PGI – Jakarta. Pertemuan Raya Pemuda Gereja (PRPG) adalah sebuah wahana bagi perjumpaan kaum muda gereja di Indonesia dalam merayakan gerakan oikoumene. Dalam perayaan tersebut terkandung muatan persekutuan oikoumenis, sebagai ajang pemuda berbagi pengalaman, pengetahuan, pergumulan dan keyakinannya dalam kehidupan di gereja, masyarakat dan bangsa. Karena itu sebagai wadah dalam merayakan gerakan oikoumene maka sudah seharusnya wujud persatuan dalam tubuh Kristus akan terjadi dalam perjumpaan yang bersejarah bagi kaum muda mulai dari Sabang sampai Merauke.
Pertemuan ini dalam terang tema Tuhan Mengangkat Kita Dari Samudera Raya (Mazmur 71:20b), dengan refleksi berpusat pada pengalaman masyarakat Nias dalam menghadapi bencana alam tsunami dan gempa bumi. Umat Kristen di Indonesia diundang untuk secara jeli melihat pengalaman Nias atau pengalaman warga gereja lainnya sebagai kesatuan iman dalam melangkah memasuki kalender gerejawi atau tahapan baru pergumulan gereja-gereja tahun 2014-2019.
Terkait penetapan tema tersebut atas pertimbangan-pertimbangannya antara lain diuraikan dalam uraian tema. Salah satu pertimbangan penting adalah lokasi, yang di dalamnya SR diselenggarakan. Nias, dalam tahun 2006 dan 2007 dilanda tsunami dan gempa bumi besar. Akibat malapetaka alam ini sungguh hebat. Bukan saja kerusakan-kerusakan fisik diderita, melainkan juga mental-spiritual. Orang sepertinya kehilangan harapan. Menyaksikan kota Gunungsitoli yang ambruk, orang lalu berpikir, apakah masih mungkin kota ini dibangun kembali. Bahkan beredarlah secara luas desas-desus pada waktu itu, Nias akan tenggelam. Kendati desas-desus ini tidak berdasar sama sekali, namun tetap saja menuai kepanikan. Lalu orang berduyun-duyun hendak keluar dari Nias.
Untunglah bahwa orang tidak hanya tenggelam dalam situasi kehilangan harapan tersebut. Nias dibangun kembali. Nias menggeliat. Nias hidup kembali. Pembangunan fisik terjadi di mana-mana. Sarana-sarana jalan misalnya, yang sebelum malapetaka alam tersebut buruk, sekarang sudah baik. Berbagai sarana fisik lainnya dibangun berkat kerja keras BRR dan masyarakat Nias. Maka tidak aneh juga apabila orang berkata, malapetaka tersebut merupakan berkat tersembunyi (blessing in disguise). Tetapi yang lebih penting lagi, orang-orang Nias kembali mempunyai pengharapan. Sidang Raya ke-16 PGI yang diselenggarakan di pulau ini adalah pula ekspresi adanya pengharapan itu.
Sidang Raya yang diselenggarakan di pulau tersebut tidak hanya bermakna bagi Nias. Ia juga bermakna bagi gereja-gereja, negara, masyarakat dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sebagaimana pernah dikatakan, masyakarat kita pun mengalami malapetaka tsunami dan gempa, baik dalam arti sebenarnya, mau pun kiasan. Dalam beberapa tahun terakhir ini kita masih mengalami berbagai malapetaka alam: gempa, tanah longsor, banjir bandang di mana-mana. Selain itu juga berbagai kerusakan alam karena ulah manusia, seperti makin hilangnya hutan, makin terpolusinya lingkungan, dan seterusnya. Itulah tantangan bersama yang harus dijawab secara tepat.
Pada saat yang sama kita pun memahami malapetaka tersebut dalam arti kiasan. Kita masih terus-menerus dilanda oleh tsunami dan gempa yang tidak habis-habisnya dalam wajah kemiskinan yang disebabkan oleh tidak adilnya pembagian/distribusi kekayaan alam dan kesempatan. Kita masih terjebak dalam pemahaman dangkal tentang kekuasaan, seakan-akan kekuasaan hanya bermakna sebagai penumpukan pengaruh, dan bukannya bagi pelayanan terhadap sesama. Penegakan dan penerapan hukum yang tidak adil, di mana yang lemah menjadi korban sedangkan yang kuat tidak tersentuh (“tajam ke bawah, tumpul ke atas”), kecenderungan makin hilangnya solidaritas dan lemahnya kohesi sosial sesama anak bangsa, yang dalam bentuk ekstrimnya menafikan keberadaan golongan-golongan yang dianggap kecil, seperti gangguan yang terus-menerus kepada golongan Ahmadiyah dan gereja-gereja, dan seterusnya. Pada saat ini bangsa kita juga berhadapan dengan maraknya radikalisme di mana-mana, di mana keseragaman pandangan dipaksakan.
