JAKARTA,PGI.OR.ID – Percakapan mengenai tantangan yang dihadapi gereja-gereja di Indonesia saat ini, khususnya terkait instrumentalisasi sentimen identitas dan dampaknya terhadap relasi antaragama di Indonesia menjadi bagian dari percakapan Mrs. Kristina Neubaeur dengan Sekum PGI dan jajarannya di Grha Oikoumene, Kamis (2/8). Neubaeur saat ini menjabat sebagai Kepala Departemen United Evangelical Mission (UEM) Asia, menggantikan Sonia Parera Hummel yang sudah purna bakti.
Kepada Neubaeur, Pdt. Gomar Gultom selaku Sekum PGI mengutarakan bahwa instrumentalisasi agama menjadi salah tantangan di Indonesia. Tentu, hal ini bukan sesuatu yang baru di Indonesia karena, menurut Pdt. Gomar, gerakan-gerakan purifikasi sudah lama ada dalam sejarah Indonesia. Namun, dengan terjadinya marginalisasi terhadap Pancasila setelah era Soeharto dan pragmatisme dalam kontestasi politik membuat ideologi intoleran berkembang dan mendapat tempat di masyarakat. Naiknya sentimen identitas berbasis agama di sejumlah wilayah, khususnya saat Pilkada berlangsung, paling tidak memperlihatkan bagaimana ideologi intoleran mendapat ruang dalam kehidupan masyarakat. Bahkan, calon-calon kepala daerah yang mengusung isu agama justru memperoleh kenaikan suara dalam Pilkada. Karena itu, tidak menutup kemungkinan sentimen seperti ini akan berlangsung di masa depan, apalagi Pemilu 2019 sudah di depan mata.
Kondisi ini berjalan bersamaan dengan berkembangnya produksi hoaks yang tidak mudah dihadapi oleh gereja-gereja. Tantangan ini membuat Yakoma PGI dalam beberapa tahun terakhir melakukan sejumlah pelatihan jurnalistik untuk mendorong publikasi berita yang bertanggungjawab. Selain itu, Yakoma PGI juga menerbitkan buku Warga Gereja Merespon Revolusi Media Sosial, sebuah panduan bagi warga gereja untuk bermedia sosial secara bertanggung jawab. Di beberapa tempat, buku ini telah digunakan gereja-gereja sebagai bahan pembinaan warga jemaat.
Masalah lingkungan hidup dan pemanasan global juga menjadi medan pegumulan gereja-gereja menurut Pdt. Gomar. Ini terlihat dari tingginya produksi sampah plastik telah mencemari tanah dan air dalam bentuk mikro plastik, kerusakan lingkungan di sejumlah wilayah dan tergusurnya masyarakat adat dari ruang hidup mereka. Ada sejumlah advokasi yang dilakukan PGI untuk merespon persoalan ini, seperti advokasi yang dilakukan PGI selama beberapa tahun terkait pergumulan masyarkat adat Pandumaan-Sipituhuta, di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
Persoalan rumit yang tidak kalah rumit bagi gereja-gereja di Indonesia adalah kemiskinan dan berkembangnya perdagan manusia. Sebagaimana diutarakan oleh Ridayani Damanik, staf Biro Perempuan dan Anak PGI yang ikut dalam pertemuan ini, perdagangan manusia sudah menyebar di sejumlah lokasi, dan korban terbanyak berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini sejalan dengan informasi yang diperoleh Litbang PGI, diwakili oleh Beril Huliselan sebagai kepala Biro Litbang PGI, di mana gereja-gereja di NTT selain bergumul dengan persoalan kemiskinan, juga menghadapi hambatan budaya yang membuat banyak perempuan memilih untuk meninggalkan daerah asalnya dan akhirnya terjerat jaringan perdagangan manusia.
Hal lain yang juga ditemukan Litbang PGI terkait tantangan gereja-gereja adalah pergeseran dalam kehidupan gereja-gereja di Indonesia. Ini terlihat dari berkembangnya dinamika internal di sejumlah gereja dan upaya sejumlah gereja mendefenisikan ulang kehadirannya di luar batasan teritori. Hal ini tentunya membuat pergerakan gereja akan semakin dinamis dengan relasi identitas yang terajut di dalamnya, dan sekaligus berdampak pada gerakan oikoumene di Indonesia. Di sini gereja-gereja berhadapan dengan tantangan untuk terus merumuskan kerangka bersama yang memungkinkan misi bersama dalam satu kesatuan wilayah pelayanan dapat berjalan efektif.
United Evangelical Mission (UEM) merupakan lembaga misi yang berakar pada Rhenish Mission (sejak 1828), the Bethel Mission (sejak 1886) dan the Zaire Mission. Pada tahun 1978-1996, UEM berkembang menjadi persekutuan misi internasional yang bekerja di bidang misi dan kerja sama ekumenis dalam merespon sejumlah isu seperti perempuan dan anak, keadilan gender, dialog antaragama dan pekerja migran. UEM saat ini bermarkas di Wuppertal, Jerman. (Beril Huliselan)
Be the first to comment