PGI Bersama Forum LGA Menyusun Renstra untuk Gerakan Pertanian Organik

BOGOR,PGI.OR.ID-PGI bersama forum Live Giving Agriculture (LGA) Indonesia menggelar workshop selama tiga hari (1-3/7) di Pondok Remaja PGI-Cipayung-Bogor, untuk menyusun Rencana strategi (Renstra) menyebarluaskan praktik pertanian organik sebagai gerakan gereja memulihkan lingkungan hidup.

Renstra sebagai bentuk keprihatian sosial gereja yang mencakup konteks pergumulan, khususnya pertanian dan lingkungan, termasuk hutan dan perkebunan. Hasil Renstra ini diharapkan menjadi dasar pelayanan Gereja kepada masyarakat dan bangsa Indonesia dalam bidang pertanian dan reformasi agraria.

Pada kesempatan itu, YP. Sudaryanto sebagai narasumber, menyampaikan tentang “Problematika pertanian organik di Indonesia”,  salah satunya yang dihadapi oleh Indonesia mengenai pertanian organik ialah kurangnya ketertarikan kaum muda dengan sektor pertanian.”

Dia juga memaparkan beberapa problematika pertanian organik di Indonesia setelah 8 tahun deklarasi “Go Organic 2010” yaitu, pertama, Regulasi Organik yang mengharuskan setiap produk yang akan dijual harus mencantumkan Logo Organik Indonesia. Untuk mendapatkan sertifikat organik petani harus melakukan tertib administrasi dan mengikuti pedoman SNI6729/2016 dan sanggup membayar ongkos sertifikasi yang relatif mahal. Petani lahan sempit atau petani kecil menjadi dilematis, padahal mereka umumnya perintis organik sebelum deklarasi.

Kedua, Ketersediaan Saprodi PO. Salah satu aspek penting dalam pertanian adalah ketersediaan benih. Di Indonesia belum tersedia benih organik kecuali produk petani lokal yang sifatnya terbatas dan kualitas belum standar. Ketiga, Keterbatasan Sumber Daya Manusia Organik.

Keempat, Pengelolaan teknik budidaya organik. Pengendalian OPT dalam usaha tani masih berbasis pada pengetahuan lokal dan belum menerapkan secara besar teknologi yang berbasis mikroorganisme dan manajemen Agro ekosystem seperti “integrated farming” yang holistik.

 Kelima, faktor kelembagaan petani organik. Gapoktan yang ada sebagian besar merupakan organisasi petani konvensional, sedangkan Gapoktan organik masih terbatas. Keenam, pemasaran organik. Peluang pasar organik di kota masih terbuka mengingat pertumbuhan kelas menengah yang sadar akan kesehatan semakin meningkat. Problem yang utama adalah bagaimana mensinergikan antara produsen (petani) dengan konsumen agar memiliki visi organik yang sama terkait harga, kualitas dan selera.

“Pembahasan problematika pertanian organik di Indonesia dapat memberi kesan pesimis bila kita berhenti pada pembahasannya saja, sebaliknya dapat menjadi optimis bila kita mampu melihat potensi dan peluang yang ada dalam problematika tersebut,” tambahnya.

Selanjutnya Elya Muskitta menyampaikan tentang “Pemasaran produk-produk organik yang akan bersaing dengan produk-produk lain”. Dia menyebutkan bahwa “dalam pemasaran produk kita tidak dapat melakukannya sendiri, tetapi kita perlu membangun komunitas dan jaringan-jaringan yang lain untuk berlangsungnya pemasaran tersebut. Dengan adanya komunitas, maka pemasaran akan semakin lebih mudah. Komunitas tersebutlah yang akan dibentuk menjadi  kelompok-kelompok dengan tugas-tugasnya dalam pemasaran tersebut.”

Dalam ibadah pembukaan, Pdt. Etika Saragih menegaskan, ritual tanpa keadilan, adalah penyembahan berhala. Hal ini menjadi pergumulan Gereja, bagaimana Gereja hadir di tengah jemaat dan masyarakat yang mengalami ketidakadilan. Ketidakadilan dalam bidang pertanian, bukan hanya dalam kegiatan produksi, namun juga sampai pada konsumen.

“Oleh karena itu, ditengah kegiatan ritual ibadah, Gereja turut serta memperjuangkan keadilan untuk jemaat dan masyarakat, untuk kesejahteraan semua,” tandas Pdt. Etika.

Para peserta yang tergabung pada Forum LGA ini akan merancang platfrom, atau Bisnis Plan untuk pertanian organik. (Marlince Tobing)

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*