Paskah dan Implikasinya

Oleh: Neil Semuel Rupidara

Bagaimana hendak kita pandang peristiwa kebangkitan Yesus atau Paskah? Apakah peristiwa ini hanya semata sebuah keyakinan iman bagi pengikut Yesus Kristus? Apakah ia merupakan sebuah rekayasa sosial dari para pengikutNYA hanya untuk membenarkan keyakinan mereka? Apakah narasi Paskah adalah juga sebatas fiksi indah untuk menyelesaikan cerita kehidupan dan pelayanan Yesus dengan sebuah happy ending, bahkan menjadi heroik atau supranatural untuk menjustifikasi keyakinan itu, ala film-film Hollywood?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu bukan sesuatu yang amat merisaukan bagi umat percaya begitu saja. Namun, pertanyaan-pertanyaan ini seringkali mengusik ruang emosi dan nalar kaum percaya, apalagi ketika ada sebagian dari antara mereka yang terusik ruang imannya akibat  dikonfrontasi dengna nalar manusia-manusia tidak percaya yang rapi dibungkus oleh sebuah konstruksi kontra-evidence, apalagi dengan di antaranya menunjuk pada ragam ketidaksamaan fakta-fakta dalam narasi-narasi Paskah yang bersumber dari Injil sebagai sumber utama yang membangun pemahaman iman Kristen.

Orang percaya bisa bersikap dua hal dalam konteks ini, abaikan saja, atau dealing with it. Tulisan ini menempatkan diri pada sisi yang kedua, yakni tidak mau menutup mata terhadap gangguan-gangguan eksternal itu, yang datang termasuk dengan meminjam fenomena discrepancies dalam narasi Injil sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) yang oleh para ahli yang mengkaji historitas Yesus dan khususnya Paskah telah didudukkan sebagai sumber-sumber historis utama. Mengikuti sejumlah ahli, Injil Yohanes sedikit dikeluarkan dulu dari kategori sumber historis karena dinilai lebih banyak mengandung dimensi teologis, sekalipun Yohanes (19: 35) pun menyatakan, “Dan orang yang melihat hal itu sendiri yang memberikan kesaksian ini dan kesaksiannya benar, dan ia tahu, bahwa ia mengatakan kebenaran, supaya kamu juga percaya. Jadi sebagaimana Injil sinoptik, Injil Yohanes pun duduk di atas fakta historis yang diceritakan oleh eye witness(es). Namun, kembali ke pertanyaan awal, bagaimana peristiwa Paskah ini harus dilihat?

Hampir tidak ada lagi ahli, apalagi sejarawan antiquity, yang menolak historisitas Yesus. Apakah Yesus sebuah figur rekaan atau rill? Kira-kira itu maksudnya ketika pertanyaan historitas Yesus diajukan. Bahwa masih ada yang tetap saja mereka-reka bahwa kehidupan Yesus adalah sebuah rekaan, orang-orang yang macam begini jelas-jelas sedang berhalusinasi. Di samping atestasi jamak dari sumber-sumber internal Kekristenan cukup untuk menjawab keraguan apakah Yesus adalah pribadi historis, koroborasi terhadap sumber-sumber non Kristiani (mis. tulisan-tulisan Thallos (yang dirujuk Africanus), Tacitus, Josephus, Pliny the Younger) lebih dari cukup untuk menempatkan historisitas Yesus tak tergoyahkan. Cross-referencing untuk pembuktian kemampuan Injil dan Perjanjian Baru pada umumnya dalam menceritakan kejadian di zamannya tidak semata di seputar kehidupan Yesus tetapi juga pada berbagai setting kehidupan di zaman pra dan pasca Yesus (lihat Paul Barnet, 2004, Is the New Testament History; John Dickson, 2008, The Christ Files).

Pada hakekat kemanusiaanNYA, Yesus dari Nazareth adalah pribadi yang sama seperti kita. Ia lahir dari sebuah keluarga tukang kayu di kota kecil Bethlehem. Ia tumbuh dan besar di daerah Palestina, sekalipun ada periode dalam sejarah hidupNYA yang seolah hilang, apa yang dikenal para ahli sebagai periode “lost years” (baca Jean-Pierre Isbout, 2009, USNews Magazine, untuk sebuah upaya membangun narasi atas the lost years). Setelah periode lost years itu, Yesus muncul di Nazareth dan memulai masa pelayanannya pada usia sekitar 30 tahun, untuk masa pelayanan yang diperkirakan berdurasi 3 tahun.

