PGI — Jakarta. Tanah air kita, Nusantara, dikenal sebagai negeri yang sangat ramah dan toleran. Nilai-nilai toleransi antara yang satu dengan yang lain sangat dijunjung tinggi. Kehormatan seseorang dinilai dari sikap tolerannya yang tinggi dan berbudaya.
Namun, mengapa di masa Orde Reformasi bangsa ini, nilai-nilai toleransi seakan-akan memudar dan bahkan nyaris hilang digantikan dengan riak-riak kecil intoleransi yang kalau dibiarkan akan menjadi gelombang yang menelan dan menenggelamkan bangsa ini?
Eksistensi Bangsa Indonesia sebagai bangsa multikulural sedang dipertaruhkan. Mengapa demikian? Karena saat ini, sentimen keagamaan merupakan isu yang sangat sensitif, sehingga sering digunakan sebagai bagian dari politik identitas untuk kepentingan sekelompok orang. Seperti dilaporkan oleh banyak laporan tahunan dan penelitian, seperti laporan dari The Wahid Institute, CRCS-UGM, Setara, Muslim Moderate Society dan lainnya, berbagai gejolak masyarakat Pasca Mei 1998 sangat kental diwarnai oleh benturan paham keagamaan, baik antaragama maupun di dalam satu agama. Laporan tersebut memperlihatkan kekhawatiran masyarakat tentang “meningkatnya intoleransi dan praktik diskriminatif”, selain pada sisi lain juga menuduh sikap “pembiaran oleh pemerintah”.
Hal ini ternyata telah memberikan tantangan bagi pendidikan multikultural di Indonesia, khususnya pendidikan di sekolah maupun di rumah. Saat ini, orang-orang yang mempunyai kepentingan untuk merusak pluralitas di Indonesia mulai mengincar anak-anak muda untuk menjadi pengikut dan penerus mereka. Gerakan yang sering dilakukan adalah mendatangi sekolah-sekolah dan rumah/keluarga, kemudian membekali pemikiran mereka dengan pemikiran radikal, fundamental dan ilmu-ilmu lainnya. Selain di sekolah, di keluarga pun tetap dibekali ilmu seperti itu. Jika ilmu-ilmu seperti ini terus diberikan, lambat laun mereka akan mempunyai pemikiran intoleran dan diskriminatif.
Hal di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai kerukunan, Pancasila, dan keagamaan perlu dipelajari di seluruh sekolah. Namun, dalam persoalan ini, muncul pertanyaan krusial: sampai sejauh mana pendidikan keagamaan yang ada sekarang memberikan peran saat meningkatnya intoleransi dan praktik diskriminatif? Apakah dalam pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai keagamaan juga diperkenalkan “nilai-nilai multikultural”, atau justru sebaliknya? Sampai sejauh mana praktik pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai keagamaan mendorong peserta didik untuk mengakui adanya perbedaan dan mengembangkan sikap toleran terhadap perbedaan tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dan bagaimana peran gereja dan sekolah berpartisipasi mengembangkan pendidikan multikulturalisme, maka Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dalam hal ini Bidang Marturia dan Biro Litkom akan mengadakan Seminar dan Lokakarya Agama-Agama (SAA) ke-30.
Guna memperoleh peta awal mengenai permasalah ini Biro Litkom PGI mempresentasikan hasil penelitian mereka mengenai “pendidikan multikulturalisme”. Penelitian ini mengambil dua unit pengamatan yang merupakan institusi-institusi dasar sosialisasi individu dalam masyarakat, yakni keluarga dan sekolah. Kedua institusi tersebut merupakan institusi dasar dari mana seorang anak/peserta didik memperoleh nilai-nilai keagamaan yang akan membentuk diri, sikap maupun perilaku mereka selanjutnya. Hasil penelitian inilah akan di dalami lebih lanjut melalui kegiatan SAA ke-30 ini.
SAA ini sangat penting diselenggarakan karena melalui SAA ini, kita memperoleh gambaran mengenai praktik pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai keagamaan, baik di sekolah maupun di rumah. Kita juga dapat memetakan prospek dan tantangan yang dihadapi oleh praktik pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai keagamaan, apakah ada perkenalan nilai-nilai multikultural atau tidak? Dan pada akhirnya, kita mempunyai rekomendasi yang dapat dilakukan oleh gereja-gereja, lembaga-lembaga keagamaan, bahkan sekolah dalam menjawab prospek dan tantangan pendidikan multikultural tersebut.
SAA ini akan berlangsung pada 23-26 September 2014 di Hotel Yasmin, Karawaci, Tangerang.
Be the first to comment