LOMBOK,PGI.OR.ID-Penyelenggaraan Sidang MPL-PGI di Hotel Aruna, Senggigi, Lombok Barat, NTB, ini mengingatkan kita akan peristiwa penyerangan dan pengrusakan terhadap gereja dan warga kristiani di kota Mataram, hingga ke Senggigi ini, pada 17 Januari 2000. Ketika itu tercatat 10 gereja habis dibakar, 5 dirusak, termasuk GPIB Imanuel, yang bersebelahan dengan Kantor Walikota Mataram, dan Gereja Katolik Imaculata yang bersebelahan dengan Makodim 1606 Lombok Barat. Kejadian itu merembet dan meluas dalam bentuk kerusuhan dan penjarahan sampai ke Pantai Senggigi.
Tercatat sedikitnya 28 hotel, 402 rumah dan 67 toko menjadi korban. Akibatnya terjadi eksodus besar-besaran warga Tionghoa dan umat Kristen yang meninggalkan Lombok, sehingga mengakibatkan perekonomian di Lombok lumpuh selama beberapa minggu.
Demikian Pengantar Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom yang disampaikan di hari kedua Sidang MPL-PGI 2020, di Hotel Aruna Senggigi, Lombok, NTB, Rabu (4/2).
“Kita patut berefleksi atas peristiwa ini, terutama dalam konteks bangunan masyarakat Indonesia yang majemuk, yang selama puluhan tahun mampu hidup bersama di tengah keragaman, termasuk keragaman agama. “Pertanyaan tersisa yang masih mengganggu adalah mengapa masih ada daerah-daerah yang menganggap warga Kristiani sebagai pendatang dan orang asing di NKRI ini, sebagaimana juga dialami oleh Saudara-saudara kita di Aceh Singkil dan Sumatera Barat. Padahal, sebagaimana hasil penelitian Pdt. Dr. Margie Dewana Ririhena, baptisan pertama kepada suku Sasak di Lombok ini telah berlangsung pada 1600-an. Lantas pertanyaan yang mestinya mengusik kita, mengapa masyarakat begitu resisten terhadap umat Kristen, yang dianggap sebagai orang asing tersebut?” kata Gomar.
Lanjut Ketua Umum PGI, belajar dari peristiwa “Lombok 171”, apa pun peran dan provokasi “Jakarta” pada waktu itu, kalau hubungan baik, pasti tidak terjadi peristiwa sedemikian. Sepertinya memang ada gap yang begitu besar di tengah masyarakat. Perusahaan-perusahaan tambang besar yang ada di Lombok, kebanyakan para petingginya adalah umat Kristen. Kesejahteraan tidak merata, akibatnya sering muncul ungkapan, “Orang asing (Kristen) telah merampas harta kita.” Pdt. Dr. Margie D Ririhena, yang bertugas di GPIB Mataram 2011-2013, menyimpulkan, gereja memang kurang berbaur dan bahkan meminggirkan penganut agama Watu Ternu, agama asli di Lombok, yang sesungguhnya sangat lembut dan ramah menyambut para pendatang.
“Namun di sisi lain, dalam suatu kesempatan perkunjungan ke Mataram, saya juga mendengarkan kisah-kisah menginspirasi bagaimana beberapa umat Kristen yang hadir dalam beragam lapangan hidup, yang justru “dilindungi” ketika “Peristiwa 171” itu, yang dianggap saudara karena telah berbuat dan berbaur dengan masyarakat setempat tanpa harus membawa simbol-simbol kekristenan. Kehadiran sebagai warga yang demikian tentu bisa menjadi “jembatan” di tengah-tengah kecenderungan masyarakat yang makin segregatif belakangan ini,” katanya.
Dalam pengantarnya, Ketua Umum PGI juga menyoroti proses persiapan persidangan ini yang diwarnai oleh keprihatinan mendalam atas bencana banjir di Jabodetabek dan beberapa daerah lain di Indonesia, yang memporak-porandakan kehidupan sebagian warga masyarakat. Berbagai peristiwa bencana seperti peristiwa banjir ini mengajak kita untuk berefleksi, betapa perlunya kita kini makin bersahabat dengan alam, dan betapa solidaritas kita sebagai sesama anak bangsa kini diuji oleh peristiwa bencana ini, sebagaimana juga bencana gempa yang melanda Lombok pada 29 Juli 2018.
Keprihatinan mendalam yang sama atas kondisi berkebalikan dengan peristiwa banjir ini juga dialami oleh saudara-saudara kita di Kalimantan dan Sumatera dengan bencana asap yang begitu menggangu kesehatan dan roda perekonomian masyarakat beberapa waktu lalu. Sementara pada skala global kita juga prihatin dengan bencana kebakaran dahsyat yang melanda sebagian Australia yang hingga hari ini masih belum teratasi, dan kebakaran di California tiga-empat bulan lalu. Pada saat yang sama kita juga menghadapi bencana kekeringan yang melanda sebagian wilayah Indonesia.
