Oleh: Martha Hebi
Melarikan perempuan atau “bawa lari perempuan” untuk dijadikan istri cukup dikenal dalam tradisi di Sumba. Ini adalah jalan pintas untuk memperistri seorang perempuan idaman dengan cara menculiknya. Seorang perempuan lajang dengan beberapa rekannya pergi ke pasar atau menonton keramaian di kampungnya. Tiba-tiba segerombolan laki-laki yang tak dikenal menangkap dan membekapnya, melarikan dia dengan kuda atau kendaraan bermotor yang sudah disiapkan. Zaman dulu prosesi ini disertai sepasukan pengawal berkuda dengan senjata parang dan tombak, siap berperang. Siapa yang diperangi? Pihak yang ingin merebut kembali si perempuan dari tangan mereka.
Perempuan lajang tadi dibawa ke rumah keluarga laki-laki untuk dijadikan istri. Meskipun korban menjerit dan meronta-ronta minta tolong, biasanya tidak ada warga yang memberi bantuan. Sebab, pemandangan tersebut dianggap sebuah kebiasaan. Lazim terjadi sehingga tidak tampak aneh. Orang hanya berkata, “Ada yang bawa lari perempuan.” Kelanjutannya adalah urusan adat. Keluarga lelaki akan mengutus juru bicara (wunang) menemui keluarga perempuan, memberitahu anak perempuan mereka telah “dibawa lari” dan berada di rumah keluarga laki-laki. Urusan adat digelar sebagai jalan keluar.
Yappa Maradda
Sampai sekarang kebiasaan “bawa lari perempuan” ini masih sering dilakukan di beberapa wilayah di Sumba. Ambil contoh di kalangan masyarakat Anakalang di Kabupaten Sumba Tengah, yang disebut dengan istilah yappa maradda. Cerita di atas digolongkan sebagai yappa maradda. Ada pula palai ngiddi mawini, namun substansinya berbeda. Dapat dikategorikan sebagai “kawin lari” antara sepasang kekasih karena cinta terlarang. Orang tua salah satu pihak, biasanya pihak perempuan, tidak menyetujui hubungan mereka. Jalan pintas diambil. Sang kekasih dibawa ke rumah keluarga laki-laki atas kesepakatan berdua. Biasanya keluarga laki-laki akan mengirim wunang, memberitahukan keberadaan anak perempuan mereka. Urusan adat akan ditempuh.
Tradisi yappa maradda dan palai ngiddi mawini masih menjadi persoalan sosial yang menonjol di Sumba Tengah, meskipun banyak pihak telah menentangnya. Yappa Maradda ditentang karena mengandung kekerasan terhadap perempuan, sementara palai ngiddi mawini mensyaratkan kematangan sosial dan ekonomi kedua sejoli membangun rumah tangga. Kerap terjadi pasangan lebih dipengaruhi oleh emosi dan rasa kasmaran.
Salah satu tokoh penentang yappa maradda adalah Salomi Rambu Iru (64), atau biasa disapa Mama Salomi. Menurut dia, yappa maradda adalah penculikan. Tergolong kriminal karena tindakan menghilangkan kebebasan seseorang dengan paksaan adalah tindak pidana. Karena itu, para pelaku yappa marada bisa dikenai pasal di dalam KUHP. “Selain tidak etis, yappa maradda juga melanggar Pasal 335 ayat 1 KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan, UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak serta UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam beberapa kasus, ada anak di bawah umur yang menjadi korban,” jelas Mama Salomi.
Kegelisahan Mama Salomi terjadi sejak ia masih duduk di bangku Sekolah Pendidikan Guru (SPG) pada tahun 1975. Sahabatnya menjadi korban yappa maradda. Hati kecilnya memberontak terhadap situasi tersebut. Tapi, apa daya? Adat-istiadat yang mengagungkan dominasi laki-laki masih sangat kental di Sumba. Bahkan sampai saat ini. “Saya sedih, juga marah. Tapi, mau bagaimana lagi. Dulu orang anggap itu hal biasa. Jadi dibiarkan saja,” cetus Mama Salomi yang tinggal di Waihibur, Sumba Tengah ini.
