Lokakarya Hukum: Setifikasi Lahan, Asset, dan Kebebasan Beragama

PGI – Jakarta. Persoalan hukum adalah bagian dari dimensi realitas kehidupan bergereja yang dalam banyak hal telah menimbulkan masalah, baik bagi umat secara menyeluruh maupun individu per individu. Bahkan bisa menjadi masalah serius bagi gereja sebagai institusi. Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang diberi  No 8/9 2006 adalah salah satu di antara sekian banyak contoh yang sering mendapat perhatian masyarakat beragama. Peraturan Bersama No8/9 2006 itu, sangat jelas melanggar HAM khususnya kebebasan mendirikan rumah ibadah sebagai salah satu bagian dari kebebasan beragama. Namun demikian, PerBer itu tetap saja diberlakukan meskipun sudah banyak protes dari masyarakat. Contoh lain, adalah persoalan tidak/belum adanya dokumen kepemilikan gereja atas asset yang dikuasasi/dimanfaatkannya setiap hari untuk berbagai kebutuhan penyelenggaraan peribadatan, pembinaan rohani dan kegiatan lain. Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini membuka peluang sengketa atau konflik antara gereja versus warga atau dengan pihak lain yang merasa sebagai pemberi asset tersebut.

Persoalan seperti itulah antara lain, yang mendorong KN-LWF untuk menyelenggarakan lokakarya hukum yang  berlangsung dari tanggal 27 s/d 29 Agustus 2014. Lokakarya ini dihadiri sejumlah 35 orang  peserta tetap yang berasal dari anggota-anggota KN-LWF di kawasan Sumatera dan sekitar 4 orang peserta yang berganti ganti. Untuk memaksimalkan hasil lokakrya ini, panitia mengundang komisi Hukum dan HAM PGI, dalam kesempatan ini hadir Jeiry Sumampow dan Johny Nelson Simanjuntak, untuk bekerjasama mengelola proses lokakarya ini.

Lokakarya ini dilaksanakan di Hotel Grand Palm – kota Pematang Siantar. Kota yang dikenal sebagai kota pelajar yang  hawa/udaranya terasa segar, membikin peserta nyaman  ketika mengikuti sesi demi sesi lokakarya. Hotel itu sendiri, ternyata milik warga gereja, sebuah hotel yang tidak terlalu besar akan tetapi memiliki kamar yang nyaman serta mudah dijangkau tranportasi umum.

Untuk membuka mata iman peserta agar selalu bersedia membaca realitas bergereja secara jujur serta setia menyelesaikan pesoalan hukum dengan mengandalkan perseptif Alkitabiah, panitia mendaulat  Pdt DR. Langsung Sitorus yang juga sebagai Ephorus HKI dan Ketua KN LWF memimpin ibadah pembukaan. Dengan gayanya yang santai, beliau membacakan firman Tuhan dengan caranya sendiri. Meskipun ibadah dilaksanakan secara formal,  tetapi untuk menggali harta karun rohani dari nats tersebut, Pdt Langsung Sitorus, meminta beberapa peserta yang ditunjuk secara acak membagi  pengetahuan atau  pemahaman masing-masing terkait dengan  nats tersebut. Dari telaah singkat itu, salah  satu inti yang diperoleh adalah bahwa kita harus mengerjakan dan merawat tanah yang kita punya, agar tidak berpindah menjadi milik atau dikuasai orang lain. Kata Pdt Lansung Sitorus: “Bahkan tanah yang kita tempati, kita jaga, kita rawat, kita kerjakan saja, bisa diambil orang atau berpindah tangan yang dilakukan dengan berbagai cara licik “. Rupanya, persoalan  aset gereja berupa tanah yang diambil oleh orang tertentu, adalah juga bagian dari pengalaman pahit, gereja HKI.  Share pengalaman Pdt Langsung Sitorus sebagai pimpinan HKI, makin membuka cakrawala peserta bahwa gereja yang pimpinannya saja sudah peduli dan aktif mengurus aset gereja, masih saja banyak persoalan hukum terkait aset gereja yang belum selesai,  apalagi pimpinan gereja yang pasif karena merasa bahwa persoalan hukum terkait gereja bukanlah persoalan penting atau bukan urusan gereja.  Padahal, realitas bergereja telah menyita banyak energi gereja untuk menyelesaikan masalah hukum yang terjadi dalam gereja itu sendiri.

