WAITABULA, PGI.OR.ID-Kondisi perempuan saat ini di Indonesia tidak banyak berperan, khususnya yang masuk dalam pemerintahan. Alasan kurang berperannya perempuan karena sistem kenegaraan dan budaya serta mental perempuan itu sendiri, demikian sesi pertama diskusi dalam Pertemuan Raya Perempuan Gereja (PRPrG) di GKS Jemaat Mata, Sabtu (2/11).
Kondisi itu menurut Grace Natalie sebagai narasumber yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dikarenakan sistem negara kita yang desentralisasi di mana semua level mempunyai peraturan sendiri, satu sisi bagus namun sisi negatifnya jika kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, maka lahirlah peraturan-peraturan yang sangat diskriminatif. “Ïtulah sebabnya kita membutuhkan orang-orang yang mau merawat Indonesia termasuk perempuan dan terlibat di ruang publik di setiap sektor. Nah persoalannya, perempuan yang ada di sektor publik pasti diserang masalah sensualitas dan keperempuanannya,”katanya.
Sebab itu, kata Grace, perjuangan perempuan semakin tidak mudah ketika ia harus berhadapan dengan sistem yang ada. ”Jika kita menginginkan perubahan maka kita harus masuk ke dalam sistem, masuk dalam sektor publik. Berjuang dari dalam untuk mengusahakan keadilan dan kesejahteraan,”tandasnya.
Pendapat lainya disampaikan oleh Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI. Menurutnya peran perempuan sebenarnya sama dengan laki-laki, sebab itu kesetaraan harus direbut dan tidak bisa diminta karena laki-laki cenderung mempertahankan status quo dengan berbagai macam cara ia akan mempertahankan kekuasaannya.
Gomar juga menambahkan, dikaitkan dengan tema Sidang Raya PGI ke XVII, yaitu Aku Adalah Yang Awal dan Akhir (Wahyu 22:12-13) memiliki tiga makna, yakni simbol kelengkapan dan kesempurnaan. Kedua, kekekalan yang merangkum seluruh waktu dalam diriNya dan ketiga soal otoritas.
“Memaknai tiga hal tersebut dalam kondisi sekarang ini yang sedang dialami bangsa Indonesia, seperti krisis kebangsaan, semisal dehumanisasi yang secara khusus dialami oleh perempuan yang mendapat kesulitan hanya karena keperempuanannya. Juga soal krisis ekologi, krisis keesaan dan tantangan budaya digital. Sangat miris karena di satu sisi kita disodori fakta manusia sedang mendehumanisasi manusia lainnya namun di belahan dunia lain, ada yang sedang memanusiakan robot,”katanya.
Terkait persoalan tersebut, Gomar mengingatkan bahwa gereja menghadapi tugas kekinian, bagaimana mengupayakan dunia yang ramah dan aman untuk didiami bersama namun juga tidak boleh melupakan bahwa gerejapun sedang dalam perjalanan menuju akhir zaman.
Sementara dari perspektif perempuan Sumba menurut Pdt. DR. Asnath Natar, sulitnya perempuan menduduki peran strategis dikarenakan adanya budaya patriaki, gaya kepemimpian yang dipraktikan adalah gaya maskulin, tegas, cepat dan efisien mengacu pada tujuan dan kurang memperhatikan aspek hubungan antar pribadi.
“Persoalannya dalam diri perempuan sendiri, jika perempuan itu memiliki kompetensi tapi tidak didukung malah berusaha diturunkan. Jika ini yang terjadi maka solusinya harus ada penyadaran gender bagi perempuan. Dan mendukung siapapun yang memiliki kemampuan dan jangan dihambat, tapi berdayakan perempuan yang lain,”tandasnya.
Pewarta: tim media PGI