Bagaimanapun, hampir tidak ada sumber-sumber lain yang mendokumentasikan sejarah hidup Yesus seperti yang dilakukan oleh Injil, Injil sinoptik khususnya. Namun, pertanyaan utama dalam hal posisi Injil sebagai sumber historis, apakah Injil dan bahkan seluruh kitab Perjanjian Baru akurat dan reliable sebagai sebuah sumber sejarah? Perdebatan soal apakah Injil telah benar-benar menggambarkan secara akurat sejarah kehidupan Yesus mudah ditemukan di dunia digital hari ini. Jika hati kita cukup kuat untuk bisa dan mau ikuti perdebatan-perdebatan itu, maka kita akan mendapati sikap-sikap kritis para ahli, terutama ahli-ahli kritik teks, dalam membedah cara Injil menyajikan informasi historis dan menemukan kejanggalan-kejanggalan di dalamnya. Fine.

Fakta perbedaan-perbedaan informasi historis dalam Injil tidak bisa diabaikan. Namun, apakah lalu Injil langsung kehilangan kredibilitasnya sebagai sebuah dokumen sejarah yang terdekat dan terkuat dalam menyingkap kehidupan Yesus, termasuk peristiwa Paskah? Rasanya dan dapat dipastikan tidak sama sekali. Hasil-hasil kritik teks tidak dengan begitu saja bisa meruntuhkan sejarah itu. Sejarah itu sendiri harus dipisahkan dari cerita-cerita tentang atau yang mendokumentasinya. Dengan demikian, sumber utama dari cerita sejarah seharusnya adalah kehidupan yang dijalani oleh pelaku-pelaku sejarah itu sendiri, bukan cerita mereka atau siapapun tentangnya.

Dari cerita Kekristenan yang justru berkembang luar biasa pasca kematian, kebangkitan, dan kenaikan Yesus yang disaksikan dari mulut ke mulut (Dalam kajian Manajemen, words of mouth disebut sebagai metode promosi terkuat dan action speaks louder than thousands of words adalah adagium kaum strategists) para pengikutnya, dari satu generasi ke generasi lainnya, dari satu bangsa ke bangsa lainnya. Tidakkah itu lebih powerful dari dokumentasi sejarah itu sendiri? Di manakah mata dan hati mereka yang mau datang dengan gugatan-gugatan tekstual? Bagaimanapun, pengujian-pengujian silang toh telah dilakukan dengan seksama oleh para ahli. Sekali lagi, bukan tidak ditemukan sama sekali hal-hal meragukan dalam rumusan-rumusan Injil. Ada banyak discrepancies. Namun, kemampuan Injil untuk menyajikan cerita besar kehidupan Yesus dan Perjanjian Baru untuk kehidupan Kekristenan setelah Yesus hampir tidaklah dapat dibantah karena alasan kekurangan-kekurangan atau kelemahan-kelemahan di dalamnya.

Ada sejumlah kriteria yang dipakai sejarawan modern dalam menguji historitas sesuatu fakta sejarah lampau. Kriteria ketidaksamaan (dissimilarity) atau otentisitas, [jarak] waktu [dari kejadian sesungguhnya], atestasi [sumber independen] jamak, hal memalukan (embarassment), koherensi, historical plausibility, keselarasan bahasa zamannya (archaic language), dapat diingat secara akurat dalam tradisi orang (memorability), juga dukungan arkeologi (John Dickson, 2010, Investigating Jesus). Di atas kriteria seperti itulah kesimpulan dibuat bahwa narasi kehidupan Yesus dan termasuk di dalamnya peristiwa kebangkitanNYA dapat diterima.