Melanjutkan pembicaraan tentang persoalan hukum dan bergereja, KN-LWF sengaja mengundang Pdt Patut Sipahutar, Bishop GKPI, untuk mempresentasikan keberadaan gereja dalam negara. Dalam perbincangan selama dua jam, presentasi Pdt Patut Sipahutar mampu mendorong peserta untuk melihat dan mencermati hukum negara yang akan diberlakukan baik terhadap gereja sebagai institusi maupun terhadap warga gereja sebagai warga negara. Mengkritik hukum yang diterbitkan negara, merupakan kewajiban yang tidak boleh dilupakan karena di dalam rumusan hukum yang diterbitkan negara, selalu ada kepentingan yang harus disikapi secara tegas. Ia mengambil contoh Peraturan Bersama yang di dalamnya mensyaratkan bahwa untuk mendirikan rumah ibadah perlu ada rekomendasi FKUB dan persetujuan warga. Katanya, sejak PerBer ini masih dalam konsep, ketika itu ia masih sebagai salah seorang pengurus PGIW- SUMUT, Ia telah mengajukan keberatan terhadap PerBer tersebut karena memuat ketentuan yang tidak sesuai dengan iman Kristiani bahkan bisa menimbulkan konflik horisontal. Diskusi sangat menarik, banyak peserta yang mengajukan pertanyaan dan keberatan terhadap pandangan Bishop Patut Sipahutar. Itu semua merupakan pertanda bahwa  peserta memberi sambutan baik terhadap materi yang disampaikannya dan masih memerlukan pendalaman.

Jika presentasi sebelumnya banyak membahas tentang gereja dan bergerja, maka pada sesi berikutnya, panitia sengaja memberi ruang yang cukup luas bagi Gereja Kristen Pak Pak Dairi (GKPPD) untuk menjelaskan ke peserta tentang apa sesungguhnya yang terjadi terkait dengan kasus penutupan/pelarangan rumah ibadah gereja di wilayah pelayanan GKPPD khususnya yang terjadi di Singkil. Presentasi Pdt Johonson Anak Ampun yang adalah Sekjen GKPPD sangat bermanfaat terutama dalam membaca realitas keseharian gereja dan umat Kristiani di wilayah itu.

Presentasi Pdt Johnson Anak Ampun, dilanjutkan dengan presentasi sejumlah narasumber yang sengaja diundang untuk membantu peserta memahami seluk-beluk hukum seperti jenis-jenis hak atas tanah, proses sertifikasi aset gereja, kepastian hukum atas aset gereja, penyediaan dokumen mendirikan gereja, melengkapi dokumen bangunan gereja yang sudah berdiri, status badan hukum gereja dsb. Pembicara yang terdiri dari Tulus Siambaton ( dosen Universitas HKBP Nomensen ), Maya Manurung, Advokat senior di Medan, Dharma  Purma, Notaris di Pematang Siantar, mampu membuka cakrawala baru peserta. Ini sangat tampak dalam diskusi-diskusi yang berlangsung. Pertanyaan dan ulasan peserta menukik pada persoalan real yang sedang dan akan dihadapi gereja-gereja terutama di gereja Lutheran yang menjadi anggota KN-LWF. “Apakah bisa, tanah yang sudah dihibahkan orangtua kemudian ditarik kembali/dibatalkan oleh anak pemberi hibah tadi?” tanya peserta yang satu. Lalu peserta lain bertanya; apakah saja persyaratan agar gereja bisa memiliki hak milik atas tanah yang di sana sudah berdiri gedung gereja? Tentu setiap pertanyaan dijawab secara jelas baik secara teknis normatif maupun secara substansi hukum.

Dalam diskusi selama 4 jam, terungkaplah persoalan hukum yang ternyata banyak terjadi dalam realitas bergereja seperti: adanya gugatan warga terhadap gereja yang dipersonifikasi dalam diri pemimpin dan atau pengurus gereja. Gereja digugat di Pengadilan Negeri  karena katanya pengurus gereja (sintua)  mengumumkan pengenaan siasat gereja terhadap warga gereja, sementara kejahatan kesusilaan yang dituduhkan kepada warga gereja tersebut, belum tentu benar. Peristiwa ini langka tetapi nyata sehingga, bagi sebagian peserta lokakarya, peristiwa gugatan warga di Pengadilan Negeri terhadap pemimpin/pengurus gereja tersebut, merupakan peristiwa yang menyentak dan  mendorongnya untuk memikirkan ulang tentang makna bergereja. Masa persoalan begitu tidak bisa diselesaikan secara damai dalam internal gereja, kata peserta yang kebingungan atas perkembangan gereja yang menurutnya sudah mirip dengan organisasi sosial biasa.

