PGI – Jakarta. Yasmin dan Filadelfia adalah nama dari dua komunitas yang masing-masing melekat pada dua denominasi gerejawi besar di Indonesia, yaitu GKI dan HKBP; namun keduanya kini dipertemukan oleh nasib pedih yang sama. Keduanya dilarang beribadah di gedung gereja yang secara sah mereka miliki dan dirikan. Akibatnya, secara rutin dua minggu sekali mereka beribadah di depan istana kepresidenan di wilayah Monas, untuk mengekspresikan iman, pengharapan, dan kasih mereka. Mereka tidak menjadikan ibadah sebagai alat protes, namun mereka menyatupadukan ibadah dan protes sebagai dua dimensi dari satu hal yang sama, yaitu Injil. Injil adalah proklamasi warta kehidupan dari Allah kepada dunia, yang kemudian dihidupi oleh gereja, dan proklamasi warta keadilan yang disuarakan gereja kepada dunia.
Pada 25 Desember 2014, saya memiliki kesempatan untuk ikut melayani Perjamuan Kudus di “gereja terbuka” di depan istana kepresidenan itu, bersama dengan beberapa pendeta lain. Siang itu sinar matahari sangat terik dan menyengat. Selama sekitar dua jam, warga dari kedua gereja itu setia mengikuti ibadah Natal tersebut. Sempat seorang perempuan muda terjengkang ke belakang dan pingsan, akibat panas yang memang menggigit sekali. Dalam hati saya berdecak kagum melihat ketabahan warga jemaat yang telah bertahan beribadah di depan istana kepresidenan ini sejak tahun 2012.
Ketabahan
Ketabahan atau ketekunan adalah sebuah kebajikan Kristiani yang sangat luhur. Alkitab memakai kata hupomone sebanyak 31 kali untuk ketabahan. Ia bukan saja berarti “bertahan” namun terlebih “bertahan untuk bertahan.” (to keep on keeping on). Namun sikap “bertahan” ini bukanlah sekadar sebuah kesabaran yang pasif sembari menanti persoalan akan usai dengan sendirinya, seiring dengan berjalannya waktu. Ketabahan adalah sebuah sikap aktif yang bersedia berjalan maju dan memperjuangkan apa yang kita yakini sebagai kebenaran.
Hupomone atau ketabahan bukanlah keputusan untuk membelakangi badai dan berlindung di balik punggung orang lain, namun keputusan untuk berjalan di dalam dan melawan badai. Ketabahan juga bukan iman pelari sprint jarak 100 meter, yang begitu bertenaga namun cepat pula kehabisan tenaga. Ia adalah iman pelari marathon, yang mungkin tak cepat lajunya namun konstan, lama, dan tak sudi berhenti jika belum sampai pada tujuan.
Bicara soal marathon, tampaknya kita bicara belajar soal ketabahan bukan dari orang-orang yang memenangi lomba marathon dengan memasuki garis akhir untuk pertama kalinya, namun justru dari orang-orang yang memasuki garis akhir terakhir kalinya. Salah satunya adalah seorang veteran perang Vietnam yang bernama Bob Wieland. Ia mengikuti New York City Marathon pada tahun 1986 dan membutuhkan waktu 4 hari, 2 jam, 47 menit, and 17 detik untuk menyelesaikan perlombaan itu—tentu sebagai orang terakhir yang mencapai garis akhir. Sungguh marathon terlama di sepanjang sejarah. Apa yang membuat Bob membutuhkan waktu begitu panjang tak lain adalah karena ia berjalan dengan kedua tangannya. Kedua kakinya harus diamputasi karena hancur oleh ranjau saat ia menjadi tentara Amerika Serikat di Perang Vietnam pada 1969. “Kedua kakiku menuju satu tempat dan saya ke tempat lainnya,” canda Bob tentang kondisi tubuhnya. Bahkan, Bob pernah melintasi Amerika Serikat dari pesisir Barat ke pesisir Timur dengan menempuh waktu 3 tahun, 8 bulan, dan 6 hari, untuk mengumpulkan uang bagi para veteran perang Amerika Serikat. Bob Wieland adalah contoh nyata tentang apa artinya ketabahan.
Ada tiga catatan penting mengenai ketabahan atau ketekunan di dalam Alkitab. Pertama, ketabahan atau ketekunan bukan hanya dipandang sebagai sebuah kebajikan yang patut diperjuangkan oleh orang Kristen, namun ia juga merupakan respons iman terhadap ketabahan Kristus sendiri. Di dalam 1 Tesalonika 3:5, misalnya, Paulus memanjatkan sebuah doa, “Kiranya Tuhan tetap menujukan hatimu kepada kasih Allah dan kepada ketabahan Kristus.” Kita dapat hidup dalam ketabahan dan ketekunan tak lain karena ketabahan Kristus menjadi model dan modal perjuangan kita. Sebagai model, ketabahan Kristus dapat kita teladani; sebagai modal, Kristus yang tabah akan memberi kekuatan kepada kita.
Kedua, dalam banyak ayat Alkitab, ketabahan kerap muncul dalam kaitannya dengan iman (1Tes. 1:3; 2Tes. 1:4; 1Tim. 6:11; 2Tim. 3:10; Tit. 2:2; Yak. 1:3-4; Why. 13:10; Why. 14:12). Yakobus 1:3, misalnya, secara eksplisit menegaskan bahwa ketabahan adalah hasil dari ujian atas iman. Dalam tradisi Protestan, iman kerap dibedakan menjadi tiga dimensi, yaitunotitia (pemahaman), assensus (pengakuan), dan fiducia (penyerahan diri). Tampaknya, ketabahan adalah produk dari iman sebagai fiducia, sebab hanya orang yang bersedia menyerahkan dan memercayakan diri pada Allahlah yang memeroleh kekuatan untuk tabah dan tekun. Kristus yang telah tekun menjalani penderitaan itu menjadi pengharapan Kristiani yang membuahkan ketekunan dan ketabahan.