Memang, hal kebangkitan Yesus lebih sulit diterima. Namun, jika menggunakan kriteria jarak waktu, pengakuan tertulis pertama akan kebangkitan Yesus datang dari surat-surat Paulus yang hanya berjarak sekitar 18 – 28 tahun setelah kematian Yesus, demikian juga jarak ke Injil Markus sekitar 28 tahun, what a credible historical source they are. Bandingkan sumber cerita tentang Alexander the Great yang berjarak lebih dari  400 tahun dari kematiannya (Wawancara Lee Strobel dengan Craig Blomberg, profesor Perjanjian Baru, Denver Seminary Colorado, Baca Strobel, 2000, The Case for Christ). Paulus sendiri setelah peristiwa di Damaskus yang membuatnya menjadi seorang pengikut Yesus telah menjumpai Petrus, Yakobus adik Yesus, dan para murid lainnya di Yerusalem. Perjumpaan Paulus dengan para murid yang menjadi saksi mata kebangkitan Yesus diperkirakan terjadi pada durasi 5 atau 6 tahun setelah kematian Yesus. Jadi cerita tentang kebangkitan Kristus telah beredar menjadi cerita yang hidup dan pengakuan iman para murid di Yerusalem (dan sekitarnya) sepanjang 5-6 tahun sebelum diceritakan kepada Paulus sehingga bisa diduga telah terbangun a corpus of early texts di kalangan mereka di masa-masa itu.

Namun, beberapa pakar Perjanjian Baru seperti John Dominic Crossan dan Marcus Borg hanya dapat menerima peristiwa Paskah dalam makna simbolik, metaforis, bukan fisik. Mereka meragukan bahwa jazad Yesus tidak ada di kubur yang pada Minggu pagi itu dikunjungi oleh beberapa perempuan di kalangan pengikut Yesus. Bahwa Matius dan Lukas menceritakan bahwa Maria Magdalena dan Maria ibu Yakobus diminta malaikat membuktikan kabar kebangkitan Yesus itu dengan menengok ke dalam kubur yang kosong, memberitakan itu kepada para murid, dibuktikan kembali oleh murid laki-laki yang datang belakangan, pakar seperti mereka meragukan narasi itu. Jangankan mereka yang masih terima cerita Paskah walaupun maknanya dinilai metaforis, tidak sedikit pakar yang menolaknya mentah-mentah.

Bagaimanapun itu hak [intelektual] mereka. Namun, orang-orang yang menyaksikan sendiri kebangkitan Yesus dan menjadi percaya karenanya tidak butuh pembuktian ilmiah oleh ahli-ahli yang hidup ribuan tahun setelah peristiwa itu untuk menyatakan bahwa cerita mereka itu benar atau tidak. Jika menggunakan kriteria seperti jarak waktu dan embarassment (perempuan sebagai saksi, di mana perempuan tidak mendapat tempat utama dalam ruang publik masyarakat Yahudi), adanya saksi-saksi itu dan kesaksian mereka adalah bukti historis yang lebih dari cukup untuk membenarkan peristiwa yang tadinya amat menyedihkan dan menakutkan mereka tetapi kemudian menjadi sebuah berita sukacita dan kabar mulia yang harus diberitakan kepada yang lain.

Bukti-bukti penampakan Yesus pasca kebangkitanNYA yang lebih dari sekali kepada lebih dari 500 orang juga adalah evidence yang lebih cari cukup untuk “mengabaikan” kehebatan para ahli modern yang menafikan otentisitas peristiwa sejarah yang kini telah menjadi fondasi solid dalam membangun Kekristenan hampir 2000 tahun lamanya. Keahlian dan keberatan ilmiah para ahli itu cukuplah untuk sekedar menjadi catatan ilmiah. Namun, fakta-fakta historis dan keyakinan yang dibangun di atasnya sebagai sesuatu yang bahkan bersifat mengancam keselamatan pribadi dan kelompok dan memang tidak sedikit pengikut Yesus yang mati karena memegang erat keyakinan dan kesaksian iman mereka sebaliknya adalah sebuah pekerjaan rumah yang akan terus menghantui para ahli yang mengabaikan fakta sosial bahwa Kekristenan justru tumbuh menjamur di bawah tekanan sosial politik yang tidak mudah.

Pertanyaannya, “Who has actually stood against the test of (difficult) times?” It is those humble eye witnesses and their belief in the risen Christ! They themselves are the strongest historical proof than anything else! It seemed that they don’t need your hypothetical theories, my sceptical friends. They have built their own, and probably the most profound theory based upon empirical facts they encountered and unfolded to them during the times. Namun, simak juga posisi ilmiah yang Lukas (1: 3-4) ambil, “Karena itu, setelah aku MENYELIDIKI segala peristiwa itu DENGAN SEKSAMA DARI ASAL MULANYA, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, supaya engkau dapat mengetahui, bahwa segala sesuatu yang diajarkan kepadamu sungguh benar.”