Kegelisahan ini terus menghantuinya setiap kali ada perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban yappa maradda. Kelompok perempuan gereja maupun kelompok tani yang ia ikuti belum menemukan solusi. Bahkan menurut Mama Salomi, sebagian kaum perempuan sendiri merasa hal itu bukan masalah. Yappa maradda tidak dianggap sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan.
Mama Salomi sendiri adalah “korban” tradisi. Meskipun bukan korban yappa. Dirinya menikah dengan anak tantenya atas dasar keinginan orang tuanya. Dia dibelis sejak bayi. Lulus dari SPG, Mama Salomi bekerja di kantor Pemda Sumba Barat. Namun pada tahun 1976, karena harus menikah dengan anak tantenya, Mama Salomi meninggalkan pekerjaannya. Padahal, ia sudah diangkat sebagai pegawai pemda. “Dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak bisa jadi “tuan”, dia hanya di dapur saja. Akhirnya saya pulang ke kampung untuk urus rumah tangga,” ungkapnya pelan. Mama Salomi mengabdikan diri sebagai guru Sekolah Minggu juga pengurus PKK di kampungnya.
Pokja Perempuan
Tahun 1992, Yayasan Wahana Komunikasi Wanita (YWKW) terbentuk di Waihibur. Mama Salomi diundang untuk membangun diskusi tentang isu perempuan. Dalam yayasan ini ada kelompok kerja (pokja) yang khusus mengidentifikasi isu kekerasan terhadap perempuan dan mencari solusinya. Semangat Mama Salomi kembali bergelora. “Saya senang sekali ada wadah di mana kita bisa bicarakan hal-hal yang dianggap biasa oleh masyarakat, tapi sebenarnya bukan hal biasa karena menyangkut kekerasan terhadap perempuan,” ujar Mama Salomi.
Perempuan kelahiran 6 Maret 1955 ini mulai menyampaikan isu-isu tentang tradisi yang masih melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, namun dianggap hal biasa di masyarakat. Hanya saja, menurutnya, belum ada tanggapan serius. Mama Salomi tidak tinggal diam. Dia terus membawa isu itu dalam perbincangan sehari-hari dengan rekan perempuan, tokoh gereja atau siapa saja yang dia rasa bisa diajak berdiskusi. Lama-kelamaan satu-dua orang mulai mendengar dan mendukungnya. Kepada mereka ini Mama Salomi terus membangun diskusi dan memberi penguatan. Tak peduli ia dicap aneh karena melawan arus.
Tahun 1998, Pokja Perempuan Yayasan WKW dikukuhkan menjadi Forum Perempuan Sumba (Foremba) yang mempunyai kekuatan hukum. Mama Salomi dipilih menjadi direktur. Geraknya mulai lebih leluasa karena ada lembaga yang menaunginya secara resmi. Ia giat membangun jejaring. Tidak hanya di Waihibur, tetapi sedaratan Pulau Sumba. Sosialisasi tentang penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin gencar dilakukan.
Foremba menarik perhatian masyarakat. Kesadaran warga mulai terbuka. Sebagai komunitas yang secara khusus berkecimpung dengan isu perempuan, informasi mulai mengalir ke Foremba. Terutama warga melaporkan tentang KDRT dan yappa maradda. Meskipun akhirnya diselesaikan secara kekeluargaan, kehadiran Foremba sudah memberikan dampak positif. “Orang mulai mempersoalkan yappa maradda. Juga kekerasan dalam rumah. Meskipun diselesaikan secara kekeluargaan, tetapi ini sudah langkah maju buat Foremba,” kata Mama Salomi.
Laporan tidak hanya datang dari sekitar desanya di Sumba Tengah, namun juga dari Kodi (di Kabupaten Sumba Barat Daya), Lamboya (Sumba Barat) dan Sumba Timur. “Kami pernah kasih turun perempuan yang dibawa lari ke Desa Mangganipi di Kodi. Ada juga peristiwa perempuan dari Loli, di-yappa oleh orang Lamboya. Kami kasih turun juga. Kalau di Sumba Timur, kasus KDRT. Kami bangun hubungan baik dengan pihak Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Saya juga bersyukur ada undang-undang dan aturan lainnya. Jadi, kami bisa bilang ke pelaku bahwa dia sedang melawan hukum,” kata perempuan tiga anak ini.