Melihat gejala-gejala yang menguatirkan ini, tidak aneh apabila rasa pesimisme timbul terhadap keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Pada saat yang sama, juga kehidupan bergereja kita pun tidak terlalu memperlihatkan hal-hal yang menggembirakan. Ada semacam paradoks. Ketika kita memperjuangkan kesatuan gereja-gereja, pada saat yang sama gereja-gereja juga makin terbagi-bagi dengan berbagai alasan Roh dunia yang dewasa ini mewujud dalam neo-kapitalisme dan liberalisme juga memasuki gereja-gereja kita. Kecenderungan menjadikan Injil tidak lebih sebagai komoditas yang dijual marak. Injil bukan lagi “Kabar Baik” bagi semua ciptaan, tetapi hanya bagi mereka yang “mampu”.
PRPG 2009 di Sumarorong telah membincangkan ragam pergumulan kaum muda gereja yang meliputi topik pembahasan sebagai berikut: Sub-kultur dan Identitas Pemuda Remaja pada era globalisasi, Demokrasi Indonesia. Konsolidasi Jejaring Oikoumene, Pelestarian Lingkungan hidup. Karena itu dalam PRPG 2014 di Sirombu yang hendak dibincangkan dan digumuli bersama adalah: Refleksi tema PGI Tuhan Mengangkat Kita Dari Samudera Raya (Mazmur 71:20b), Revitalisasi Geraka Oikoumene, Mewujudkan Indonesia yang Dicita-citakan, dan Sharing oleh pemuda Sinode/PGIW/SAG terkait persoalan kemajemukan, lingkungan hidup, kemiskinan, dan persoalan sosial lainnya.
Melalui serangkaian percakapan maupun pendalaman diharapkan ada refleksi bersama yang menuju pada pergerakan dari pemahaman menjadi agen perubahan di gereja dan masyarakat. Lebih lanjut diharapkan melalui PRPG mampu menolong kaum muda lebih banyak lagi menggali tentang siapa pemuda gereja dan bagaimana mereka menatalayani identitasnya.
Merangkum seluruh percakapan di atas dapat diterjemahkan inilah yang disebut sebagai globalisasi. Bagaimana gereja hidup dalam alam globalisasi dengan seabrek tantangan untuk secara kreatif berusaha mencari jawaban sehingga damai sejahtera Allah memenuhi dunia ini melalui kehadiran warga gereja terutama kaum muda. Dunia kita masa kini sangat dipengaruhi oleh fenomena globalisasi. Banyak terjadi ketimpangan di berbagai bidang seperti bidang ekonomi, teknologi, pendidikan, lingkungan hidup dsb.
Pada masa ini ada keyakinan yang bertahan dan memiliki keunggulan akan bertahan hidup, survival of the fittest atau hukum rimba berlaku, dunia mengalami ketimpangan tidak ada keseimbangan. Mereka yang menjadi korban dari globalisasi lebih besar dari pada segelintir orang yang menguasai banyak hal. Globalisasi memacu penyatuan perdagangan dunia dan mencita-citakan penguatan ekonomi (kapitalisme), dalam wujud seperti itu terlihat seakan-akan globalisasi yang positif. Namun Globalisasi juga memberi dampak yang negatif secara langsung maupun tidak langsung seperti menguatnya pengangguran, narkoba, HIV/AIDS, terorisme, fundamentalisme, bencana alam, migrasi, perbudakan dan perang.
Pertanyaan yang terus-menerus menghinggapi benak kaum muda ialah “terbawa arus globalisasi ataukah melawan arus globalisasi?”. Mestinya pemuda memandang globalisasi bukan dalam pola berpikir salah dan benar, Berhubung permasalahan bukan pada globalisasi tetapi terletak pada cara orang muda mengatur dirinya. Pemuda merefleksikan eksistensinya dan berjuang mengurangi permasalahan sosial dan rasa sakit akibat pengaruh globalisasi.
Ke manakah pemuda mengkonsultasikan dan mencari jawab tentang keresahan dan permasalahan sebagaimana tergambar di atas. Masihkah gereja menjadi komunitas orang percaya yang mampu memberikan jawaban. Disinilah gerakan oikoumene diharapkan akan menjadi tempat dalam mengurai banyak hal.
Oleh karena itu melalui PRPG sebagai wadah kaum muda gereja dalam berbagi pengalaman dan visi, diharapkan dapat merumuskan semacam identitas bersama atau kerangka kerja dalam teologi sosial, ekonomi, politik dan budaya sebagai paradigma kepemudaan menanggapi tantangan zaman, sembari berkontemplasi dan merayakan kebaikan Allah sebagaimana Tema Sidang Raya PGI yang berbunyi: Tuhan Mengangkat Kita dari Samudera Raya (Mazmur 71:20b).
Penulis: Frenki Tampubolon (Sekretaris Eksekutif Departemen Pemuda dan Remaja PGI)
Be the first to comment