Radikalisme dan Homeschooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan

JAKARTA,PGI.OR.ID-Lemahnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan homeschooling (HS) atau sekolah rumah di sejumlah daerah berdampak pada kerentanan HS terhadap infiltrasi ideologi keagamaan yang bersifat radikal.

Kerentanan ini bertambah tinggi apabila HS memiliki tingkat keterlibatan yang rendah dengan komunitas serta tidak mengajarkan pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, upacara bendera, simbol-simbol negara dan lagu-lagu nasional, menurut Dr. Arief Subhan (koordinator peneliti) dalam acara peluncuran hasil penelitian “Radikalisme dan Homeschooling: Menakar Ketahanan dan Kerentanan”, berlangsung di Hotel Sari Pasific, Jakarta, Kamis (28/11).

Penelitian ini, kerja sama Convey Indonesia dengan PPIM-UIN Jakarta, mengambil data melalui wawancara dan observasi dari 56 HS yang tersebar di 6 (enam) kota/kabupaten yang berada di 6 (enam) Provinsi, yakni: (1) Jabodetabek, (2) Bandung, (3) Solo, (4) Surabaya, (5) Makassar dan (6) Padang.

Berkembangnya HS di sejumlah daerah yang diikuti rendahnya perhatian Pemerindah Daerah (Pemda) serta potensi infiltrasi ideologi keagamaan yang radikal menjadi latar belakang dari penelitian tersebut. Sejumlah HS di Surabaya, Makassar, Bandung, Padang dan Jabodetabek ditemukan terpapar ideologi keagamaan radikal, sebagaimana tampak pada penolakan memberi ucapan selamat hari besar agama lain, pembatasan interaksi sosial, mencita-citakan pemurnian melalui penerapan hukum agama dalam bingkai negara agama. HS seperti ini umumnya memiliki tingkat interaksi sosial yang rendah dan tidak terdaftar di pemerintah.

Hal ini menurut Dr. Subi Sudarto, salah satu pembicara dari kemendikbud, berperan dalam mempersulit pemerintah untuk melakukan pengawasan. Namun dari pembacaan Rita Pranawati, pembicara dari KPAI, hal tersebut justru memperlihatkan ketidakhadiran negara dalam kegiatan belajar anak. Kondisi ini masih ditambah dengan belum adanya pedoman dan petunjuk pengelolaan HS sebagai turunan dari Permendikbud No. 129 Tahun 2014 tentang, sebagaimana terlihat dalam analisis Tim Peneliti PPIM-UIN Jakarta.

Selain HS yang eksklusif, penelitian ini juga menemukan adanya HS inklusif dalam jumlah yang besar. HS seperti ini umumnya membuka diri pada keragaman dan memasukan materi kurikulum nasional ke dalam kegiatan belajar-mengajar.

Bertolak dari data yang ada, Tim Peneliti mengusulkan agar pemerintah: (1) membuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan Permendikbud No. 129/2014, (2) perbaikan mekanisme pendaftaran HS dengan menggunakan one-single online submission oleh Dinas pendidikan Kabupaten/Kota, (3) Dinas Pendidikan Kota/kabupaten perlu melakukan monitoring dan evaluasi terhadap HS, (4) dibutuhkan penjaminan mutu pelaksanaan Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan dan (5) mewajibkan siswa-siswa HS bersosialisasi dan berinteraksi dengan kelompok yang memiliki beragam latar belakang untuk menyemai nilai toleransi dan kebangsaan.

 

Pewarta: Beril Huliselan