Membangun Budaya Toleransi Sebagai Modal Pembangunan Bangsa

PGI — Jakarta. Mahasiswa sebagai salah satu lapisan pemuda sering dinyatakan sebagai pewaris dan pemimpin masa depan serta penentu keberlanjutan kehidupan bangsa Indonesia.  Sedemikian penting posisi dan peranan pemuda/mahasiswa, sehingga KN-LWF menjadikannya sebagai sasaran yang harus memahami, mendalami dan mempraktekkan toleransi dalam kehidupan mereka sejak dini.

Salah satu tujuan KN-LWF melibatkan banyak elemen Universitas adalah meneliti potensi yang dimiliki oleh gereja lewat sumber daya yang lahir di Perguruan Tinggi. Banyak potensi jemaat gereja di Lembaga Pendidikan yang kurang didayagunakan untuk tujuan pelayanan gereja di masyarakat. Tujuan lain yang sangat penting adalah keinginan untuk membudayakan hidup toleran melalui kreasi dan keahlian yang dimiliki oleh kelompok terpelajar di lembaga pendidikan.

Memang pemuda/mahasiswa, tidak bisa menghindar dari realitas kepelbagaian (pluralitas) yang makin hari makin kompleks serta telah merebak pada seluruh kawasan di Nusantara. Ada keyakinan, jika pemuda/mahasiswa ingin memperoleh ruang sosial untuk berperan, pemuda harus toleran terhadap perbedaan antara lain perbedaan agama. Dengan begitu, akan semakin terbuka peluang interaksi dengan banyak pihak. Itu artinya makin terbuka kesempatan dipengaruhi atau mempengaruhi. Dalam bahasa keagamaan kristiani, makin terbuka lebar kesempatan untuk menjadi saksi sebagai garam dan terang.

Pandangan itulah sebagai salah satu dalil pijakan melaksanakan seminar lokakarya (semiloka) yang diselenggarakan atas kerjasama Komite Nasional – Lutheran World Federation Departemen HAM & Advokasi dengan Fak Hukum dan FISIP Universitas HKBP Nomensen Medan yang berlangsung tanggal 3 dan 4 November di Aula Perpustakaan Universitas HKBP Nomensen. Acara tersebut dihadiri sejumlah 400-an mahasiswa. Peserta seminar sangat antusias menyimak pemaparan nara sumber yang terdiri dari Prof. Dr. Katimin (Guru Besar IAIN SUMUT), DR Batara Sihombing (Dosen Sekolah Teologi Abdi Sabda Medan), Drs. Charles Sianturi (Dekan FISIP Univ HKBP Nomensen Medan), Johny Nelson Simanjuntak (advokat /pegiat HAM dan ketua Komisi Hukum dan HAM PGI).

Seminar yang dibuka secara resmi oleh dekan Fak hukum Universitas HKBP Nomensen, Martin Simangunsong, SH, MH. Dalam sambutannya yang berapi-api, dikatakan bahwa kebebasan beragama adalah Hak Azasi Manusia yang tidak bisa dikurangi atau dicabut oleh siapapun dan dengan cara apapun. Beberapa point penting yang dikemukakan nara sumber antara lain: bahwa Agama Islam, Agama Kristen dan juga agama-agama lainnya, mengajarkan kebaikan bagi umatnya untuk bertoleransi dengan penganut agama yang berbeda, perguruan tinggi bertanggung jawab dan berperan penting membudayakan toleransi melalui pendekatan akademis dan non akademis, toleransi harus menjadi etos semua penganut agama berbeda untuk itu diperlukan adanya sejumlah  tokoh yang mempraktekkan toleransi, yang bisa menjadi acuan bagi kalangan muda. Toleransi adalah pandangan, sikap dan perilaku yang menghormati baik terhadap hak-hak penganut agama berbeda  maupun pada  agama yang berbeda itu sendiri. Jika toleransi telah menjadi etos semua elemen masyarakat yang berbeda agama, maka akan tercipta keharmonisan, kedamaian dan keadilan yang semuanya bermuara pada terlaksananya kehormatan Hak Azasi Manusia.

