JAKARTA,PGI.OR.ID-Di 2019 ini Haul Gus Dur telah memasuki usia kesepuluhnya. 1 dekade setelah kepergian Bapak Bangsa ini, semangat dan warisan perjuangannya melalui pemikiran dan pendidikan Islam, gerakan kebudayaan serta kebijakan negara yang pernah diinisiasinya, masih tetap melekat di hati banyak kalangan.
Bertempat di kediaman keluarga besar Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Haul Kesepuluh ini mengambil tema “Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan.” Tema ini berangkat dari pemikiran Gus Dur mengenai peran penting kebudayaan dalam merawat semangat kemanusiaan di tengah kemajemukan Nusantara.
Selain ribuan warga dari berbagai daerah memadati lokasi Haul ini, tampak pula beberapa tokoh bangsa dan agama yang hadir memenuhi area undangan VIP. Pejabat negara yang tampak hadir antara lain Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, dan beberapa pejabat lainnya. Hadir pula mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan tokoh politik Akbar Tanjung. PGI turut mengutus Sekretaris Eksekutif Bidang Kesaksian dan Keutuhan Ciptaan, Pdt. Jimmy Sormin, untuk menghadiri Haul ini bersama tokoh agama lainnya.
Acara yang dimulai pada pukul 20.00 WIB ini diisi dengan tausiyah, salawat, pertunjukan kesenian seperti paduan suara, solo dangdut dan tarian sufi, pembacaan puisi, dan stand-up comedy. Sebelumnya, sejak pagi telah berlangsung rangkaian kegiatan terkait Haul ini.
Salah satu kegiatannya adalah rembug budaya yang menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain, pertama, kebudayaan harus melestarikan kemanusiaan dengan mengangkat pergumulan kemanusiaan khususnya pengalaman hidup kelompok rentan/lemah seperti perempuan penghayat kepercayaan yang lain-lain.
Kedua, gerakan dan kebijakan kebudayaan harus membangun ekosistem kebudayaan yang partisipatoris sehingga pengembangan kebudayaan tidak bertumbuh pada elitisme kebudayaan.
Ketiga, negara dan masyarakat harus mengedepankan pendekatan kebudayaan sebagai bentuk pengelolaan keberagaman dan instrumen resolusi konflik. Keempat, negara harus menjadi fasilitator dalam tata kelola kebudayaan dengan menjadikan kebudayaan sebagai kata kerja, sumber pengetahuan dan yang vital dalam membangun peradaban yang lebih manusiawi.
Kelima, paradigma pembangunan harus berdasarkan strategi kebudayaan nasional yang dijabarkan dalam kebijakan dan strategi anggaran serta diimplementasikan secara komprehensif sampai ke pemerintahan daerah. Keenam, negara harus memberikan jaminan perlindungan berekspresi dan dukungan sumber daya untuk gerakan kebudayaan dalam bentuk akses, fasilitas dan ruang.
Ketujuh, negara dan masyarakat perlu membangun modal praktik keberagaman yang kontekstual dengan konstruksi budaya Indonesia, agama, dan budaya tidak saling mengalahkan. Bukan dikotomi yang kontradiktif dengan dialektis. Keduanya saling belajar dan mengambil keagamaan yang berkebudayaan, yang berarti praktik beragama yang membawa manfaat dan maslahat termasuk untuk alam. Kedelapan, sistem pendidikan harus mengembangkan potensi kemanusiaan agar tidak dikendalikan oleh teknologi tetapi menguasainya melalui khasanah pengetahuan dan budaya.
Kesembilan, kebudayaan perlu dioptimalkan sebagai cara menumbuhkan daya kritis terhadap kekuasaan untuk mengikis pragmatisme dan apatisme politik. Kesepuluh, negara perlu meninggalkan modal ekonomi ekstraktif yang mengorbankan keberlanjutan ekologi dan mulai menggali potensi ekonomi yang berbasis pengetahuan tradisional dan kearifan lokal.
Pewarta: Pdt. Jimmy Sormin