Bencana dan krisis ekologis, menurut Gomar, semakin terasa sebagai akibat dari perlakuan kita yang tidak ramah terhadap alam, dan sebaliknya mengeksploitasi alam melebihi batas-batas daya dukung bumi. Pada saat yang sama krisis ekologis ini juga diperparah dengan lemahnya penataan tata ruang wilayah dan pengelolaan hutan kita. Akibatnya, selain krisis ekologis berupa deforestasi berikut dampak turunannya; asap, banjir, kekeringan, dan lainnya. Kita juga berhadapan dengan beragam konflik agraria, di mana para petani dan masyarakat adat yang tak memiliki kekuatan selalu berada pada posisi yang dikorbankan. Semua hal ini semakin menegaskan betapa perlunya gereja-gereja di Indonesia lebih sungguh-sungguh menyikapi krisis ekologis, sebagaimana diamanatkan oleh Sidang Raya XVII baru lalu.
Meski di tengah kondisi seperti ini, lanjutnya, kita menyambut gembira Keputusan Mahkamah Agung, pada akhir 2019, yang mengabulkan kasasi Walhi yang menggugat rencana penambangan batubara oleh PT. Mantimin Coal Mining di Pegunungan Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalsel. Sebelumnya PTUN Jakarta pada 22 Oktober 2018 menolak gugatan tersebut. Di berbagai wilayah lain kita juga menghadapi permasalahan terkait dengan tata ruang wilayah dan pengelolaan hutan, di mana PGI sudah terlibat selama ini, dan diharapkan masih dapat kita teruskan ke masa depan.
Hal lain yang juga mendapat perhatian Ketua Umum PGI dalam pengantarnya, antara lain, makin menggejalanya sikap hidup intoleran di tengah masyarakat, yang pada gilirannya akan semakin memupus kerukunan yang puluhan tahun telah dihidupi oleh masyarakat kita yang majemuk. Berbagai peristiwa seperti intimidasi kepada siswa yang tidak menggunakan jilbab di sekolah negeri di Sragen, adanya siswa yang dikeluarkan dari sekolah (IT) di Solo karena menyampaikan selamat ulang tahun kepada temannya yang berbeda jenis kelamin, dan lainnya, sungguh memprihatinkan.
“Kita semakin merasa risau akan perkembangan peradaban yang mengarus-utamakan jumlah penganut agama, peradaban yang mengedepankan mereka yang bersuara keras, peradaban yang memenangkan mereka yang hidup mapan dan peradaban yang memenangkan mereka yang kuat. Peradaban yang sedemikian itu pada gilirannya akan menimbulkan perselisihan, kebencian dan balas-dendam. Suatu peradaban yang membuahkan budaya kematian daripada budaya cinta yang menghidupkan,” tegasnya.
Hal tersebut mengingatkan kita kembali akan amanat Sidang Raya PGI baru lalu agar gereja-gereja di Indonesia memberi perhatian yang lebih serius akan krisis kebangsaan yang sedang melanda masyarakat dan bangsa kita. Masyarakat dan bangsa kita belakangan ini memang sedang berhadapan dengan gugatan terhadap ideologi Pancasila atas dasar pendekatan agama.
“Ruang publik kita seolah dipenuhi dengan kontestasi antara kepatuhan terhadap teks kitab suci atau amanat konstitusi dalam membangun kehidupan bersama. Apalagi ternyata, pendekatan terhadap teks kitab suci itu sangat tekstual dan menafikan konteks, baik konteks teks itu sendiri maupun konteks masyarakat di mana teks itu kini dipahami. Dalam hal inilah gereja-gereja di Indonesia dirasa perlu untuk mendukung dan ikut mengkampanyekan moderasi beragama yang dicanangkan oleh PBB dan belakangan ini banyak dimasyarakatkan oleh mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin,” jelasnya.
Demikian pula dengan Pilkada. Perlu diwaspadai pendekatan sektarian dalam menyambut Pilkada Serentak, 23 September 2020, yang akan berlangsung di 270 daerah (9 propinsi, 224 kabupaten dan 37 kota). Pengalaman Pilkada DKI 2017 lalu bukan tidak mungkin dicopy-paste di daerah-daerah lain, sebagaimana juga pada Piklpres 2014 dan 2019 lalu, yang menyisakan pengkotak-kotakan masyarakat atas dasar agama. Untuk maksud ini, betapa perlunya gereja-gereja, selain menerbitkan Pesan Pastoral menjelang Pilkada tersebut, juga menyelenggarakan rangkaian program voter education di berbagai daerah yang menyelenggarakan Pilkada pada tahun ini.
Juga soal krisis kepemimpinan. Gomar melihat, berbagai krisis memang sedang menimpa bangsa kita, namun krisis kepemimpinan, sebagaimana diperlihatkan oleh para elite politik bangsa kita, merupakan persoalan yang cukup memprihatinkan. Sehingga banyak orang bertanya, apakah kita masih memiliki pemimpin yang memiliki kekuatan moral.
Sayangnya, di tengah krisis kepemimpinan sedemikian, ternyata gereja-gereja kita di Indonesia pun belum menunjukkan diri sebagai bagian dari solusi berbangsa. Kita masih melihat beberapa pimpinan gereja dan pendeta yang terseret oleh tarikan kepentingan-kepentingan jangka pendek, terjebak pada perebutan kekuasaan dan berbagai bentuk konflik internal lainnya, yang beberapa di antara masih belum terselesaikan hingga kini.
Pewarta: Markus Saragih