WAIKABULA,PGI.OR.ID-Maraknya atribut keagamaan di beberapa daerah dan diskriminasi terhadap kaum minoritas yang terjadi, salah satunya disebabkan karena banyak warga negara yang tidak mengerti hak-haknya sebagai warga negara. Hak-hak warga negara, antara lain tidak boleh memaksakan kehendak, termasuk dalam penggunaan atribut agama tertentu.
“Jadi kita harus berani mengingatkan, jangan pernah diam. Diamnya orang baik adalah petaka bagi bangsa ini. Tapi kita tetap melakukannya dengan cara santun. Kita harus berani melawan yang mencoba menyerang Pancasila, NKRI dan Bhineka Tuggal Ika untuk mendatangkan keadilan bagi semua,”kata Prof. Dr. Musda Mulia, di diskusi sesi 4 PRPrG, di GKS Jemaat Mata, Senin (4/11).
Musda juga menegaskan dalam materinya bahwa peran perempuan dalam demokrasi sangat kental. Bahkan Civil society yang terbentuk salah satunya kaum perempuan ada di dalamnya. Namun faktanya, tidak ada civil society tanpa keikutsertaan perempuan.
Demikian pula, tidak ada demokrasi tanpa keterlibatan perempuan di dalamnya. “Akan tetapi, tidak banyak perempuan tertarik pada politik. Dan realitas ini merupakan dampak dari kuatnya budaya patriakhi, serta pengkondisian secara turun-temurun yang menempatkan laki-laki dalam ruang publik dan perempuan dalam ruang domestik. Dunia politik selalu digambarkan dengan karakter maskulin: keras (tough), rasional, kompetitif, tegas, yang serba “kotor” dan menakutkan sehingga hanya pantas buat laki-laki.
“Tapi sebaliknya, masyarakat mempolakan perempuan dalam peran-peran sebagai istri, ibu dan pengurus rumah tangga dengan karakter feminin; lemah lembut, emosional, penurut dan sebagainya. Hal itu meyakinkan bahwa tugas domestik merupakan satu-satunya tempat yang cocok bagi perempuan. Akibatnya, tidak banyak perempuan berminat atau tertarik memasuki dunia politik, khususnya pada posisi pimpinan, penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang memerlukan ketegasan dan sikap rasional,” ujarnya.
Ia berharap ke depan ada beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain pertama yaitu meningkatkan pemahaman dan kesadaran politik kaum perempuan sehingga semakin bertambah minat mereka untuk membangun demokrasi di negeri ini. Kedua, meyakinkan parpol bahwa peran serta perempuan dalam pengambilan kebijakan publik sangat penting sehingga perlu peningkatan rekruitmen calon perempuan yang berkualitas dan selanjutnya menempatkan mereka dalam daftar calon tetap parpol.
“Lalu terakhir kita harus bisa meyakinkan masyarakat, termasuk media masa, agar mendukung keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif khususnya di lembaga legislatif daerah. Perjuangan untuk memenuhi kuota ini memang bukan perkara mudah, terutama jika menyadari bahwa budaya patriarki sudah sedemikian merasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
Sementara itu Pdt. Albertus Patty, Ketua PGI dalam materinya menyampaikan, demokrasi membuka ruang bagi siapa pun mewujudkan keadilan dan perdamaian yang didalamnya prinsip demokrasi menuntut kaum perempuan harus berpikir dan bertindak ‘beyond women.’ Ia menambahkan, tantangan saat bagi kaum perempuan (dan laki-laki) adalah mencapai sukses personally dan professionally.
“Kaum perempuan pun harus berkontribusi melawan radikalisme, diskriminasi terhadap kaum minoritas, eksploitasi buruh, perbudakan, korupsi dan eksploitasi alam,” katanya.
Patty menambahkan, Gereja harus serius menggumuli berbagai persoalan, terutama menjaga demokrasi. “Jangan haramkan politik! Sebaliknya, berdayakan warganya, termasuk perempuan, untuk berpartisipasi dalam politik atau apa pun. Juga kita harus melawan diskriminasi, termasuk terhadap kaum perempuan, demi keadilan, kesetaraan dan perdamaian di bumi ini,” tambahnya.
Puansari Siregar dari Institut Leimena juga menjelaskan, ada lima hal yag bisa dilakukan bagi perempuan untuk bisa memperkuat dan berperan dalam demokrasi, yaitu Penguatan Pancasila, penegakan hukum, membangun partisipasi rakyat, pembudayaan nilai demokrasi dan penguatan modal sosial. “Khusus di poin ke lima ini ada beberapa hal praktis yang bisa dilakukan, yaitu tolerasnsi aktif baik Kristen dan non Kristen, lalu peduli dan menjaga sesama dan saling percaya dan warga berjeraing untuk mengatasi masalah bersama,”ujarnya.
Pewarta: tim media PGI