80 TAHUN GEREJA PROTESTAN MALUKU

PGI.OR.ID – Gereja Protestan Maluku (GPM) dibentuk pada tanggal 6 September 1935, sebagai bagian dari reorganisasi Gereja Protestan Indonesia (GPI) atau Indische Kerk.  Indische Kerk nama singkat dari Het Protestansche Kerk in Nederlandsch-Indiё – yakni kesatuan gereja-gereja Protestan di Indonesia yang dibentuk oleh pemerintah Kerajaan Belanda di Indonesia pada tahun 1815 (baru rampung pada tahun 1835). Latar belakang jemaat-jemaat GPM terentang panjang melampaui sejarah Indische Kerk, dan berlangsung dalam konteks pertarungan antar bangsa memperebutkan monopoli perdagangan rempah-rempah hasil kepulauan Maluku.

Agama Kristen diterima di Maluku sejak tahun 1534 (baptisan pertama di Mamuya, Halmahera Utara, oleh imam Katolik Portugis). Tetapi jemaat-jemaat Katolik yang terbentuk di berbagai tempat di Maluku diambil alih penguasa VOC Belanda dan dijadikan jemaat-jemaat Protestan – sebagai bagian dari gereja Kalvinis Belanda – sampai dilembagakan sebagai Indische Kerk dalam administrasi pemerintah kolonial pada abad ke-19 setelah VOC bubar. Jemaat-jemaat di Maluku Utara waktu itu sudah musnah akibat konflik Terrnate melawan Portugis terkait pembunuhan Sultan Hairun pada tahun 1570.

Pada tanggal 27 Februari 1605 berlangsung suatu kebaktian Protestan di atas kapal Belanda yang bersandar di pelabuhan Ambon. Peristiwa itu dianggap pengambilalihan jemaat-jemaat Katolik menjadi Protestan dan kini dirayakan sebagai hari ulang tahun GPI. Pekabaran Injil di Maluku berlangsung lebih intensif di periode Indische Kerk (abad ke-19) oleh Joseph Kam (1769-1833), yang kemudian digelari “Rasul Maluku”. Di masa Indische Kerk banyak warga Kristen asal Maluku mengabdi sebagai guru dan penginjil dalam pekerjaan zending menyebarkan Injil dan melahirkan gereja-gereja di berbagai daerah di Indonesia, misalnya di kalangan orang Toraja dan masyarakat etnis lainnya di Sulawesi dan di pulau-pulau lainnya.

Dalam perjalanan sejarahnya GPM mencatat tantangan panggilannya di tengah gelombang-gelombang krisis sosial. Setelah pendudukan Jepang (1942-1945) dan revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) GPM berhadapan khusus dengan peristiwa pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan). Sekalipun di tengah badai, GPM tetap setia, juga terhadap gerakan keesaan gereja-gereja. Tokoh-tokoh GPM seperti Ds. Simon Marantika (1909-1989), aktif dalam pembentukan Majelis Keristen Indonesia bagian Timur di Makassar (1947) yang menjadi bentara pembentukan DGI (kini PGI) di mana beliau juga menjadi penggerak dan pengurusnya di Jakarta bersama tokoh-tokoh lainnya, seperti Ds. W.J. Rumambi (1917-1984) dan Dr. J. Leimena (1905-1977).

Penulis tidak punya data mengenai peristiwa 1965 di Maluku, namun secara umum masa Orde Baru dianggap masa yang suram dari segi peran “orang Ambon” dalam kehidupan nasional, suatu privilese mereka sejak zaman kolonial. Krisis sosial selanjutnya adalah apa yang kita kenal sebagai tragedi kemanusiaan di Maluku pada pertukaran abad awal dekade lalu, yang menelan begitu banyak korban jiwa.

ZAKARIANGELOWTetapi GPM terus berusaha bangkit dan dengan setia menyatakan kesaksian Injil perdamaian di tengah berbagai konflik, merajut tali-temali jejaring persaudaraan semua komponen masyarakat yang majemuk, termasuk menggalang advokasi masyarakat akar rumput menghadapi kekuatan-kekuatan ekonomi global yang berusaha merampas hak-hak ulayat rakyat, seperti di pulau Aru dan Seram.

Selamat Ulang Tahun GPM, “labiar api Injil tarus manyala …”!

Penulis: Pdt. Dr. Zakaria Ngelow, Anggota MPH PGI