Pelayanan Kesehatan Tim Respon Asmat PGI di Distrik Atjs

Dr. Alphinus Kambodji (keempat dari kiri), foto bersama Kepala Puskesmas Atsj, Ambrosius Oktan dan sebagian Bidan serta Perawat, serta bersama Petugas UGD 24 Jam Puskesmas Atsj yang buka 7 hari seminggu.

ASMAT,PGI.OR.ID-Terhitung sejak Minggu I Mei 2018, secara resmi Dr. Alphinus Kambodji melaksanakan tugas sebagai dokter Puskesmas di Distrik Atsj, Kabupaten Asmat, Papua, yang diperbantukan PGI dan ditempatkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat sesuai Nota Dinas Bupati Asmat sebagai respons terhadap Surat MPH PGI.

Pelayanan Kesehatan yang dilakukan berupa pemeriksanaan kesehatan sebagai dokter yang bertugas setiap hari Senin sampai Sabtu di Poliklinik Puskesmas, juga merawat pasien rawat inap serta mensupervisi Kamar Bersalin dan UGD 24 jam, 7 hari seminggu, tanpa kompensasi ‘overtime’. Pasien yang diperiksa adalah yang berkunjung ke Poliklinik antara 57 orang sampai 110 orang per hari (Senin sampai Sabtu). Jumlah kunjungan UGD rata-rata per hari 15 orang dan jumlah persalinan rata-rata 1-2 orang per hari. Jumlah pasien rawat inap rata-rata 4 orang per hari, termasuk merawat pasien AIDS.

Disamping pelayanan kesehatan (kuratif) juga disampaikan informasi-informasi kepada pasien dan keluarganya tentang PHBS dan upaya pencegahan penyakit seperti pentingnya imunisasi agar tidak terulang lagi kasus KLB yang semestinya bisa dicegah. Informasi pemakaian kelambu agar masyarakat terhindar dari Malaria. Malaria adalah penyakit endemik di Distrik Atsj dengan rata-rata diagnosa (berdasarkan test laboratorium) 5 – 15 kasus perhari menyerang semua usia.

Tim Pelayanan Puskesmas Keliling Kampung yang jauh di pelosok menggunakan speedboat melewati ombak dan hujan: pengobatan, imunisasi dan pemeriksaan Ibu Hamil, termasuk diatas perahu dan di bevak-bevak

Kepada ibu-ibu hamil, Puskesmas memberikan layanan program Senam Hamil bagi yang datang ke Puskesmas setiap hari Senin sampai Jumat jam 09.00 – 10.00 WIT, mengikuti penyuluhan kesehatan (PHBS) dan pemberian makanan tambahan. Kepada mereka juga diberikan informasi mengenai makanan sehat bergizi, cara mencuci tangan yang baik dan benar, perawatan bayi dan manfaat pemberian ASI eksklusif, imunisasi bayi/anak, dan hal-hal apa saja yang harus diketahui dan dilakukan ibu pada saat anak sakit.

Sekali sebulan Dr. Alphinus Kambodji mengikuti kegiatan Puskesmas Keliling ke Kampung-kampung bersama Bidan, Perawat/Juru Imunisasi. Untuk mencapai kampung-kampung ini harus melalui jalur sungai dan bahkan harus keluar arah laut lalu masuk lagi ke sungai dengan jarak tempuh 1- 2 jam menggunakan speedboat. Juga harus mengunjungi bevak-bevak (Pondok di hutan yang dihuni masyarakat yang mencari makanan berupa sagu dan ikan serta gaharu) karena orangtua membawa serta anak-anaknya yang usia sekolah dan bayi-bayi yang perlu imunisasi.

Ketika bertugas Puskesmas Keliling ke kampung-kampung dan bevak, mereka harus menyediakan pula makanan berupa bubur beras merah & kacang hijau untuk dibagikan pada anak-anak dan pasien setelah pengobatan.

Dr. Alphinus Kambodji mengungkapkan, kasus-kasus di UGD bervariasi, baik berupa luka atau patah tulang (fracture) akibat perkelahian, kena parang atau kampak saat bekerja, kaki tertusuk paku, kekerasan fisik akibat KDRT, bayi yang menelan mata pancing, luka akibat kena taji adu ayam, gigitan ular bahkan gigitan babi hutan, dan lain-lain. Kasus penyakit kulit akibat jamur seperti “kaskado” (kulit bersisik) istilah medis ‘Tinea imbrikata’, cukup banyak. Penyakit ini oleh masyarakat setempat dikenal ‘bandel’ dan tidak bisa disembuhkan. Namun, dengan tekun saya obati sesuai dosis dan ‘drug of choise’ yang tepat, maka semua yang diobati/berobat konsisten (4 minggu) berhasil disembuhkan, sehingga masyarakat yang selama ini ‘bersembunyi’ mau datang berobat.