Korban Masih Berjatuhan
Meskipun telah ada beberapa UU, namun korban masih terus berjatuhan. Perempuan dan anak perempuan masih menjadi korban. “Ini terjadi karena semua pihak belum bergerak seiring-sejalan. Seringkali perempuan dan anak perempuan masih diperlakukan sebagai komoditi. Ada saja pihak-pihak yang mengambil keuntungan secara ekonomi. Ambil contoh para pelaku yappa yang dibayar sesuai perjanjian yang sudah disetujui oleh pihak laki-laki. Jadi ini bisnis sudah,” kata dia. (Baca: Baku Atur Dalam Yappa)
Tahun 1999 disahkan UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia. Mama Salomi seperti mendapatkan tambahan amunisi. Dia terus bersosialisasi tentang penghentian kekerasan terhadap perempuan dan anak. Ia menggandeng tokoh agama, tokoh masyarakat dan warga untuk melindungi perempuan dan anak. Ia mengedukasi warga untuk membuat laporan secara resmi ke Foremba jika menemukan kekerasan terhadap perempuan di tengah masyarakat.
Langkah Mama Salomi tidak mulus. Ia seringkali disindir, mendapat umpatan, bahkan diancam. Apalagi jika pelaku dan keluarganya ia kenal. “Yang berat itu kalau ternyata pelaku adalah keluarga sendiri. Saya dicap melawan mereka. Kita orang Sumba ini di mana-mana ada keluarga. Ditambah lagi karena hubungan kawin-mawin, maka bisa saja kita kenal itu orang yang bikin masalah,” ujar Mama Salomi.
Menurut Mama Salomi, kasus yappa maradda menjadi rumit ketika adat sudah masuk ke dalamnya. Mediasi dan intervensi hukum sering tidak diindahkan. “Kalau seorang perempuan korban yappa maradda sudah masuk ke rumah adat keluarga lakilaki pelaku, dan si korban sudah disambut dengan ritual adat, urusannya menjadi sukar. Ada berbagai aturan adat yang masih dipegang teguh oleh masyarakat di sini,” ujarnya.
Kalau perempuan “diturunkan” dari rumah pelaku, kata dia, akan membuat keluarga besar pelaku merasa dipermalukan. Karena itu, pihak penegak hukum pun sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan. “Biasanya kalau perempuan kalau sudah di-yappa, dia akan dikasih masuk ke kamar dipersatukan dengan laki-laki yang mau ambil dia jadi istri. Kalau melawan maka akan diikat kaki tangannya. Ada yang langsung diperkosa oleh pelaku. Dorang bilang biar dia ‘jinak’ dulu. Dorang anggap perempuan itu seperti binatang betul,” ujarnya dengan nada kesal.
Mama Salomi menceritakan sebuah kasus yappa yang menimpa anak SD berumur 13 tahun pada tahun 2017. Anak perempuan ini berasal dari Desa Bolu Bokat, Kecamatan Umbu Ratu Nggay, Sumba Tengah. Karena ibunya sudah meninggal, ia tinggal di rumah tantenya. Setelah di-yappa, anak ini diperkosa oleh pelaku selama tiga hari. Mama Salomi mendapatkan laporan dari tantenya. Ia bersama Kepolisian Resort Waibakul datang mengambil anak ini. Sayangnya, karena dianggap tradisi, pelaku tak dijerat hukum apapun. Bagi Mama Salomi, tak ada yang terlalu sukar untuk diselesaikan. Ia percaya segala upaya baik akan memberi hasil baik pula.
“Tahun 2017 juga, saya pernah bantu kasus yappa maradda. Korbannya sarjana, pelakunya juga sarjana. Ini nona dorang sudah dikasih naik ke rumah. Sudah pukul gong. Karena nona dan orang tua tidak setuju, ada keluarga yang beri tahu saya. Kita koordinasi dengan aparat keamanan dan pemerintah. Akhirnya nona bisa pulang kembali ke orang tua,” cerita Mama Salomi, (Baca: Yang Menolak Tunduk Pada Tradisi)
Pada beberapa kasus yappa maradda yang ia selesaikan, ada surat pernyataan yang ditandatangani kedua belah pihak, disaksikan aparat keamanan. Isinya adalah tidak melanjutkan urusan adat dan perempuan dikembalikan kepada keluarganya. Mama Salomi sendiri merasa heran meski sudah begitu banyak kebijakan perlindungan perempuan dan anak, namun tetap saja yappa berulang. “Saya tidak tahu persis kenapa orang tetap nekad buat ini. Padahal, ada hukumnya bisa masuk penjara,” kata dia. Berlakunya UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan UU No. 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (serta perubahannya UU No 35 tahun 2014) dan sejumlah kebijakan lainnya tentang perlindungan perempuan dan anak, tidak menjamin kasus yappa ini berhenti. Hingga tahun 2018 masih ada beberapa peristiwa yappa maradda.