Sebagai penulis-penyelidik, Lukas sebagai kompatriot Paulus telah berupaya mengerjakan tugasnya dengan berdisiplin, sama seperti para ahli pada umumnya. Ia seorang ilmuwan pada zamannya. Karena itu, jika seorang ahli modern yang berjarak waktu ribuan tahun dari peristiwa justru merasa lebih benar, lebih tahu dibanding ahli yang lainnya yang justru berjarak waktu lebih dekat dari peristiwa yang dipersoalkan historisitasnya, bukankah itu sebuah tanda bahaya bagi manusia dan dunia keilmuan? Semoga tidak ada arogansi intelektual yang menguasai siapapun yang berolah ilmu pengetahuan di atas peristiwa luar biasa ini.

Narasi-narasi oral oleh saksi-saksi mata dan para penerus mereka pun telah melahirkan dokumen-dokumen turunan yang memerkuat posisi historitas peristiwa Yesus yang mereka lihat, dengar, hidup bersamaNYA dan saksikan kepada orang lain. Ditengarai ketika menulis Injil mereka, Matius dan Lukas pun misalnya tidak hanya menggunakan Injil Markus sebagai sumber otoritatif utama mereka, tetapi juga menggunakan dokumen lain yang disebut Q (Quelle = sumber) diduga berisi pernyataan dan pengajaran Yesus yang disusun di sekitar tahun 40 – 70. Namun, karena baik Matius dan Lukas juga memiliki perbedaan-perbedaan dalam narasinya, masing-masing mereka dinilai juga punya sumber independen yang khusus bagi mereka (Special L dan Special M).

Tentang Injil Markus itu sendiri, Papias, bishop Hierapolis (ca. 60 – 130 AD) misalnya menulis bahwa Markus sebagai interpreternya Petrus telah menulis secara akurat sekalipun tidak berurutan atas apa yang menjadi isi pengajaran Petrus sebagai murid pertama dan hampir selalu bersama Yesus, tentang apa yang dilakukan atau diajarkan Yesus. Markus dinilainya menulis secara lengkap tanpa membuat pernyataan sendiri yang mendistorsi pengajaran Petrus dan realitas yang dinarasikan (Baca Dickson, 2008).

Paskah karenanya merupakan sebuah kenyataan dan telah menjadi peristiwa yang mencengangkan. Namun, Paskah tidak hendak berhenti pada peristiwa itu sendiri. Lalu, apa implikasinya? Apakah Paskah hanya berhenti sekedar sebuah perayaan tahunan yang mengingatkan kita pada betapa besar kasih Tuhan melalui jalan penderitaan yang Yesus jalani? Paskah bagaimanapun telah menjadi a life changing moment, bagi banyak orang. Ia mengubah ketakutan dan ketidakpercayaan para murid Yesus menjadi sukacita dan kebangunan kembali iman mereka kepada Kristus sang guru dan Tuhan mereka. Paskah mengubah Petrus sang penyangkal menjadi batu karang iman yang teguh.

Paskah mengubah Thomas yang sangsi untuk menjadi saksi yang setia. Paskah dan Yesus yang bangkit itu turut mengubah Saulus yang tidak percaya yang memerkusi pengikut Yesus menjadi Paulus sang pemberi kabar baik yang membangun Kekristenan menjadi sebuah komunitas internasional yang solid dari masa ke masa. Paskah pun mengubah Yakobus adik Yesus untuk menjadi pemimpin gereja. Banyak orang dalam sejarah berubah karakternya karena Paskah. Adakah Paskah juga akan mengubah saudara dan saya? It is only a matter of our response. Bagaimanapun Paskah adalah sentral kehidupan iman kaum percaya.

