WAIKABUBAK,PGI.OR.ID-Letaknya tak jauh dari pusat kota Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), kampung adat Prai Ijing adalah salah satu destinasi wisata jika berkunjung ke Sumba Barat. Menuju ke lokasi itu bisa menggunakan kendaraan cateran yang mudah ditemui di Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya.
Berkunjung ke kampung adat itu maka pengunjung harus menanjak untuk masuk ke kampung tersebut. Karena jalannya yag sudah mulus, tanjakan itu tak terasa berat. Setelah itu akan ditemui berderet sebelah kiri dan kanan rumah-rumah adat khas yang beratap jerami dengan panjang atapnya berbentuk limas dan di ujungnya terdapat dua tiang besi atau kayu.
Rumah adat kampung Prai Ijing terdiri dari tiga bagian, yaitu dasar tempat memelihara hewan, bagian tengah untuk tempat tinggal penghuni dan bagian atas tempat menyimpan bahan makanan. Tiga bagian itu menurut Marthen Regowino Bira, Kepala Desa Tebara yang adalah juga warga Prai Ijing mempunyai filosofi tersendiri.
“Kenapa disebut Prai Ijing? Nama itu berasal kata Prai berarti kampung dan Ijing berarti buah kedondong hutan. Nama kampung itu dinamai karena memang banyak pohon kedondong hutan. Dan diperkirakan berusia lebih dari 180 tahun lebih,”katanya Marthen yang juga berasal dari kampung Prai Ijing itu.
“Dari mana kita tahu sejarah nama itu? Kebiasaan orang Sumba nama cucu selalu diambil dari nama nenek atau kakeknya dan itu masih berlangsung hingga sekarang, Jadi jika diurutkan, nama-nama anak-anak ini berasal dari nenek moyang mereka di Prai Ijing ini,”ungkapnya.
Soal filosofi rumah adat di Sumba seperti rumah adat di Prai Ijing ini mempunyai filosofi sederhana namun dalam filosofi itu, kata Marthen yang lulusan Sastra Inggris Universitas Sanata Darma, adalah tiga tingkat itu menggambarkan tiga hal pula, yaitu bagian bawah untuk menyatu kepada alam. Bagian tengah sebagai tempat penyucian karena merupakan ruang interaksi antar keluarga dan bagian atas dengan dua tiang sebelah kirim melambangkan perempuan dan kanan melambangkan laki-laki sebagai bentuk penyembahan kepada Tuhan.
Lalu, Marthen menambahkan, di setiap depan rumah adat Sumba terdapat batu kubur. Apa artinya? “Batu kubur dan rumah adat itu sesungguhnya mengingatkan manusia tentang proses kelahiran dan kematian. Bahwa kehadiran mereka di dunia ini adalah tempat persinggahan sementara, maka bagaimana mereka mengisinya. Inilah yang disebut Ma Rapu,”ucap Marthen.
Sebenarnya orang Sumba tidak punya agama spesifik. “Kita tahunya adalah Ma rapu agama lokal, tapi sebenarnya adalah adat dari filosofi rumah adat Sumba tadi. Rumah dan batu kubur itulah yang mengingatkan orang Sumba bahwa hidup di dunia ini sementara dan mereka harus berbuat baik sehingga nantinya mereka akan ditempatkan di tempat yang layak,”ujarnya.
Marthen yang telah menjabat sebagai kepala desa selama dua periode ini amat konsern terhadap perkembangan warga di Prai Ijing. “Kami menyebutnya Living Culture. Apa itu? Living Culture adalah kegiatan hidup dan budaya masyarakat di kampung ini tetap dilakukan, seperti kebiasaan-kebiasaan membuat kain tenun Sumba, membuat keranjang dari jerami dan tikar serta lainnya. Jadi jangan salah jika datang ke kampung ini, ada kain-kain yang dipajang atau tas-tas keranjang atau juga tikar yang memang dijual bagi para pengunjung. Pemahaman inilah yang kami kembangkan terus hingga kini,”ungkapnya.
Jadi, kata Marthen lagi, budaya Living Culture itu memang sengaja dilakukan dan terus dilakukan bukan karena ada wisatawan yang berkunjung ke kampung itu tapi memang arena budaya mereka yang tetap dipertahankan.
Kondisi jalan atau infrastrutur yang baik bukan menjadi kendala bagi warga kampung untuk menerima teknologi dan arus modernisasi. “Warga kampung ini awalnya hanya bertani, berkebun dan berternak. Namun setelah mereka tahu dan paham dengan jalan-jalan yang dibangun dan kemudian mereka dilatih untuk bisa mengembangkan ekonomi dengan aneka kerajinan dan adat mereka, akhirnya mereka bisa menikmati hasilnya dengan kunjungan wisatawan,”terang Marthen.
Ia pernah juga menasehati warga yang meminta uang terhadap pengunjung yang datang. “Kebiasaan itu tidak baik bahkan bisa menjauhkan wisatawan. Maka kami membuat karcis masuk sehingga hasil per bulan juga bisa dinikmati warga kampung itu,” katanya lagi.
Mengapa kami, kata Marthen lagi, mengembangkan kampung ini karena jika tidak dikembangkan mereka tidak bertahan. “Sehingga ketika dikembangkan meraka bisa hidup dan bersyukur dengan apa yang telah Tuhan berikan. Tanpa menafikan Tuhanlah yang menyediakan semua seperti rumah adat dan segala isinya,” tandasnya.
Rumah adat di Prai Ijing sebenarnya menurut Marthen ada 46. “Tapi yang berdiri sekarang tinggal 36 rumah karena terbakar pada tahun 2016 lalu. Dan kami berusaha mengembalikan itu. Rumah-rumah di sini mempunyai nama. Mereka punya kabisu atau klan dengan tata cara adat istiadat berdasarkan kesepakatan kabisu,” ujarnya sambil menunjukkan rumah yang di tengah-tengah tempat kakeknya dulu tinggal.
Marthen bertekad akan terus menolong memberdayakan warga Prai Ijing sekaligus melestarikan budaya kampung itu. Tekad itu ia syukuri karena kampung Prai Ijing yang adalah bagian dari Desa Tebara masuk dalam Nominasi Kategori 10 besar Lomba Desa Wisata Nusantara tahun 2019.
Desa Tebara mewakili Kecamatan Kota Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat dan Provinsi NTT, untuk bersaing dengan 9 desa lainnya di seluruh Indonesia untuk menjadi yang terbaik. “Semoga berhasil dan menang,”harapnya mengakhiri perbincangan.
Pewarta : tim media PGI