Menurut Mama Salomi, lebih dari 10 kasus yappa sudah ia tangani, di luar kasus KDRT yang dilaporkan resmi ke Foremba. “Sudah lebih dari 10 kasus yappa yang kami tangani. Kami gandeng pihak kepolisian. Ada juga kasus anak di bawah umur, masih SD. Ada juga yang aparat desanya kong kali kong, malah bela pelaku padahal perempuan korban itu warga desanya,” ujar Mama Salomi.
Bekerja sama dengan pihak kepolisian adalah jalan keluar bagi Mama Salomi yang harus menghadapi ancaman terutama ancaman fisik. Selain itu, rekan tim Foremba, suami dan anakanaknya kerap mengawal dia dalam menjalankan tugas. Jaringan keluarga yang luas juga memberinya rasa aman untuk bergerak.
Bergerak Bersama
Dalam menyelesaikan kasus-kasus perempuan dan anak, tidak jarang Mama Salomi harus menggunakan dana sendiri. Baginya ini adalah bagian dari cita-cita pribadinya agar semakin sedikit perempuan yang menjadi korban ketidakadilan. Mama Salomi optimis akan semakin banyak orang yang berdiri bersama para korban. “Banyak yang peduli sekarang. Ada pihak pemerintah, ada LSM, gereja, ada pribadi. Ya saya harap peduli bukan hanya jatuh hati tapi ada bukti misalnya kebijakan, kampanye bersama, sepakat bersama ada perubahan dalam tatanan adat kita,” kata perempuan yang sehari-hari bertani sayur ini.
Hal lain yang sedang diperjuangkan Mama Salomi adalah hak waris tanah bagi anak perempuan di Sumba Tengah. Dalam tradisi Sumba, seorang anak perempuan dianggap sebagai pihak yang “keluar” dari keluarga sehingga tidak mendapatkan warisan.***
Baku Atur dalam Yappa
Ruke Dedu, tokoh adat dan wunang (juru bicara) dari Desa Malinjak, Sumba Tengah mengatakan yappa tidak sembarang dilakukan. Harus ada hubungan kekerabatan antar keluarga laki-laki dan keluarga perempuan, yakni pihak perempuan dalam adat setempat merupakan pihak yang pantas untuk dinikahi. Misalnya ayah dari perempuan bersaudara atau memiliki hubungan keluarga dengan ibu dari keluarga laki-laki (pelaku). Istilahnya, anak om (paman) dari pelaku. Dalam adat Sumba secara umum, memperistri anak om adalah perkawinan yang diharapkan.
Reku menambahkan bahwa dalam tradisi di Sumba Tengah, yappa marada bisa dibagi dua. Pertama, orang tua kedua belah pihak sudah bersekongkol menikahkan anak-anak mereka. Namun rencana tersebut tidak diketahui anak perempuan dan sama sekali tidak berhubungan dengan si laki-laki. “Istilahnya orang tua kedua belah pihak sudah kong kali kong. Sama-sama tahu, jadi tinggal baku atur saja nanti kalau urusan adat meskipun ini anak nona tidak mau,” ujar Reku Dedu. Kedua, anak perempuan dan kedua orang tuanya tidak tahu tentang niat ini. Hanya keinginan sepihak dari keluarga laki-laki.
Jika korban sudah berada di rumah keluarga laki-laki, wunang diutus memberi tahu keluarga perempuan bahwa anak mereka telah dibawa ke kampung pihak laki-laki. Wunang biasanya membawa seekor kuda dan sebilah parang untuk diserahkan kepada orang tua perempuan. Kuda dan parang bermakna pemberitahuan bahwa anak perempuan ada di keluarga laki-laki yang akan dipinang menjadi istri. “Ini apabila proses yappa dilakukan di jalan, bukan di rumah korban,” terang Reku Dedu.