Antusisame mahasiswa tampak jelas ketika moderator seminar  yaitu Tulus Siambaton SH, MH membuka kesempatan untuk bertanya atau memberi pendapat. Dua sesi untuk diskusi tanya jawab masih terasa kurang. Padahal waktu yang seharusnya makan siang terpaksa ditunda demi memberi kesempatan pada mahasiswa. Tanggapan mahasiswa mencakup konsep toleransi, impelementasi toleransi, faktor pendesak dan pemutlak adanya toleransi, praktik intoleransi bahkan ada yg mengaitkan toleransi dengan hak konstitusional warga. Salut kepada mahasiswa yang sudah memberi perhatian yang besar terhadap pentingnya toleransi dalam masyarakat Indonesia yang plural.

Disadari sepenuhnya bahwa walaupun narasumber memberi tanggapan sesuai dengan kompetensi masing-masing, tetap saja masih ada hal-hal yang memerlukan penjelasan lanjutan. Waktu yang terbatas, luas dan beragamnya cakupan pertanyaan serta adanya perbedaan  sisi pandang atas satu masalah, merupakan faktor yang membutuhkan adanya tindak lanjut seminar tersebut.

Itu, ternyata sudah diantisipasi pelaksana seminar, yaitu dengan melakukan tindak lanjut berupa lokakraya yang diikuti mahasiswa terpilih yang jumlahnya tidak lebih dari 25 orang.  Rupanya, kerjasama ini, tidak hanya dimaksudkan berlangsung sehari lalu bubar, karena model seperti itu  tidak mampu memberi sumbangan pada pembudayaan toleransi bagi pemuda. Kerjasama dengan sungguh-sungguh ingin menjadikan pemuda/mahasiswa sebagai batu penjuru pembudayaan toleransi.

Melalui diskusi dan lokakarya yang difasilitasi oleh Johny Nelson Simanjuntak dan Jeiry Sumampow, menghasilkan beberapa program untuk dijalankan dalam beberapa bulan ke depan, antara lain pengembangan wawasan keagamaan mahasiswa melalui diskusi topik aktual dengan menghadirkan tokoh agama yang berkompeten sesuai topik. Membangun komunikasi antara mahasiswa penganut agama yang berbeda dari berbagai universitas. Menyediakan buku bacaan yang menambah dan memperkuat etos toleransi di kalangan mahasiswa, menjalankan bakti sosial bersama dan sebagainya. Rencana kegiatan ini akan segera dirinci  untuk kemudian dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu.

Usulan-usulan program ke depan diinspirasi dari arah program KN LWF yang selama ini fokus pada dialog antariman yang sifatnya praksis. Artinya dialog yang dibangun selama ini dilakukan dengan dilandasi pada kebutuhan dan pergumulan bersama oleh penganut agama dan kepercayaan. Persoalan kerusakan lingkungan, kemanusiaan, pembangunan demokrasi, ekonomi, dan lain-lain adalah contoh dari sekian banyak pergumulan yang tidak bisa dinafikan oleh setiap agama untuk dipecahkan secara bersama-sama. Proyek bersama (common project) ini adalah pintu masuk bagi agama-agama untuk duduk dan berdiskusi bersama akan permasalahan yang menjadi tanggungjawab bersama.

Dapat diduga bahwa sesederhana apapun program, pastilah akan ada hambatan dan tantangan, apalagi dalam kaitan dengan proses pembudayaan yang membutuhkan pola pola pendekatan yang khusus dan harus selalu relevan dengan keberadaan mahasiswa. Maka tepatlah jika penyelenggara seminar dan lokakarya ini menyediakan pendamping pelaksana program serta  mencanangkan rentang kerja tahunan yang memastikan bahwa mahasiswa yang sudah dipilih akan menjadi batu penjuru proses pembudayaan toleransi khususnya di kalangan mahasiswa. Masyarakat berharap bahwa hasil lokakarya tersebut terlaksana secara konsisten dan konsekuen demi Indonesia yang damai, adil dan hormat terhadap Hak Asasi Manusia

Penulis: Jonhny Nelson Simanjuntak

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*