Karena sentralitas Paskah itulah, maka John Stott (2009, The Cross of Christ) menulis tentang sentralitas salib sebagai simbol Kekristenan, bukan burung merpati, daun palem, atau ikan. Tulisan-tulisan saya sebelumnya telah mencoba memaknai Paskah, termasuk memaknai mengapa itu harus terjadi. Namun kini pertanyaannya, apa signifikansi hidup sebagai orang Kristen pasca Paskah? Ini sesuatu yang tidak mudah. Namun, di atas telah ditunjukkan bagaimana Paskah mengubah karakter para murid Yesus. Dalam hal itu, setidaknya sejarah hidup Yesus sendiri tentu sudah memberi referensi tentang apa arti hidup Kekristenan di dalam tuntunan atau keteladananNYA. Namun, perkenankan saya merujuk Stott untuk memaknai implikasi hidup di bawah makna salib dan Paskah (living under the cross). Dalam hal itu Stott berbicara tentang relasi pribadi kita dengan Tuhan yang diperbarui, juga panggilan pengorbanan diri (sebagai respon atas pengorbanan Kristus).

Paskah merupakan sebuah momen yang powerful untuk berefleksi tentang siapa diri kita sesungguhnya, dalam mempertanyakan dan rekonstruksi identitas diri kita sebagai pengikut Kristus. Proses itu bisa berujung penyangkalan dan sekaligus afirmasi diri dalam proses rekreasi diri menjadi gambar ilahi. Ketika hidup di dunia yang makin pragmatis dan self-centered, semangat Paskah mengajak kita untuk berbalik arah mengembangkan self-sacrificing personality. Dalam proses perubahan, terbangunnya komunitas-komunitas yang saling solider dan karenanya memiliki iklim atau budaya menyerahkan diri untuk pelayanan tanpa pamrih.

Ini mungkin sesuatu yang sudah hampir tergolong mahal atau terlalu mewah di mana budaya profesionalisme terlanjut diartikan terlalu transaksional, situ beri berapa untuk jasa profesional saya? Paskah dan salib Kristus memanggil kita untuk melakukan aksi-aksi sukarelawan bagi keadilan sosial. Mengapa? Keselamatan kita telah kita terima gratis dari Tuhan, masih mau dan selalu hitung-hitungan dalam kehidupan kita? Paskah juga adalah sebuah panggilan rekonsiliasi dan perdamaian dengan siapapun. Melalui Paskah Kristus telah memerdamaikan manusia dengan Penciptanya, bahkan dengan seluruh tatanan alam semesta. Karena itu, kita juga terpanggil untuk menjadi agen perdamaian yang tulus dalam kehidupan. Membenci kejahatan tentu merupakan konsekuensi dari Paskah, tetapi untuk mengatasi kejahatan kita diundang untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ini tidak mudah, tetapi itu panggilanNYA.

Kesabaran Kristus menjalani penderitaan tetapi kemudian mengatasi maut adalah sebuah demonstrasi ekstrim dari sebuah kualitas kehidupan Kristen. Dunia telah mengalami penderitaan demi penderitaan, silih berganti di dalam sejarah, termasuk penderitaan akibat Covid-19 yang sedang kita alami. Penderitaan adalah sebuah pengalaman masuknya sesuatu yang asing ke dalam tatanan kehidupan yang baik. Ia dapat diakibatkan oleh banyak hal. Dan, kita sulit menghindarinya begitu saja. Karena itu, penderitaan adalah bagian dari kehidupan yang harus kita jalani. Bagaimana lalu menghadapinya? Dibutuhkan ketahanan kesabaran, apalagi masa penderitaan bisa panjang. Kesukaran dan penderitaan bagaimanapun mendatangkan ketekunan, termasuk di dalam mencari wajah Tuhan. Panggilan bagi orang percaya di masa penderitaan bagaimanapun adalah sebuah panggilan pelayanan bagi yang menderita, bukan sekedar kehati-hatiann dan perlindungan diri agar kita tetap aman. Dalam penantian di dalam penderitaan, orang Kristen diajak untuk tetap hidup di dalam pengharapan dan iman kepada Dia sang sumber kehidupan.

Kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus sebagai anak manusia terjadi hanya sekali untuk selama-lamanya. Namun, Paskah yang sekali itu adalah sebuah peristiwa yang memiliki magnitude yang luar biasa. Namun, ia bisa menjadi peristiwa biasa-biasa saja. Semua akan bergantung pada cara kita memaknai dan meresponnya.

Selamat merayakan Paskah. Tuhan memberkati.

 

Penulis, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga.