WAINGAPU, PGI.OR.ID-Kehadiran Menteri Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan membuat suasana hari kedua SR XVII PGI meriah. Luhut memberikan materi tentang Situasi Negara Saat ini dan Peran Gereja.
Di awal, Luhut menyampaikan secara umum kondisi ekonomi Indonesia yang terus berjalan di rel yang benar meski ancaman perang ekonomi Amerika dan Cina serta perubahan global lainnya terjadi. Perubahan ekonomi yang terjadi harus diantisipasi dengan teknologi yang berkembang saat ini. Jika tidak bisa menyikapinya, kata Luhut, kita akan tergilas.
“Ada tiga hal yang disampaikan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, yaitu pengembangan SDM lewat pendidikan dan peningkatan kesehatan, kedua peningkatan infrastruktur dan ketiga, reformasi dan perizinan birokrasi. Untuk pengembangan SDM kita perlu mendorong anak-anak Indonesia untuk sekolah. Kita akan salah yang tua-tua ini, jika tidak memberikan kesempatan bagi anak-anak kita untuk sekolah, misalkan untuk anak-anak Papua dan Maluku. Di samping itu untuk para Pendeta agar memperbaiki dirinya, jangan cuma kotbah panjang-panjang tapi tidak tahu teknologi. Karena jemaat saat ini banyak yang muda-muda yang paham sekali dengan teknologi,”kata Luhut.
Luhut juga menambahkan, peningkatan SDM bukan hanya bergantung pemerintah tapi juga pihak gereja sehingga banyak orang-orang Indonesia yang bisa menguasai teknologi.
“Di pertengahan tahun 1980an kita berhasil menarik investasi asing melalui proses perbaikan iklim investasi besaran-besaran. Prosedur izin investasi dipotong, sementara regulasi yang bersifat restriktif terutama untuk investor asing dicabut atau dipermudah. Perubahan juga dilakukan terhadap rezim perdagangan yang proteksionis untuk meningkatkan daya dan mendorong ekspor, melakukan transisi kebijakan dari import-substituting ke export-promoting. Sehingga menghadapi perdagangan ini harus diantisipasi. Orang-orang harus siap menerima. China adalah contoh negara yang siap padahal mereka tidak beragama tapi penduduknya sejahtera. Sementara kita yang beragama, berantem saja dan akhirnya perekonomian kita jauh tertinggal. Jika seperti ini, di mana Allah itu? Orang China yang komunis bisa sejahtera semantara orang yang beragama justru tidak sejahtera?” ujarnya.
Luhut kemudian menyampaikan, persoalan ini bisa diatasi kalau kita bersatu. “Gereja juga punya peran untuk bisa melakukan dan menyampaikan ada jemaatnya untuk bersatu. Meningkatkan kemampuan, ikut dalam pelatihan dan pendidikan sehingga kualitas SDM kita meningkat,”ujarnya.
Kemajuan industri dan lainnya menuntut kita untuk beradaptasi dengan teknologi sehingga semua bisa kita lakukan. “Seusia saya yang 70 tahun ini, saya hanya melakukan semua ini untuk kemuliaan Tuhan seperti dalam 1 Korintus 10 ayat 31, lakukanlah semuanya untuk kemuliaan Allah,” menutup materinya.
Sementara itu panelis dari Muhamadiyah, Prof. Abdul Mu’ti yang adalah Sekjen PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa kerjasama lintas agama menjadi kunci utama membangun masa depan. “Ini harus menjadi komitmen. Sebab itu penting adanya kedekatan antara tokoh agama dan jemaat untuk membangun karakter yang berakhlak mulia. Memang ada wilayah yang berbeda, namun ada hal-hal yang bisa dikerjakan bersama-sama. Yang penting kita harus punya arah dan visi yang sama,”katanya.
Menjawab pertanyaan peserta terkait toleransi dan kebebasan beragama, Mu’ti menegaskan memang banyak hal yang belum tercapai. Namun hal itu harus menjadi perjuangan bersama dengan terus dikembangkan relasi antar kelompok moderat guna melakukan inkulturasi sosial. “Toleransi yang sekarang ini terjadi adalah teloransi formal. Padahal yang kita butuhkan adalah toleransi otentik. Mengutip Pendeta Yewangoe kita harus mengedepankan culture of hospitality. Toleransi tidak cukup tapi perlu pula inkulturasi sosial,” katanya.
Mantan Ketua Umum PGI, Andreas A. Yewangoe yang juga memberikan materi menyampaikan dalam rangka solidaritas gereja menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa ini, guna memperkokoh NKRI. “Cara memperkokohnya ialah dengan mewujudkan masyarakat demokrasi yang adil dan sejahtera. Semua itu adalah perwujudan nilai-nilai Pancasila yang memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kristiani,”katanya.
Berbagai upaya sudah dilakukan guna mewujudkan keadilan sosial, namun belum cukup. Kata Yewangoe, kita membutuhkan upaya lebih. “Pidato pelantikan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, sangat optimis. Ia menekankan perjalanan Indonesia menuju 2045, pada saat mana Indonesia mencapai usia 100 tahun, atau Indonesia emas. Apakah kita mencapai era emas itu sangat tergantung dari sikap kita pada masa kini. Sikap tegas terhadap berbagai sikap radikal dan intoleransi di dalam masyarakat harus sungguh-sungguh terlihat dalam tindakan-tindakan pemerintah,” tandasnya.
Dr. Adriana Elizabeth, yang adalah Ketua Jaringan Damai Papua menyampaikan bahwa dinamika global, seperti ketimpangan ekonomi, kesenjangan, HAM, dan praktik demokrasi, mempengaruhi kehidupan Indonesia. Juga kemajuan teknologi, dan ekstrimisme.
Panelis terakhir, yaitu Bupati Sumba Timur, Gideon Mbiliyora menjelaskan bahwa yang utama bagaimana menghadirkan sorga di dunia ini. “Kami hidup di Sumba Timur ini berdampingan termasuk dengan yang lainnya. Kami mensiapkan program inisiatif masyarakat setempat dengan menyerahkan program lintas agama, kami siapkan dana dan umat yang berupaya menyelenggarakan kegiatan. Lembaga agama dan pemerintah adalah mitra, karena subyek yang kita layani sama, yaitu masyarkat dan umat yang dikelola oleh lembaga agama dan tetap ada evaluasi. Soal keberagaman, saya mendukung inisiasi pemuda Gereja GKS Payeti lewat pertandingan sepakbola antar umat beragama dan ini sudah berlangsung selama 19 tahun. Contoh-contoh seperti ini terlihat kecil tapi sangat berpengaruh. Contoh lainya dalam keberagaman dan toleransi di Sumba Timur ini adalah saat pembangunan rumah ibadah umat lain ikut membantu,”ucap Bupati.
Pewarta: im media PGI