Namun jika yappa dilakukan di rumah perempuan, maka keluarga laki-laki akan mengikat seekor kuda di tiang rumah. Bila ada keluarga perempuan yang “mengejar” para pelaku yappa, maka mereka akan diberi sebilah parang oleh pihak lelaki. Jadi menurut Reku Dedu, perlu persiapan matang untuk yappa perempuan. Selain persiapan adat, pembagian tugas sudah dilakukan dengan matang: Siapa yang akan menangkap, memuat, kendaraan mobil atau kuda, kapan dilakukan, dan di mana? “Keluarga laki-laki harus siap baik-baik. Memang ada orang yang biasa dipakai untuk tukang yappa. Kalau keluarga perempuan kejar, dia sudah yang tugas menghadapi mereka,” terangnya.
Biasanya saat akan naik ke rumah adat keluarga laki-laki, perempuan akan diperciki dengan air. Tujuannya agar rumah tangga yang akan dibangun terberkati. Meskipun juga ada yang menafsirkan air tersebut mempunyai kekuatan magis agar si perempuan luluh dan mengiyakan seluruh keinginan keluarga laki-laki. “Kalau sudah pukul gong, tidak bisa kasih turun sudah. Satu kampung sudah kumpul, tikam babi. Makan dan minum sama-sama. Jadi dianggap sah sudah. Memang sekarang sudah ada yang dikasih turun kembali. Ada aparat yang bantu keluarga perempuan,” kata Reku Dedu.
Yang Menolak Tunduk Pada Tradisi
Chatty Hari Sabakodi (30 tahun ) lulus sarjana dari salah satu perguruan tinggi di Kupang, Ibukota Provinsi NTT. Dia bertugas sebagai pendamping kelompok Program Anggur Merah (Anggaran untuk Rakyat Menuju Sejahtera) di salah satu desa di Kabupaten Sumba Tengah. Program ini berupa bantuan tunai kepada setiap desa untuk pengembangan ekonomi produksi yang diluncurkan pada masa Gubernur Frans Lebu Raya memerintah. Ia tidak menduga sama sekali akan menjadi korban yappa maradda. “Kejadiannya tanggal 10 Januari 2017. Sebelum itu ada telepon dari desa, katanya akan ada pemeriksaan dari inspektorat. Mereka mau periksa keuangan di Koperasi Anggur Merah. Jadi saya ke desa tanpa curiga sama sekali,” kenang Chatty.
Seperti biasa Chatty naik sepeda motor.Di jalan ia berpapasan dengan kepala desa. Dalam hati dia membatin, kenapa kepala desa malah pergi keluar? Bukankah ada pemeriksaan dari inspektorat? “Beliau bilang ada keperluan di kantor kecamatan,” ujar Chatty. Karena itu Chatty langsung mengarahkan motornya ke rumah bendahara desa. Belakangan baru Chatty tahu bahwa sang kepala desa menghindar karena tidak mau peristiwa yappa terjadi di rumahnya. Sementara bendahara desa, kata Chatty, tidak tahu sama sekali tentang rencana jahat itu.
Di rumah bendahara sudah hadir seorang staf dari inspektorat. Ia memakai seragam dinas. Mereka berdiskusi. Chatty melaporkan detail pengeluaran keuangan serta bukti print dari buku rekening. Hanya saja dirinya agak curiga, staf inspektorat hanya mencatat di atas selembar kertas. Biasanya mereka mencatat di atas kertas dengan format standar. “Setelah pemeriksaan, staf inspektorat tanya-tanya sama saya. Dia tanya asal saya dari mana, jadi saya bilang dari Malinjak. Saya juga heran, padahal kami sudah saling kenal, kenapa tanya asal-usul segala? Lalu di akhir obrolan, dia bilang ‘wah berarti ini ana loka (anak om)’. Saya diamkan saja. Saya hanya ambil foto kegiatan dan share ke group pendamping Anggur Merah. Ada kawan yang tanya, kenapa pemeriksaan hanya di desa saya saja?” ujar perempuan muda ini.