Persoalan hukum yang juga terungkap dalam diskusi tersebut adalah: ada warga gereja yang meminta pengembalian tanah yang telah dihibahkan oleh orangtuanya ke gereja, ada penjualan aset gereja oleh pengurus/pemimpin gereja, ada soal keberlakuan akte pernikahan/perkawinan jemaat yang diterbitkan oleh gereja, ada persoalan dokumen pendukung berdirinya gedung gereja, ada soal administrasi dokumen gereja yang amburadul sehingga ketika ada pergantian pengurus/pemimpin gereja, tidak jelas di mana sertifikat tanah, di mana surat-surat bank, di mana surat-surat hibah dst. Ada juga soal ketidakjelasan manajemen aset gereja. Bagaimana pemanfaatan gedung, tanah, bagaimana pengurusan perkebunan, rumah sakit, sekolah milik gereja, dsb. Ada juga persoalan status keorganisasian gereja sebagai badan hukum atau bukan badan hukum. Ada persoalan status pengerja gereja terutama pendeta. Apakah pendeta bisa dipersamakan dengan pekerja di pabrik? Sehingga ketika pendeta dihentikan oleh gereja maka perkaranya diselsesaikan  di kantor ketenagakerjaan? Atau seperti apa seharusnya mekanisme dan proses penyelesaian konflik seperti itu, agar pekerjaan sebagai pendeta tetap dipandang sebagai pekerjaan yang khusus dan terhormat.

Kalau digali lebih dalam, akan tampak jelas bahwa bergereja tidak lepas dari kerumitan persoalan hukum, sehingga gereja tidak boleh tutup mata bahkan harus berusaha keras agar persoalan hukum dapat diselesaikan dengan menerapkan prinsip-prinsip Kristiani. Oleh  karena itu, peserta merasa bahwa lokakarya tersebut sangat relevan dengan kebutuhan bergereja dan diharapkan mampu memicu timbul dan berkembangnya perhatian pengurus/pemimpin dan warga gereja terhadap persoalan hukum.

Dari presentasi itu, ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, misalnya saja;  dari presentasi Jhonson Anak Ampun, peserta memeroleh pelajaran: betapa pentingnya  mendorong masyarakat agar terbuka terhadap dunia luar, berkomunikasi dengan dunia luar dan berinterkasi dengan dunia luar. Jika satu masyarakat semakin tertutup, maka  Interaksi di antara warga yang berbeda keyakinan agama akan mengalami kesulitan. Dalam konteks itu, mustahil menghadirkan kemajemukan terutama kemajemukan keyakinan agama. Pelajaran penting berikutnya ialah betapa perlunya gereja bekerjasama dengan ahli/akademisi hukum yang dalam kenyataannya, banyak akademisi dan praktisi hukum dari warga gereja. Kerjasama itu sangat mendesak mengingat kondisi adimisitrasi dan manajemen aset gereja yang rawan dan rentan. Kita memerlukan keikhlasan dan ketulusan untuk memperjuangkan kepentingan gereja serta adanya tekad untuk tidak menyalahgunakan kondisi gereja yang  rawan dan rentan itu. Hal itu, sangat mungkin diperoleh dari warga gereja yang berprofesi di bidang hukum.

Pelajaran lainnya ialah betapa pentingnya gereja  membangun komunikasi dengan seluruh penyelenggara negara, eksekutif, yudikatif dan legislatif. Dengan komunukasi itu, maka gereja akan memperoleh informasi tentang progam apa yang akan dilaksanakan pemerintah, kebijakan apa yang akan diterbitkan pemerintah, bagaimana pemerintah menyelesaikan maslaah yang dihadapi warga dst. Lebih dari sekedar mendapat informasi, menjalin komunikasi dan berinteraksi dengan seluruh elemen pemerintah tersebut, terbuka pintu bagi gereja untuk menyumbangkan gagasan atau konsep kepada mereka.  Dengan demikian, gereja tidak lagi semata-mata obyek pengaturan oleh pemerintah melainkan juga menjadi pemberi masukan yang sangat berarti bagi pembuat peraturan, sebelum peraturan itu diterbitkan. Kegiatan seperti itu, telah menjadi kebutuhan real gereja, tidak peduli apapun denominasinya, lutheran atau calvinis atau yang lain.  Hal lainnya yang juga menurut peserta penting untuk segera diupayakan gereja adalah pemanfaatan maksimal biro hukum atau atau tim hukum yang berada dalam lingkungan gereja yang biasanya merupakan bagian dari pengurus Sinode. Biro hukum atau sejenisnya yang ada sekarang di sinode-siniode hendaknyalah bekerjasama dan terkoordinasi dengan KN – LWF. Dengan demikian, persoalan hukum yang terjadi dalam satu gereja akan mendapat perhatian dari gereja lain anggota KN- LWF.  Oleh karena itu, bila di dalam gereja telah ada Biro Hukum atau yang sejenisnya maka hendaknya diperkuat dan dikembangkan fungsinya. Kalau sebelumnya hanya mengurus tentang sertifikasi aset maka seharusnya biro hukum dikembangkan menjadi lembaga yang bisa melakukan kerja-kerja advokasi dan bantuan hukum, meski tidak dijalankannya sendiri.

