Upaya dan Komitmen Agama-agama bagi Pelestarian Hutan Tropis

Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty saat menyampaikan materi dalam Lokakarya Dialog dan Peluncuran Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis di Auditorium Manggala Wanabakti, Jakarta, Kamis (30/1).

JAKARTA,PGI.OR.ID-Hutan tropis dunia merupakan sesuatu yang sakral, karunia yang tak tergantikan dan penting bagi kehidupan di bumi. Didalamnya terdapat lebih dari 50 persen spesies tumbuhan dan hewan dan memberi ratusan juta orang di seluruh dunia dengan makanan, air, obat-obatan, dan mata pencaharian. Hutan tropis juga penting untuk memerangi perubahan iklim.

Hutan adalah satu-satunya solusi alami yang aman, terbukti, dan solusi alami untuk menangkap dan menyimpan karbon. Penggundulan hutan tropis merupakan sumber utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Perlindungan, restorasi dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan merupakan sepertiga solusi perubahan iklim.

Meskipun sudah ada kerjasama masyarakat adat, pemerintah, masyarakat sipil dan mitra usaha yang bekerja untuk melindungi hutan tropis, namun masih diperlukan kepemimpinan dan momentum baru untuk mencapai kecepatan dan skala perubahan yang berarti. Kerjasama lintas agama sangat penting untuk menghentikan penggundulan dan mengembalikan hutan tropis. Sudah saatnya untuk membuat perlindungan hutan tropis dan hak-hak masyarakat adat menjadi perhatian moral bersama dan prioritas agama.

Sejumlah lembaga antaragama yang tergabung dalam Interfaith Rainforest Initiative menggelar Lokakarya Dialog dan Peluncuran Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis, di Auditorium Manggala Wanabakti, Jakarta, selama dua hari Kamis-Jumat (30-31/01).

Peserta lolakarya yang datang dari berbagai daerah di Indonesia

Lembaga-lembaga antaragama itu antara lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin), Pengurus Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan beberapa lembaga lainnya.

Di sesi terakhir pada hari pertama yang mengupas Gambaran Umum Upaya dan Komitmen Agama Terhadap Perlindungan Hutan, Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty menguraikan, terkait ekologi dan lingkungan, PGI telah sejak lama menaruh perhatian serius. Setidaknya ini tercermin dalam tugas, dan panggian gereja untuk memberitakan Injil kepada segala mahluk (Markus 16:15). Ini adalah warisan dari pemahaman Sidang Raya VII PGI di Pematang Siantar pada 1971.

“Lalu menjadi rumusan Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama, sebagai dokumen misiologi gereja-gereja , sampai saat ini. Rumusan itu menegaskan bahwa memberitakan Injil kepada seluruh mahluk mengandung tanggungjawb keutuhan seluruh ciptaan Tuhan yang sungguh sangat amat baik. Prinsip dasar ini lalu diurai dalam serangkaian tugas, panggilan dan tanggungjawab gereja-gereja di Indonesia dalam pelestarian lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam,” jelasnya.

Dari paparannya, menurut Sekretaris Umum PGI ada 3 point yang menjadi perhatian. Pertama,  Gereja tidak dapat tinggal diam menyaksikan prose eksploitas dan perusakan sumber daya alam yang dewasa ini sudah mencapai tahan yang sangat mengkhawatirkan, dan dapat mengakibatkan kiamat ekologis bagi segala mahluk. Kedua, gereja-gereja melihat bahwa sumber daya alam termasuk sumber daya kelautan, yang sangat penting bagi Indonesia, sebagai Negara maritime seharusnya dimanfaatkan bagi kesejahteraan seluruh umat manusia. Dengan mempertimbangakan sungguh-sungguh setiap upaya untuk melestarikan dan memelihara lingkungan hidup, kesadaran ekologis ini seharusnya mewarnai seluruh kehidupan kita baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa.

Ketiga, gereja-gereja di Indonesia harus menaruh perhatian dan berupaya menyadrkan warga sejak dini tentang pentingnya pelestarian alam, mengembangkan pola hidup yang ramah lingkungan, dan menopang usaha-usaha advokasi ekologi bersama kelompok agama dan kepercayaan lain serta semua pihak yang berkehendak baik.

Sementara itu, Mgr. Yohanes Harun Yuwono juga mengungkapkan bahwa sejak lama Gereja Katolik menaruh keprihatinan atas masalah perusakan lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. “Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No.12) mengingatkan kita bahwa masyarakat setempat harus dilindungi dari kerakusan pendatang. Hal ini diperjelas oleh Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang menekankan bahwa alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral, karena dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan oleh manusia saat ini tetapi juga oleh generasi mendatang. Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No. 48) menyadarkan kita bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang sehingga harus dikelola bersama secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia,” paparnya.

Terkait upaya pelestarian hutan tropis, menurut Yohanes, Gereja Katolik mengajak semua manusia untuk merubah sikap mentalnya dalam memperlakukan alam, menghormati alam sebagai Ibu, yang memberikan kehidupan, menghormati alam sebagai saudara/saudari yang lebih tua, menghormati alam sebagai sahabat, dan menghormati alam sebagai lukisan keagungan cinta Allah.

Selain itu, juga dibutuhkan adanya aksi nyata, antara lain dalam bentuk mendorong pemerintah pusat maupun daerah untuk membuat regulasi yang jelas dan melaksanakannya dengan tegas mengenai penyelamatan hutan, penyelamatan satwa lokal dan langka, larangan perambahan hutan dan penambangan liar’ dan memberi sanksi berat pada para pelanggarnya. Dan, mendorong pemerintah untuk mengalokasikan dana yang signifikan untuk mendukung proyek dan kegiatan Walhi, untuk para ilmuwan dan akademisi yang melakukan penelitian mencari sumber energi alternatif yang non fosil. Dan, berani memulai dari sekarang gerakan bersama, seperti menanam pohon, menyelamatkan hutan, membersihkan sungai dari sampah, mengurangi penggunaan bahan plastik dan tidak membuang sampah sembarangan. Sampah organik harus bisa diolah menjadi pupuk organik untuk mengembalikan kesuburan tanah.

Dari perspektif Islam, perwakilan MUI, Dr. Hayu Prabowo melihat, pentingnya memuliakan alam, sehingga harus dipelihara dan dilestarikan. Persoalan yang terjadi sekarang ini adanya krisis moral yang berdampak pada perusakan sumber daya alam. “Ini yang seharusnya kita sadari. Manusia semakin rakus mengkonsumsi sumber daya alam. Dalam upaya memelihara dan melestarikan lingkungan, MUI mengeluarkan fatwa, dan juga menerbitkan buku-buku panduan dan bahan-bahan kotbah tentang lingkungan, salah satunya terkait restorasi gambut. Juga melakukan pelatihan bagi para Dai di seluruh Indonsia terkait konservasi alam,” jelasnya.

Strategi MUI, lanjut Hayu, juga melalui perwujudan ajaran agama dan konteks lingkungan hidup, memberdayakan tokoh agama untuk aksi lingkungan, dan menggerakkan pesantren itu bisa membuat gerekan ramah lingkungan.

 

Pewarta: Markus Saragih