Selesai pemeriksaan, staf inspektorat mengajaknya ke kantor desa untuk menandatangani dokumen hasil pemeriksaan. Namun karena membawa sepeda motor, Chatty memutuskan untuk naik motor saja. Saat akan menghidupkan motor itulah, tiba-tiba sekelompok laki-laki meringkus dan membawanya masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan. Helm masih di kepalanya. “Ada lima laki-laki yang tangkap saya. Mereka pegang saya punya kaki, tangan dan kepala, lalu mereka muat dengan paksa ke mobil. Saya menangis berteriak dan meronta. Saya langsung sadar, ‘oh ini sudah yang namanya yappa’. Tidak lama kemudian, kami sudah tiba di Kampung Anajiaka. Orang sudah banyak yang berkumpul,” cerita Chatty.
Chatty diturunkan dari mobil. Helmnya dibuka. Dia sempat memberontak dan menggigit tangan seorang laki-laki yang menahannya. Ia menusukkan kunci motornya ke dahi laki-laki yang lain sampai berdarah. Ia ditarik masuk ke pintu rumah adat keluarga besar pelaku yappa. Beberapa orang sudah menanti dan memercikkan air ke dahinya. Chatty menghindar. “Saya ingat orangtua dulu cerita, kalau kena air itu, kita hilang kesadaran dan bisa mengatakan iya atau setuju dengan keinginan keluarga yang yappa. Katanya ada obat (magic) dalam air. Untung tidak kena di testa (dahi) saya,” kisah Chatty yang ketika peristiwa itu terjadi, dua hari lagi akan dipinang kekasihnya.
Chatty menangis sejadinya. Ia marah dan berteriak dari atas rumah adat keluarga besar laki-laki itu. Dia ingat bahwa lelaki pelaku yappa adalah sepupu dari staf inspektorat tadi. Lelaki itu adalah mantan pacarnya saat masih SMA hingga tahun pertama mereka kuliah di Kupang. “Kami dulu pacaran memang, tapi sudah putus. Sekitar 8 tahun lalu. Dari segi adat, dia pantas untuk ‘ambil’ saya jadi istri karena dia anak tante saya. Tapi, saya tidak suka dengan caranya dia. Kenapa tidak omong baik-baik? Dia juga orang mengerti. Lulus sarjana juga,” kata Chatty.
Beruntung, Chatty sempat mengirim pesan pendek (sms) kepada orang tua dan tunangannya sebelum hp-nya disita. Ia bilang kepada mereka, sudah terkena yappa, minta dibebaskan. “Saya bilang, bagaimana pun caranya tolong bebaskan saya. Saya tidak mau diperistri dengan cara yappa. Apalagi saya tidak cinta sama itu laki-laki,” ujarnya. Pesan yang sama ia kirim juga ke Dinas Pemberdayaan Perempuan Kabupaten Sumba Tengah, dengan maksud agar mereka turun tangan menyelamatkannya. Namun, dinas tidak merespons sama sekali sampai dia bebas.
Keluarga pelaku sudah mengirim wunang untuk menemui orang tua kandung Chatty. Sesuai adat setempat, mereka membawa kuda. Tapi, kedua orang tua Chatty tidak menerima. Artinya mereka menolak keinginan keluarga laki-laki. Keluarga besar pelaku mulai melancarkan rayuan. Chatty dinasehati agar mau menerima “lamaran” yappa ini. Bagaimana pun, kata para perayu, mereka masih keluarga dekat. Chatty menolak dengan tegas. Selama dua setengah hari, Chatty menolak makanan dan minuman yang disajikan oleh keluarga besar di kampung Anajiaka.
Di halaman rumah telah menyeruak keramaian layaknya pesta perkawinan besar. Gong dan tambur ditabuh kencang. Babi-babi disembelih untuk menjamu kerabat dan warga yang berkumpul. Ratusan orang berbincang ramai. Chatty kalap. Ia kembali berteriak-teriak minta dibebaskan. Akhirnya, di batas kesabarannya ia menyakiti dirinya. Ia mencabuti rambutnya. Menikamkan kunci motor ke tubuhnya. Kepalanya ia benturkan ke tiang rumah sampai benjol besar. “Pilihan saya adalah bebas atau saya mati. Itu saja!” cetus Chatty. Ia bersikukuh menolak!