Para Ibu Hamil mengikuti Senam dipimpin oleh Bidan Puskesmas

Tantangan berat menurutnya adalah merubah perilaku masyarakat yang baru akan membawa pasien ke Puskesmas/UGD bila pasien sudah gawat. Disamping itu, tingginya kasus “pulang paksa” karena merasa sudah sembuh padahal baru saja melewati masa kritis, atau bahkan pasien masih dalam masa kritis yang sebenarnya masih dapat ditangani secara medis di Puskesmas atau siap dirujuk ke RSUD. Hal ini akibat pengaruh mitos dan kepercayaan akan “kuasa gelap” bahwa pasien diguna-gunai orang atau karena perbuatan setan. Sehingga harus selalu berargumentasi dengan keluarga pasien, untuk mempertahankan agar pasien tetap dirawat untuk melewati masa kritis, namun tidak semuanya berhasil karena mereka lebih patuh pada keputusan tetua keluarga.

Bila keputusan keluarga untuk pulang dilawan, dan misalnya pasien meninggal di Puskesmas, maka ancaman denda dengan uang sangat besar akan dikenakan kepada dokter/Puskesmas, bahkan nyawa bisa terancam. Kasus seperti ini pernah dialami dokter (yang dikirim Kemenkes utk bertugas sementara pasca KLB) Puskesmas bulan Maret 2018 (ketika saya belum di Atsj) karena dokter menahan pasien agar tetap dirawat tapi ternyata pasien meninggal dunia. Karena keluarga mengancam, akhirnya sang dokter dipulangkan oleh Puskesmas ke Agats secara sembunyi-sembunyi. Contoh penyakit ‘Kaskado’ (Tinea Imbrikata) yang berhasil Dr. Alphinus Kambodji sembuhkan. Keberhasilan ini karena kerjasama dengan pasien yang konsisten/tekun berobat dengan pemberian ‘drug of choise’ dan dosis yang tepat. Biasanya pasien bosan berobat karena butuh waktu minimal 4 minggu, namun dengan pendekatan/nasehat yang intens maka pasien termotivasi.

Salah satu hal berkesan yang dialaminya adalah kasus anak SMA yang digigit ular berbisa di hutan, pada saat Hari Raya Lebaran lalu (16 Juni 2018). Setelah dikonsultasikan kasus ini ke sejawat dokter, yang kebetulan sekarang menjadi Konsultan WHO untuk Snakebite di Indonesia. Ternyata ular yang menggigit adalah sangat berbisa dan hanya ada di Papua, PNG dan Australia. Dalam 5 tahun terakhir menurut kawan dari WHO, belum ada yang selamat akibat gigitan ular tersebut di Papua.

Setelah ditangani secukupnya di Puskesmas, pasien dirujuk ke RSUD Agats yang lalu meneruskan ke RSUD Timika. Kasus ini lalu kami bahas melalui group WA yang khusus dibentuk untuk itu dengan berbagai ahli (Profesor) dari Australia, Malaysia, UK dan Indonesia. Kasus menjadi heboh di Asmat, karena kawan saya menelpon Direktur Bio Farma Bandung untuk meminta Anti Bisa Ular tetapi tidak ada persediaan. Kemudian ia menelpon Dirjen Yanmed Kemenkes yang lalu mengontak Direktur RSUD Agats dan Pemda untuk secepatnya menangani kasus ini. Akhirnya Anti Bisa Ular diperoleh di RS Freeport dengan harga Rp 67 juta per vial (untuk 1 kali suntik). Tetapi saat akan diantar helikopter Freeport ke Agats (secara gratis) sekaligus menjemput pasien, baru diketahui bahwa sudah expired. Anti Bisa Ular akhirnya diperoleh dari Merauke dengan harga Rp 80 juta.

Beruntung, teman sejawat Dr Trimaharani, seorang Konsultan WHO, dapat mencarikan sponsor untuk membayarnya. Pasien dicharterkan pesawat oleh Pemda Asmat ke Timika dan dirawat selama 12 hari serta harus mengalami 5 kali hemodialisa (cuci darah). Sayangnya, setelah 4 kali cuci darah, orangtua pasien minta pulang paksa. Setelah dibujuk namun tidak berhasil menahan keinginan orangtua pasien untuk pulang ke Atsj. Bersyukur pasien bernama Markus itu sudah mulai sehat kembali walau masih belum pulih benar karena terdapat gangguan gagal ginjal akut akibat bisa ular. (markus saragih)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*