie Hebdo mengajak kita merenungkan isu kebebasan berekspresi dalam konteks masyrakat majemuk. Kita perlu terus menggumuli tanggung jawab moral agama di tengah perkembangan globalisasi yang ditandai oleh revolusi komunikasi, dan pada saat yang sama semakin menyuburkan nilai-nilai individualism dan materialism serta gaya hidup konsumtif yang bermuara dalam berbagai bentuk keserakahan,”papar Pdt. Ery Lebang.
Dia menegaskan “PTPB 2014-2019 menantang kita untuk menggumuli makna “spiritualitas ugahari” yang meyakini kelimpahan anugerah Allah, namun diresponi dengan sikap hidup yang merasa cukup dan menjunjung nilai kesederhanaan. Kita pun prihatin akan keadaan gereja-gereja, termasuk anggota PGI, yang diancam oleh perpecahan.”
Di akhir pengantarnya, dia mengucapkan syukur kepada Tuhan karena pembangunan Grha Oikoumene terus berlanjut dan penataan kantor serta pengadaan fasilitas penunjang semakin dapat dinikmati. Seperti ruang rapat yang sudah digunakan beberapa kali, berawal dari Ibadah Syukur awal tahun dan open house PGI pada 5 Januari 2015, juga siaran pers menyangkut seruan tokoh lintas agama pada 17 Januari dan Konperensi serta Rapat Tahunan Indonesia Committee for Religion and Peace (ICRP) pada 23-24 Januari yang lalu.
“Hal ini menunjukkan bahwa Grha Oikoumene ini telah mulai berfungsi sebagai “rumah bersama” yang dapat digunakan tidak hanya oleh kalangan gereja, tetapi juga oleh berbagai komponen dalam amsyrakat yang menggumuli masalah eksejahteraan bersama serta upaya-upaya penegakkan kebenaran dan keadilan di negeri ini, bahkan di dunia ini,” katanya. (ms)