Gereja Harus Menjadi Komunitas Inklusif

Pertanyaan kritis tersebut disampaikan oleh Dr. Wati Longchar (dari Serampore University, India) dalam kesempatan berbagi pengalaman pelayanan dan pemikiran teologisnya kepada para peserta Konsultasi Nasional (Konas) V Gereja dan AIDS yang diselenggarakan oleh PGI dan PGIW DKI Jakarta di Hotel Lembah Nyiur, Cipayung (12-15/10).

Bagi Longchar untuk menilai sejauh mana gereja sudah menjadi komunitas yang inklusif dapat dilihat dari seberapa besar keberpihakan gereja kepada mereka yang miskin, orang-orang yang disable, yang terbuang, yang terpinggirkan, dan kaum perempuan, termasuk di dalamnya kaum STH (Saudara yang Terinfeksi HIV dan AIDS, istilah lain dari ODHA). Demikian pula, seberapa besar gereja memperjuangkan ketidakadilan yang dialami oleh insan-insan yang tidak berdaya tersebut. Jangan-jangan kita sendiri sebagai bagian dari tubuh Kristus (Gereja) ikut terlibat dan melakukan ketidakadilan kepada mereka.

Inilah yang menurut Longchar bahwa cukup banyak gereja tidak lagi mengindahkan ajaran Kristus. Orang-orang yang memiliki kekuasaan (otoritas) di gereja dengan menyalahgunakan kekuasaan tersebut sudah sepatutnya bertobat dan kembali mengimplementasikan Hukum Kasih yang diajarkan Tuhan.

Longchar menyegarkan ingatan kita kembali dengan dua fokus teologis dari Injil agar gereja mengubah pola pikir dan pola tindaknya selama ini yang kurang berbelarasa. Dua fokus teologis itu adalah:

  1. Lukas 14:12-14. Dalam bacaan tersebut, ada dua kelompok manusia, yaitu: orang-orang kaya (kelompok 1) dan orang-orang miskin, disable, lumpuh, dan buta (kelompok 2). Yesus memerintahkan agar kita merangkul dan berbelarasa kepada mereka yang berada di kelompok 2. Di sinilah gereja harus memberikan keberpihakannya kepada kelompok 2.
  2. Lukas 16:19-21. Perumpamaan ini paralel dengan bacaan pertama di atas, masih memperlihatkan dua kelompok yang kontras (kelompok 1 dan kelompok 2). Orang kaya berjubah ungu dalam bacaan tersebut menyimbolkan orang terhormat, terpandang, dan memiliki kekuasaan (otoritas). Namun, berbeda dengan Lazarus, kelompok dari orang-orang miskin dan disable yang tidak memiliki apa yang dimiliki si kaya tersebut.

Pesan yang hendak disampaikan dalam kedua fokus teologis tersebut adalah bahwa gereja perlu memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin, disable persons, orang-orang yang terbuang dan terpinggirkan, termasuk juga di dalamnya orang-orang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Orang-orang seperti ini banyak mengalami stigma dan diskriminasi dari masyarakat, termasuk juga dari gereja.

Agar gereja dapat mejadi komunitas yang inklusif, maka gereja tidak boleh lagi melakukan stigma dan diskriminasi kepada orang-orang miskin, orang-orang cacat (disable persons), orang-orang yang terbuang dan terpinggirkan, termasuk juga di dalamnya orang-orang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Untuk menjadi gereja yang inklusif, maka gereja harus bertindak nyata dalam berbelarasa dan menegakkan keadilan bagi sesama.

Oleh: Boy Tonggor Siahaan