Ketiga, ketabahan bukanlah sebuah laku batin yang dinikmati di dalam kenyamanan hidup atau justru yang dijalani sebagai sebuah cara menghindari kerumitan dunia. Ia bukan sebuah kesabaran ala Stoikisme yang, menurut G.W. Leibniz, merupakan sebuah “kesabaran tanpa pengharapan” (patience without hope). Ketabahan sungguh bermakna, sebaliknya, sebab ia barulah bertumbuh subur di dalam penderitaan dan tekanan hidup. Dengan jitu Paulus menegaskan,
Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasihAllah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. (Rm. 5:3-5)
Jadi, justru di dalam penderitaanlah ketabahan iman berkembang dan berbuah. Atau, dalam kalimat Albert Camus dalam L’Eté, “Au milieu de l’hiver, j’apprenais enfin qu’il y avait en moi un été invincible,” yang kurang lebih berarti, “Di tengah musim dingin, aku akhirnya menyadari bahwa ada di dalamku sebuah musim panas yang tak terkalahkan.”
Ketiga dimensi ketabahan ini, akhirnya, menjadi watak penting dari spiritualitas keseharian. Ketabahan membuat hidup sesehari dilakoni dengan penuh makna, kesetiaan, dan pengharapan. Ketabahan, singkatnya, adalah nama lain dari spiritualitas keseharian dalam badai!
Sisi yang Terlupakan (1): Komunitas
Ada dua sisi lain dari ketabahan yang kerap terlupakan. Yang pertama adalah pentingnya komunitas. Ketabahan bukan soal kebajikan batin yang sifatnya individual, sekalipun tak jarang seseorang harus menjalani penderitaan dengan penuh ketabahan seorang diri. Namun, ketabahan sesungguhnya adalah sebuah kebajikan komunal. Itu sebabnya, setelah menggambarkan penderitaan yang akan dialami oleh orang percaya, penulis Wahyu menegaskan sebanyak dua kali pentingnya ketabahan atau ketekunan (keduanya berasal dari kata hupomone yang sama) orang-orang kudus. Ia berkata, “Yang penting di sini ialah ketabahan dan iman orang-orang kudus” (Why. 13:10). Juga, di pasal berikutnya, “Yang penting di sini ialah ketekunan orang-orang kudus” (Why. 14:12).
Dimensi komunal dari ketabahan ini mengingatkan saya pada ketabahan komunitas GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia. Mereka mampu bertahan bukan karena individu-individu keras-kepala tertentu, namun karena komunitas yang berisi orang-orang yang ringkih namun yang saling menguatkan dan mengokohkan satu terhadap yang lain. Benarlah yang dikatakan oleh Tabitha Suzuma, penulis novel Forbidden (2010), “Di ujung hari itu, ini semua soal seberapa banyak engkau dapat menanggungnya, seberapa banyak engkau dapat tabah. Bersama-sama, kita tidak melukai siapa pun; terpisah, kita memusnahkan diri kita sendiri.”
Sisi yang Terlupakan (2): Perlawanan
Sisi lain dari ketabahan yang kerap terlupakan adalah bahwa ia kerap juga dipakai untuk menjustifikasi ketidakadilan. Korban ketidakadilan kerap dinasihati untuk bertahan dalam penderitaan, tanpa sungguh-sungguh diberi ruang untuk melawan ketidakadilan tersebut. Ketika ini terjadi, maka ketabahan menyeleweng maknanya menjadi kepasrahan pada takdir. Bell Hooks, seorang feminis dan penulis, berkata dalam bukunya, All about Love(2000), tentang ketabahan perempuan yang menjadi korban kekerasan,
Terlalu sering perempuan memercayainya sebagai sebuah tanda komitmen, sebuah ekspresi cinta, untuk tabah menjalani ketidakbaikan atau kekejaman, untuk mengampuni dan melupakan. Pada kenyataannya, ketika kita mengasihi secara benar, kita tahu bahwa tanggapan yang sehat dan penuh kasih pada kekejaman dan penyelewengan adalah dengan menolak kejahatan itu.
Jadi, ketabahan tak boleh dipakai sebagai pembenaran atas kejahatan atau ketidakadilan. Semangat inilah, menurut hemat saya, yang juga memberi kekuatan bagi jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia untuk tabah. Mereka memaknai ketabahan sebagai sebentuk protes dan perlawanan atas ketidakadilan yang mereka alami.
Ketika berhadapan dengan ketidakbenaran dan ketidakadilan, umat Kristen selalu diperhadapkan pula pada beberapa alternatif sikap antara perlawanan dan tanpa-perlawanan (resistance or non-resistance), serta sikap antara kekerasan dan tanpa-kekerasan (violence or non-violence). Saya percaya, ketabahan Kristiani harus mengambil sikap perlawanan tanpa-kekerasan (non-violent resistance) sebagai wujud protesnya pada ketidakadilan yang berlangsung. Kita harus melawan namun kita melakukannya tanpa-kekerasan. Dan kita melakukannya dengan penuh ketabahan.
Penulis: Pendeta Joas Adiprtasetya, Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Rektor Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta.
Sumber: Tim Media GKI Yasmin