Sesi selanjutnya adalah diskusi untuk mendapatkan formula respons KN-LWF terhadap persoalan hukum yang dialami anggotanya. Panitia kemudian merancang diskusi kelompok dan diskusi paripurna untuk membahas beberapa pertanyaan yang hasilnya akan menjadi dasar bagi KN-LWF melaksanakan kerja-kerja bidang hukum. Diskusi yang berlangsung satu setengah hari itu, kemudian menghasilkan gagasan serta rekomendasi. Peserta berpendapat bahwa selain biro hukum yang sudah ada di gereja, maka KN – LWF  harus membentuk komisi hukum yang bisa menjadi simpul dari biro hukum gereja-gereja anggota KN-LWF. Komisi hukum tersebut mengerjakan dua hal pokok, yaitu advokasi dan bantuan hukum. dalam pelaksanaannya. Komisi ini harus berkoordinasi dengan biro-biro hukum gereja anggota KN-LWF. Personil Komisi hukum tersebut, diisi oleh warga gereja yang terdiri dari 7 orang. Tiga orang mewakili pendeta (pastoral) dan 4 orang mewakili awam (profesional: akademisi hukum, praktisi hukum, jurnalis dan sosiolog). Jadi komisi hukum tersebut dikelola oleh secara berpadu profesional dan pastoral. Mengenai pekerjaan keseharian komisi tersebut, akan dijalankan oleh staf profesional yang full time di KN-LWF. Sedangkan anggota komisi, lebih banyak menjalankan fungsi konsultatif, monitoring dan supporting melalui pertemuan-pertemuan berkala atau rutin dengan pekerja full time, atau melalui komunikasi personal, perkunjungan personal dan lain-lain. Kegiatan yang dimaksudkan untuk makin memampukan komisi ini memberi respons terhadap persoalan hukum anggota KN-LWF.  Hasil lokakarya ini akan disajikan pada pengurus KN- LWF pada bulan November tahun ini. Semua peserta lokakarya, berharap bahwa pengurus KN-LWF akan segera memantapkan hasil tersebut, sehingga komisi hukum KN-LWF  akan segera menjalankan program yang relevan dengan kebutuhan gereja.

Peserta lokakarya sangat memahami betapa pentingnya peranan dan prakarsa gereja- gereja anggota KN-LWF. Oleh karena itu, lokakarya juga menghasilkan beberapa rekomendasi yang ditujukan kepada pemimpin/pengurus sinode/gereja dengan harapan bahwa dengan kesediaan sinode menjalankan rekomendasi tersebut secara konsisten dan konsekuen maka akan terlaksana kerjasama dan koordinasi yang sangat baik antara KN-LWF dengan anggota dan antara anggota KN-LWF. Salah satu rekomendasi yang dimaksud adalah mendorong sinode yang belum memiliki biro hukum, agar segera membentuk biro hukum sedangkan bagi sinode yang sudah memiliki biro hukum seperti apapun kondisinya, agar segera diberdayakan. Dengan demikian, Komisi hukum KN – LWF memiliki mitra strategis di setiap wilayah dan ini memudahkan penjangkauan terhadao jemaat yang tersebar hingga ke pelosok.

Jemaat gereja anggota KN – LWF Sepatutnya bergembira atas prakarsa yang sangat positif itu. Yang menggembirakan adalah bahwa  gagasan mendirikan komisi hukum KN LWF itu, tidak berhenti hanya membahas kelembagaan melainkan juga segala macam keperluannya antara lain personil, biaya, jaringan, program, sarana dan prasarana. Ini berarti harapan peserta dan jemaat secara pelan tetapi pasti akan terpenuhi. Tentu saja, pada bagian awal selalu ada kendala. Untuk itu, peserta lokakarya mendorong kita semua untuk bekerjasama dan saling mendoakan. Tuhan yang melengkapi segala kebutuhan Komisi Hukum KN – LWF semata-mata demi kemuliaan Nama-Nya.

Penulis: Johny Nelson Simanjuntak 

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*