Temui MPH-PGI, GIAD Sampaikan Masukan Terkait Amandemen Terbatas UUD 1945

Pertemuan antara MPH-PGI dengan GIAD di Grha Oikoumene, Jakarta, Senin (27/1).

JAKARTA,PGI.OR.ID-Agenda amandemen terbatas UUD 1945 patut ditolak karena berpotensi menjadi “bola liar” yang dapat dimanfaatkan oleh elit politik bukan hanya untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menyusun GBHN, tetapi juga untuk merusak tata negara hanya demi pemenuhan ambisi kekuasaan.

Demikian ditegaskan Arif Nur Alam dari Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) ketika menemui MPH-PGI di Grha Oikoumene, Jakarta, Senin (27/1).  Kunjungan tersebut dalam rangka memberikan masukan terkait Amandemen terbatas UUD 1945 dan GBHN, yang menguat beberapa waktu terakhir.

Sementara Ray Rangkuti melihat, upaya mendudukan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat mengacaukan konstruksi presidensialisme dan mekanisme cheks and balances dalam relasi Presiden-DPR, yang coba diperkua lewat amandemen terdahulu maupun praktik politik dalam dua dekade terakhir. Alih-alih memperkuat kedaulatan rakyat, mengembalikan kewenangan MPR untuk menyusun GBHN berpeluang mempersempit ruang partisipasi publik, dan mendegradasi kedaulatan rakyat, yang perlu untuk ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya, dalam penyusunan rencana pembangunan.

“Amandemen terbatas UUD 1945 pasti ada efek turunannya. Tidak hanya terhadap ketatanegaraan kita tetapi juga anggaran, politik, dan sebagainya. Jadi tidak ada jaminan bagi perbaikan bangsa, justru potensi negatifnya sangat kuat. Maka jika hal ini dilakukan saya rasa sebagai langkah mundur,” tandasnya.

Hal senada juga disampaikan Badi’ul Hadi. Dia melihat, alasan penyusunan GBHN oleh MPR untuk mewujudkan pembangunan komprehensif sulit diterima. Sebab, saat ini tuntutan perencanaan pembangunan nasional berbasis UU No 25 Tahun 2004 cukup integratif dan komprehensif, termasuk meliputi koordinasi antara unsur-unsur pemerintah dan rakyat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antara pihak eksekutif dan legislatif.

Foto bersama usai pertemuan

“Dengan demikian langkah perbaikan praktik ketatanegaraan, termasuk dengan memajukan budaya politik demokratis, menjadi jauh lebih mendesak dibanding mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” ujar Badi’ul.

Pada kesempatan itu, Sekretaris Umum PGI Pdt. Jacklevyn Frits Manuputty menyampaikan terimakasih atas masukan yang diberikan. Dijelaskannya, dalam pertemuan dengan Ketua MPR RI Bambang Soesetyo, beberapa waktu lalu, PGI juga menyampaikan masukan terkait agenda amandemen terbatas UUD 1945.

“Kami menegaskan PGI sebagai mitra kritis bagi pemerintah.  Sebab itu masukan kritis juga kami sampaikan terhadap rencana tersebut seperti adakah garansi, tidak terjadi oligarki politik, kedaulatan rakyat, dan sebagainya.  Kami juga mengatakan belum memberikan sikap resmi, dan akan membicarakan isu ini dalam Sidang MPL-PGI nanti,” tegasnya.

 

Pewarta: Markus Saragih