Pada hari ketiga, ada tradisi purung tana. Artinya Chatty dianggap telah sah menjadi bagian dari keluarga besar lelaki itu. Urusan adat bisa dilanjutkan dan ia boleh keluar dari rumah meskipun masih dikawal ketat. Kampung Anajiaka masih riuh dengan gong dan tambur, dan babi-babi terus disembelih. Pesta belum usai. “Waktu itu ada ibadah, yang pimpin Ibu Pendeta Fin Fanggidae. Saya heran kenapa gereja seperti setuju. Tapi, Ibu pendeta bicara empat mata dengan saya. Dia minta maaf. Dia bilang awalnya dia menolak pimpin ibadah karena tidak setuju dengan adat ini. Namun tidak ada aturan yang melarangnya, dan ini merupakan wilayah pelayannya. Ibu pendeta janji akan bicarakan ini dengan pemerintah agar ada peraturan desa (yang melarang yappa),” kata Chatty.
Di sisi lain kasus Chatty di-yappa menjadi trending topic di media sosial. Pro dan kontra terjadi. Pihak yang pro dengan tradisi ini mengobrak-abrik kehidupan pribadi Chatty. Pada hari ketiga, Chatty bertemu langsung dengan si pelaku. Chatty marah dengan tindakannya. Kata Chatty, pelaku hanya bilang, “mau bagaimana lagi, kalau omong baik-baik kau tidak mau.” Padahal, kata Chatty, pelaku dan dirinya tidak pernah lagi berbicara tentang hubungan mereka sejak putus dahulu. Atas persetujuan orang tuanya, keluarga Chatty melaporkan kasus ini ke Mama Salomi, Foremba. “Om pergi lapor ke Foremba. Terus Mama, Bapa sama-sama dengan Mama Salomi pergi lapor ke polisi. Waktu itu Kepala Desa Wailawa, Pak Alex juga bantu kami untuk negosiasi dengan keluarga Anajiaka,” jelas Chatty.
Pada hari ketiga keluarga Chatty mengirimkan utusan ke Anajiaka untuk menyampaikan bahwa mereka tidak setuju dengan yappa. Keluarga Chatty menyampaikan bahwa Chatty mengancam akan bunuh diri kalau keluarga menyetujui dia diperistri oleh pelaku. Keluarga tidak mau mengorbankan Chatty.
Selama lima hari di Kampung Anajiaka, Chatty dijaga ketat. Untunglah dia boleh menerima kunjungan dari kawan kerja, kawan SMA dan keluarga. Malam hari delapan orang lelaki menjaganya. Bahkan hingga ke kamar kecil, ia dikawal. Pada malam keenam, orang tua Chatty, pihak kepolisian, Foremba dan keluarga besarnya datang ke Kampung Anajiaka untuk menjemput anak mereka. Chatty diminta untuk menyampaikan isi hatinya apakah dia mau atau tidak. Chatty dengan tegas menyatakan tidak mau diperistri oleh pelaku. Dirinya mau pulang ke rumah orang tuanya. Malam itu juga Chatty pulang bersama keluarganya, meskipun keluarga pelaku minta untuk menunda kepulangannya esok hari, karena sudah malam.
Pasca peristiwa itu, Chatty masih bertemu dan menyapa staf inspektorat yang “menjebak”nya di atas tapi tidak direspons. Ketika bertemu keluarga pelaku, Chatty tetap menyapa mereka dengan sopan. “Saya rasa bagaimana e…, kami kan masih berkeluarga. Jadi saya tetap bangun hubungan baik. Mungkin mereka juga korban dari sistem sosial yang ada. Apa yang menimpa saya ini terjadi juga pada perempuan lain, hanya saja mereka tak berdaya untuk menolak,” ujar Chatty.
Sekembalinya ke rumah, orang tua Chatty bersama keluarga besar menyelenggarakan syukuran atau dalam tradisi Sumba disebut balingu hamaghu (harafiah: mengembalikan jiwa yang hilang). Peristiwa itu dianggap sebuah malapetaka dan Chatty lolos dari sana.
Pada tahun yang sama ketika Chatty di-yappa, ada dua perempuan lain yang ditimpa kasus serupa. Keduanya juga lolos. Mereka menolak tunduk pada tradisi ini. Chatty kini sudah menikah dengan tunangannya. Mereka tinggal Sumba Barat Daya. Seorang anak telah menyempurnakan kebahagiaan mereka.
Penulis, dari Komunitas Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba, dan tinggal di Waingapu Sumba Timur. Salah satu tulisan dari Buku Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba, Era 1965-1998.